Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Cerita-cerita saya bisa dibaca di GoodNovel: Reynal Prasetya. Kwikku: Reynal Prasetya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seorang Ibu yang Peduli Tidak akan Membebaskan Anaknya Begitu Saja

20 November 2020   14:29 Diperbarui: 20 November 2020   14:31 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak yang dibebaskan (Sumber: pixabay.com/Laila_ /419 images)

Ini dampaknya tidak main-main, lho. Mau tau apa dampak jangka panjangnya?

Dalam kasus ini si anak kurang edukasi dari orangtuanya. Masa muda yang seharusnya dia habiskan untuk belajar, mengeksplorasi diri, menemukan minat dan bakat, justru digunakan untuk berpacaran. Akibatnya ketika dia lulus SMP atau SMA, yang ada di otak si anak pasti hanya ada cinta dan pernikahan.

Tidak akan ada lagi hasrat untuk mengejar karir, mengerjakan passion, atau mewujudkan mimpi, karena menurut dia, tujuan hidup yang paling utama adalah: menikah. 

Pikirannya sudah lebih dulu terdistraksi dengan kisah-kisah romansa dan pernikahan. Apalagi jika mereka hanya belajar semua itu dari tontonan di televisi. Salahsatunya: sinetron. 

Banyak lho, saat ini anak-anak kita yang masih SD sukanya nonton sinetron. Apalagi yang bertema percintaan remaja, pernikahan, dan kisah rumah tangga. Akan selalu laris manis dipasaran :)

Dan benar saja, mimpi si anak untuk menikah muda pun akhirnya terwujud. Tujuan hidupnya sudah tercapai, kini dia sudah menikah. Lalu kemudian mempunyai anak. Dia kini sudah menjadi orangtua dan bukan anak-anak lagi.

Akan tetapi karena semenjak muda dia tidak pernah belajar bagaimana caranya menjadi orangtua dan orangtuanya pun lebih banyak membebaskannya, maka ada kecenderungan dia pun akan melakukan hal yang serupa kepada anaknya.

Hasilnya? Ah sudah bisa dipastikan, anaknya pun akan mempunyai kecenderungan yang sama untuk bertindak seperti orangtuanya. Siklus ini mungkin akan terus berulang, entah sampai generasi yang ke berapa.

Inilah yang menyebabkan SDM kita kalah dari negara-negara lain. Karena edukasi dan literasi belum menjadi orientasi utama. Melainkan pernikahan dan kisah romansa yang terlalu dijunjung tinggi.

Beruntung saya memiliki seorang ibu yang tidak pernah mendorong saya untuk buru-buru menikah. Untuk buru-buru berkeluarga. Ibu malah lebih peduli terhadap apa yang bisa dicapai dimasa muda? Karir apa yang akan saya raih? Tujuan dan cita-cita apa yang ingin dicapai?.

Ibu justru menganjurkan untuk berkelana dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya terlebih dulu, karena sebagai laki-laki, kelak saya akan menjadi pemimpin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun