Anak-anak SD yang notabene masih labil dan masih butuh bimbingan dari orang tua bergaya seolah anak yang sudah dewasa dengan kisah cinta yang mereka banggakan. Sekarang punya pacar lebih bergengsi, ketimbang berprestasi dibidang akademis.
Mereka terlalu cepat jika harus difasilitasi smartphone yang mahal. Namun demi gaya dan tekanan sosial, ada banyak orangtua yang justru dengan bangga membelikan smartphone untuk anaknya yang masih labil itu.Â
Entah karena ingin terlihat gaul, bergengsi atau bagaimana? Kita tidak tahu.
Untungnya itu tidak berlaku bagi ibu saya. Meski ada beberapa teman dari adik saya yang masih SD sudah pada punya smartphone, ibu tidak buru-buru membelikan smartphone untuk adik saya.Â
Bukan karena ibu pelit atau tidak mau membelikan padahal teman-temannya yang lain sudah punya, akan tetapi ibu tahu, benda itu bukan digunakan untuk keperluan belajar, tapi bisa disalahgunakan untuk sesuatu yang tidak perlu. Salahsatunya: pacaran.
Memang ini terdengar lucu, ada anak-anak SD yang katanya sudah pacaran, tapi begitulah faktanya jika kontrol dari orangtua yang kurang peduli dengan anaknya.
Serius! saya sering mengamati bagaimana gerak gerik pergaulan adik perempuan saya yang masih kelas enam SD itu. Masih kecil belum tahu apa-apa soal cinta dan pernikahan, obrolannya kok sudah kayak anak dewasa. Sukanya ngerumpiin cowok idaman yang disuka. Hadeuhh..
Itu sebenarnya normal, tapi tetap saja masih butuh bimbingan dari orangtua. Supaya tidak terlalu kejauhan dan kebablasan.
Ada beberapa anak dari teman adik saya yang kelihatannya kurang diperhatikan orangtuanya. Kemana-mana sudah menenteng smartphone mahal, sudah diperbolehkan bawa motor sendiri, sudah bersedia didekati dan mendekati cowok yang dia suka.Â
Pertanyaannya, kemana ibunya? Mengapa si anak dibebaskan berkeliaran begitu saja diumur yang masih dini? Apalagi dia adalah anak perempuan? Bagaimana dengan masa depannya kelak?