Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Cerita-cerita saya bisa dibaca di GoodNovel: Reynal Prasetya. Kwikku: Reynal Prasetya

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Struick Effect, Wenger Law, dan Melemahnya Lini Serang Timnas

30 April 2024   12:18 Diperbarui: 30 April 2024   16:45 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan berarti saya mengatakan bahwa Sananta adalah striker yang buruk dan Struick lebih baik, tapi tipe bermainnya itu tidak cocok dengan skema permainan yang diterapkan oleh Sty di timnas.

Ia sebenarnya punya kecepatan. Punya finishing yang bagus, shot power dan akurasi yang juga bagus. Tapi bagaimana membuka ruang, dribling, menguasai bola agar tidak mudah direbut lawan, decision making, dan daya jelajahnya yang kurang maksimal, membuat ia kesulitan menyesuaikan permainan dengan gaya yang diinginkan oleh Sty.

Jadi, "Struick Effect" ini memang benar-benar mempengaruhi performa timnas. Bahkan boleh saya katakan, keputusan Sty menjadikan Sananta sebagai starter adalah pilihan yang keliru. Seharusnya ia paham bahwa Sananta tidak bisa dipaksakan untuk menggantikan peran Struick di tengah. Akibatnya, lini serang timnas menjadi tumpul.

Andai saja Sty memasang Kelly sejak awal dan berani memainkan Witan sebagai false nine, mungkin keadaannya akan sedikit lebih baik. Karena dibanding Sananta, Kelly adalah pemain yang lebih cocok ditandemkan dengan Witan dan Marselino di depan. Kelly adalah tipe yang lebih cocok mengikuti skema permainan Sty dibanding Sananta.

Tapi ya, bagaimana pun itu sudah menjadi keputusannya. Sebagai penonton saya merasa kurang puas saja dengan performa timnas malam ini, terlepas dari penampilan mereka yang perlu di apresiasi dan tentu kita sadar bahwa status timnas adalah sebagai tim debutan, dan dari level Fifa saja kita sangat-sangat jauh tertinggal dari Uzebekistan. Itu sudah menjadi prestasi yang luar biasa ketika mampu lolos ke semi final.

Hal lain yang saya soroti di laga semi final ini adalah keputusan wasit yang menganulir gol Ferrari. Dalam tayangan VAR terlihat posisi Sananta yang offside, namun itu bisa jadi perdebatan karena posisinya yang sangat tipis sekali.

Sumber: tangkapan layar dari akun Twitter Ruang Taktik
Sumber: tangkapan layar dari akun Twitter Ruang Taktik

Padahal dalam tayangan VAR itu kita melihat hanya sebagian kaki dari Sananta saja yang terlihat melewati batas akhir dari garis pertahanan timnas Uzbekistan. Tapi entah apa pertimbangan yang meyakinkan wasit sehingga gol itu harus di anulir.

Jelas itu benar-benar merugikan timnas Indonesia. Semoga keputusan wasit itu memang sudah sesuai dengan aturan. Bukan keputusan keliru sehingga menjadi sebab menurunya semangat serta mental para pemain timnas Indonesia.

Mantan pelatih Arsenal Arsene Wenger, pernah mengeluhkan tentang aturan offside yang dianalisis oleh VAR ini. Karena Wenger menilai, seorang pemain akan dianggap offside apabila seluruh badannya berada di belakang garis pertahanan tim lawan.

Sehingga ketika ia diangkat oleh FIFA sebagai kepala pengembangan sepak bola global, ia langsung mengusulkan proposal agar aturan offside itu di perbaharui. Dan aturannya itu di kenal dengan sebutan "Wenger Law".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun