Suatu ketika ada suara-suara bising yang mampir kedalam lamunan ini, "Mungkin aku akan bahagia jika punya uang banyak.." Dirasa kurang cukup, pikiran ini pun kembali melayang-layang ke masa depan sambil membentuk asosiasi seolah-olah bahagia baru bisa dirasakan kalau saya punya segalanya.
Begitulah cara saya dulu memandang dan mengartikan kebahagiaan. Sebuah cara yang sepertinya juga sering digunakan kebanyakan orang ketika mereka ingin merasa bahagia.
Bahkan hampir setiap hari kita menjumpai rintihan tangis, ungkapan kekecewaan, kekesalan yang terpendam, dan segala bentuk kesedihan lainnya di media sosial sebagai pertanda bahwa kebahagiaan mereka sedang terhalangi oleh pikiran mereka yang tidak bisa memaknai kebahagiaan dengan sederhana.
Ya, sudah sangat sering kita mendengar jargon, "Bahagia itu sederhana" memang demikianlah adanya. Tapi tidak semua orang paham dengan jargon tersebut dan mengerti apa yang harus dilakukan dalam keadaan yang sederhana untuk memperoleh bahagia itu.
Bahagia itu memang sungguh sederhana, tapi tentu kita harus mengerti mekanismenya. Kita harus punya strategi agar kebahagiaan itu benar-benar bisa diwujudkan dan termanifestasi kedalam laku lampah kita sehari-hari.
Izinkan saya untuk membagikan quotes sederhana dibawah ini:
Kalau engkau berkelimpahan ilmu, maka berbagi ilmu dan apa yang engkau tahu adalah cara sederhana untuk bahagia. Jikalau dirimu berkelimpahan secara materi, maka memberi dan menyantuni fakir miskin dan orang-orang yang sedang kesulitan ekonomi juga merupakan cara sederhana untuk bahagia.
Berbagi itu memang mempunyai sensasinya sendiri. Berbagi kadang bisa membuat kita lebih berdaya, lebih bahagia dan bersyukur bahwa masih ada kelimpahan yang seharusnya kita bagikan.
Sudah sejak lama saya mempunyai panggilan dan selalu merasa bahagia selepas berbagi melalui tulisan. Meski yang dibagikan hanya sebatas pengetahuan kacangan dan juga pengalaman-pengalaman yang tidak ada apa-apanya, namun saya selalu merasa bahagia setiap kali mendengar kesaksian dari pembaca kalau tulisan yang saya buat ternyata cukup berguna dan bisa mewakili keresahan terdalam yang juga mereka rasakan.
Mungkin hal itu juga yang akan saya rasakan ketika saya bisa memberi dan menyantuni banyak orang yang sedang membutuhkan.
Kadangkala hati ini tak kuasa menahan rasa kasihan apabila melihat anak-anak yang terdampar dijalanan, tanpa uang jajan, tanpa pendidikan, tanpa cinta yang benar-benar mereka butuhkan.
Mereka hanya mengandalkan insting bertahan hidup dijalanan, melakukan apapun agar mereka bisa bertahan meski kehidupan itu tidak mudah untuk dijalankan.
Sontak hasrat ingin membantu ini pun timbul. Lalu membayangkan, bagaimana rasanya kalau saya ada di posisi mereka? Kedinginan, kesepian, kelaparan adalah hal yang mungkin sudah akrab dengan kehidupan mereka.
Pada moment itu juga saya biasanya langsung tersadar kalau saya masih berkecukupan, masih hidup dalam rasa aman dan nyaman. Pada saat itu pula saya terdorong untuk kembali bersyukur dan berterima kasih atas segala karunia yang telah Tuhan berikan.
Satu hal yang perlu kita ketahui, kebahagiaan tidak pernah bisa dibeli. Hanya kesenangan saja yang bisa dibeli.
Karena kebahagiaan bukan hanya milik mereka yang punya banyak uang, punya status sosial yang tinggi, atau milik kalangan tertentu. Tapi bahagia adalah milik semua orang.
Uang, status sosial dan apa yang orang pikir sebagai sumber kebahagiaan sebenarnya hanyalah alat atau media agar kita bisa merasa bahagia.
Kebahagiaan pada dasarnya adalah milik mereka yang mempunyai hati yang senantiasa bersyukur dan selalu membiasakan untuk hidup disaat ini.
Terus terang, saya jauh lebih bahagia sekarang dibandingkan dengan masa lalu saya yang banyak dipenuhi oleh pikiran-pikiran penolakan, penyangkalan dan kecemasan.
Saya pernah ada di titik dimana diri ini merasa tak berdaya, merasa seolah-olah semesta tidak pernah mau berpihak pada saya.
Banyak pertanyaan dikepala saya waktu itu, "Kenapa orang lain lebih cepat berhasil? Kenapa orang lain begitu mudah melakukannya sedangkan saya kesulitan? Kenapa orang lain lahir dalam keluarga yang berkecukupan sedangkan saya lahir dalam keluarga yang berkekurangan?."
Ternyata pikiran-pikiran semacam itulah yang selama ini diam-diam membelenggu dan memenjarakan kebahagiaan saya.
Waktu itu saya masih hidup dalam kendali pikiran, sehingga tidak sadar bahwa sejatinya hidup sebenarnya ada dimasa sekarang, saat ini, moment ini, now, present.
Semakin pikiran ini mengulang-ulang kejadian-kejadian pahit dan luka-luka di masa lalu dan ditambah pengembaraan ke masa depan, hati ini justru semakin gelisah, tidak tenang dan kebahagiaan itu akhirnya tidak bisa dirasakan kehadirannya.
Sekarang saya paham bahwa kebahagiaan bisa didapat dan diwujudkan melalui latihan dan skill untuk terus mampu mengunci pikiran dan memfokuskan hidup disaat ini.
Coba tengok, ada berapa banyak dari mereka yang hidupnya tampak sempurna dan memiliki segalanya, tapi mereka harus mengeluarkan banyak uang untuk belajar bagaimana cara mengelola pikiran dan emosi agar bisa mengendalikannya.
Sekarang mereka juga paham bahwa, kebahagiaan bukan terletak pada apa yang mereka punya, melainkan dari bagaimana cara mereka melatih dan membiasakan untuk hidup disaat ini.Â
Setiap orang pasti punya caranya masing-masing dalam mengakses bahagia. Kenapa saya gunakan kata "mengakses"? Karena sejatinya, kebahagiaan itu sudah ada dalam diri kita masing-masing. Bukan ada diluar sana. Kita hanya tinggal mengakses dan memanggilnya kembali.
Hanya saja kita melupakan cara yang paling sederhana untuk mengaksesnya. Kalau ada cara yang mudah, kenapa harus gunakan cara yang sulit?Â
Seperti itulah cara saya dalam merasakan bahagia. Karena menurut saya, bahagia itu tidak pernah bersyarat. Kebahagiaan adalah milik setiap orang dan setiap orang berhak bahagia tanpa perlu susah-susah mengikuti standar kebahagiaan yang seringkali diwarnai oleh pencapaian materi, status sosial, ataupun prestasi.
Kebahagiaan akan selalu bersemayam pada hati mereka yang gemar bersyukur dan selalu membiasakan diri untuk tetap hidup disaat ini dengan setotal-totalnya tanpa terjebak dimasa lalu, ataupun mengkhawatirkan masa depan.
Selamat Berbahagia
Reynal Prasetya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H