Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Cerita-cerita saya bisa dibaca di GoodNovel: Reynal Prasetya. Kwikku: Reynal Prasetya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Begini Cara Saya Mengakses Bahagia

14 Desember 2020   08:33 Diperbarui: 17 Desember 2020   13:44 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengakses bahagia (Sumber: freepik.com/polyanskaya)

Sontak hasrat ingin membantu ini pun timbul. Lalu membayangkan, bagaimana rasanya kalau saya ada di posisi mereka? Kedinginan, kesepian, kelaparan adalah hal yang mungkin sudah akrab dengan kehidupan mereka.

Pada moment itu juga saya biasanya langsung tersadar kalau saya masih berkecukupan, masih hidup dalam rasa aman dan nyaman. Pada saat itu pula saya terdorong untuk kembali bersyukur dan berterima kasih atas segala karunia yang telah Tuhan berikan.

Satu hal yang perlu kita ketahui, kebahagiaan tidak pernah bisa dibeli. Hanya kesenangan saja yang bisa dibeli.

Karena kebahagiaan bukan hanya milik mereka yang punya banyak uang, punya status sosial yang tinggi, atau milik kalangan tertentu. Tapi bahagia adalah milik semua orang.

Uang, status sosial dan apa yang orang pikir sebagai sumber kebahagiaan sebenarnya hanyalah alat atau media agar kita bisa merasa bahagia.

Kebahagiaan pada dasarnya adalah milik mereka yang mempunyai hati yang senantiasa bersyukur dan selalu membiasakan untuk hidup disaat ini.

Terus terang, saya jauh lebih bahagia sekarang dibandingkan dengan masa lalu saya yang banyak dipenuhi oleh pikiran-pikiran penolakan, penyangkalan dan kecemasan.

Saya pernah ada di titik dimana diri ini merasa tak berdaya, merasa seolah-olah semesta tidak pernah mau berpihak pada saya.

Banyak pertanyaan dikepala saya waktu itu, "Kenapa orang lain lebih cepat berhasil? Kenapa orang lain begitu mudah melakukannya sedangkan saya kesulitan? Kenapa orang lain lahir dalam keluarga yang berkecukupan sedangkan saya lahir dalam keluarga yang berkekurangan?."

Ternyata pikiran-pikiran semacam itulah yang selama ini diam-diam membelenggu dan memenjarakan kebahagiaan saya.

Waktu itu saya masih hidup dalam kendali pikiran, sehingga tidak sadar bahwa sejatinya hidup sebenarnya ada dimasa sekarang, saat ini, moment ini, now, present.

Semakin pikiran ini mengulang-ulang kejadian-kejadian pahit dan luka-luka di masa lalu dan ditambah pengembaraan ke masa depan, hati ini justru semakin gelisah, tidak tenang dan kebahagiaan itu akhirnya tidak bisa dirasakan kehadirannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun