Keluarga pasti gerah jika anaknya belum kunjung menikah. Hal itu juga disebabkan oleh lingkungan yang mana notabene orang Indonesia punya standar tersendiri tentang hidup 'normal' yaitu, menikah.
Karenanya, banyak yang menikah hanya karena tuntutan tersebut, tanpa disertai dengan kesiapan mental kedua belah pihak, yaitu suami dan istri. Setelah menikah, tuntutan lingkungan dan keluargapun tidak berhenti sampai di situ, masih ada tuntutan punya anak.
Dan begitulah, kebanyakan pasangan suami istri sama sekali tidak membahas hal tentang anak, semuanya terjadi begitu saja, bahkan ada semacam keinginan bahwa setelah menikah langsung punya anak.
Lalu, lahirlah anak-anak yang menggemaskan tersebut.
Sayang sekali, anak-anak menggemaskan tersebut, tidak selamanya hanya gemas saja, sejak dalam kandungan, anak-anak tersebut sudah mengajari kedua orang tuanya tentang kesabaran.
Dari tantangan mual dan segala permasalahan kehamilan, yang sungguh tidak nyaman bagi seorang perempuan, serta perubahan mood yang sungguh membuat tidak nyaman bagi lelaki, yang mana adalah sebagai suami dan calon ayah.
Lalu, lahirlah anak yang ditunggu-tunggu tersebut.
Sekali lagi anak-anak mengajarkan kedua orang tuanya, tentang menjadi manusia berkualitas, yaitu bijak dan sabar. Dari banyaknya masalah bayi newborn, yang pastinya merupakan hal baru buat pasangan orang tua, serta berkurangnya dan kacaunya jam tidur orang tua karena si bayi.
Sungguh, hal tersebut amat sangat menyumbang mulai pecahnya hubungan suami istri. Tidak peduli usia pernikahan berapa tahun, pun juga usia pasangan tersebut saat menikah berapa tahun. Â Tidak melulu pasangan yang menikah dengan usia belia akan mudah menyerah.
Banyak juga pasangan yang menikah dengan usia matang, begitu terkejut dengan perubahan tersebut. Alhasil, terciptalah ibu-ibu dengan kondisi baby blues, dan bahkan berlanjut hingga menjadi postpartum depression, karena selalu diabaikan.
Belum lagi selepas 3 bulan, jika sang ibu yang ternyata harus bekerja kantoran, drama demi drama menitipkan anak amat menguras waktu, energi dan emosi sang ibu, yang tentu saja akan berdampak pada hubungan pernikahan.Â