Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Cerita-cerita saya bisa dibaca di GoodNovel: Reynal Prasetya. Kwikku: Reynal Prasetya

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Struick Effect, Wenger Law, dan Melemahnya Lini Serang Timnas

30 April 2024   12:18 Diperbarui: 30 April 2024   16:45 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas U23 Indonesia (merah) takluk dua gol tanpa balas dari Uzbekistan dalam laga semifinal Piala Asia U23 2024 di Stadion Abdullah bin Khalifa, Doha, Qatar, pada Senin (29/4/2024) waktu setempat atau pukul 21.00 WIB.(Dok. PSSI via kompas.com)

Sejujurnya berat untuk langsung menerima kekalahan Indonesia dari Uzbekistan di laga semi final yang digelar malam ini (29/4) di Stadion Abdullah bin Khalifa Qatar.

Rasanya sangat terpukul dan tak percaya bahwa timnas bisa kalah tanpa gol balasan. Meski saya harus akui, Uzbekistan memang bermain sangat baik dan telah menunjukan kualitasnya sebagai tim kuat yang mampu mendominasi pertandingan.

Tapi bukan berarti mereka tidak memiliki celah dan kelemahan, terbukti beberapa kali timnas mendapat peluang dari sisi kanan, namun tidak adanya Struick di lini depan membuat timnas kesulitan untuk membuka ruang.

Marselino dan Witan tidak bisa berbuat banyak. Sananta yang menggantikan posisi Struick terlihat belum matching dan belum bisa menyesuaikan diri dengan skema permainan yang diinginkan Shin Tae-yong.

Saya sendiri merasa aneh ketika timnas Indonesia bermain tidak seperti biasanya. Penampilan timnas Indonesia malam ini sangat-sangat jauh kualitasnya apabila dibandingkan dengan pertandingan-pertandingan sebelumnya ketika melawan Korea, Yordania atau pun Australia. Entah, saya merasa Indonesia seperti kehilangan karakter bermainnya.

Absennya Struick memang benar-benar sangat mempengaruhi lini serang timnas. Ia yang biasanya rajin jemput bola, bisa buka ruang, rajin pressing, pandai dan kuat menguasai bola, punya determinasi dan daya jelajah tinggi tak bisa begitu saja di gantikan perannya oleh Sananta, apalagi Hokky.

Perannya sungguh sangat vital, sehingga ketika akhirnya ia absen, timnas seperti kehilangan karakternya. Dari statistik, timnas bahkan hanya mampu menghasilkan 4 tembakan dan tidak ada yang on target. Sementara Uzbekistan sangat unggul dengan 28 tembakan dan ada 4 tembakan yang on target.

Sumber: ANTARA/Hafidz Mubarak A via kompas.com
Sumber: ANTARA/Hafidz Mubarak A via kompas.com

Saya menyebut keadaan melemahnya lini serang timnas itu sebagai "Struick Effect". Tanpa Struick, taktik dan skema permainan yang diinginkan Shin Tae-yong tidak berjalan dengan baik, bahkan bisa dibilang gagal total.

Bahkan jika saya harus memberi kritik, pemain yang paling sedikit berkontribusi dalam pertandingan adalah Sananta. Sangat jauh sekali perbandingannya dengan Struick. Penampilannya cukup mengecewakan, sehingga permainan Indonesia di lini depan menjadi tidak berkembang.

Bukan berarti saya mengatakan bahwa Sananta adalah striker yang buruk dan Struick lebih baik, tapi tipe bermainnya itu tidak cocok dengan skema permainan yang diterapkan oleh Sty di timnas.

Ia sebenarnya punya kecepatan. Punya finishing yang bagus, shot power dan akurasi yang juga bagus. Tapi bagaimana membuka ruang, dribling, menguasai bola agar tidak mudah direbut lawan, decision making, dan daya jelajahnya yang kurang maksimal, membuat ia kesulitan menyesuaikan permainan dengan gaya yang diinginkan oleh Sty.

Jadi, "Struick Effect" ini memang benar-benar mempengaruhi performa timnas. Bahkan boleh saya katakan, keputusan Sty menjadikan Sananta sebagai starter adalah pilihan yang keliru. Seharusnya ia paham bahwa Sananta tidak bisa dipaksakan untuk menggantikan peran Struick di tengah. Akibatnya, lini serang timnas menjadi tumpul.

Andai saja Sty memasang Kelly sejak awal dan berani memainkan Witan sebagai false nine, mungkin keadaannya akan sedikit lebih baik. Karena dibanding Sananta, Kelly adalah pemain yang lebih cocok ditandemkan dengan Witan dan Marselino di depan. Kelly adalah tipe yang lebih cocok mengikuti skema permainan Sty dibanding Sananta.

Tapi ya, bagaimana pun itu sudah menjadi keputusannya. Sebagai penonton saya merasa kurang puas saja dengan performa timnas malam ini, terlepas dari penampilan mereka yang perlu di apresiasi dan tentu kita sadar bahwa status timnas adalah sebagai tim debutan, dan dari level Fifa saja kita sangat-sangat jauh tertinggal dari Uzebekistan. Itu sudah menjadi prestasi yang luar biasa ketika mampu lolos ke semi final.

Hal lain yang saya soroti di laga semi final ini adalah keputusan wasit yang menganulir gol Ferrari. Dalam tayangan VAR terlihat posisi Sananta yang offside, namun itu bisa jadi perdebatan karena posisinya yang sangat tipis sekali.

Sumber: tangkapan layar dari akun Twitter Ruang Taktik
Sumber: tangkapan layar dari akun Twitter Ruang Taktik

Padahal dalam tayangan VAR itu kita melihat hanya sebagian kaki dari Sananta saja yang terlihat melewati batas akhir dari garis pertahanan timnas Uzbekistan. Tapi entah apa pertimbangan yang meyakinkan wasit sehingga gol itu harus di anulir.

Jelas itu benar-benar merugikan timnas Indonesia. Semoga keputusan wasit itu memang sudah sesuai dengan aturan. Bukan keputusan keliru sehingga menjadi sebab menurunya semangat serta mental para pemain timnas Indonesia.

Mantan pelatih Arsenal Arsene Wenger, pernah mengeluhkan tentang aturan offside yang dianalisis oleh VAR ini. Karena Wenger menilai, seorang pemain akan dianggap offside apabila seluruh badannya berada di belakang garis pertahanan tim lawan.

Sehingga ketika ia diangkat oleh FIFA sebagai kepala pengembangan sepak bola global, ia langsung mengusulkan proposal agar aturan offside itu di perbaharui. Dan aturannya itu di kenal dengan sebutan "Wenger Law".

Sebagaimana di kutip dari CNN, jika Wenger Law ini diterapkan, maka tidak akan ada lagi kejadian offside yang dipicu hidung, kaki, atau lengan seorang pemain menyerang yang mendahului pemain bertahan terakhir tim lawan.

Sayangnya Wenger Law ini masih dalam tinjauan Fifa dan baru di uji coba di beberapa turnamen eropa sehingga belum resmi di terapkan untuk seluruh pertandingan sepak bola. Andai saja Wenger Law ini yang berlaku, maka gol yang di cetak oleh Ferrari semalam adalah gol yang sah.

Kemenangan dan kekalahan dalam sepak bola memang selalu di tentukan oleh banyak faktor. Bukan hanya ditentukan oleh performa permain di lapangan, tapi juga bisa ditentukan oleh keputusan wasit yang sangat merugikan.

Bagaimanapun kita tetap berikan apresiasi kepada para pemain timnas yang sudah berjuang hingga bisa mencetak sejarah lolos untuk yang pertama kalinya ke semi final. Semoga dilaga selanjutnya keberuntungan kembali berpihak pada Indonesia sehingga bisa tembus ke ajang Olimpiade Paris 2024.

Salam Sepak Bola
Reynal Prasetya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun