Akhirnya ini dijadikan kesempatan oleh para oknum yang ingin mengambil keuntungan dengan cara "berjualan agama." Para oknum ini pintar melihat peluang. Mereka sadar masyarakat kita masih mudah digerakkan dan dimanipulasi dengan bungkus agama.
Makin ke sini, kita bisa menyaksikan sendiri makin bermunculan para pemuka agama yang tidak jelas asal usulnya. Tidak jelas latar pendidikan dan pesantrennya. Hanya bermodal penampilan, atribut yang religius dan akun YouTube, maka dengan sekejap mereka bisa meraih popularitas.
Sekarang sudah terbukti agama banyak dijadikan sebagai bungkus untuk menipu dan mengelabui. Apalagi jika agama itu sudah di politisasi oleh tokoh atau oknum tertentu. Ini akan menciptakan figur otoritas sehingga tidak sulit bagi masyarakat untuk menerima dan mempercayai apapun yang dikatakan dan diperintahkan oleh tokoh tersebut.
Bukan berarti kita jadi tidak menghargai pemuka agama, bukan. Yang harus kita perhatikan bukan soal (siapa) yang menyampaikannya, akan tetapi apa (redaksi) yang disampaikan.
Walaupun yang menyampaikan adalah seorang pemuka agama, tapi ketika (redaksi) yang disampaikan adalah kebencian, hasutan, makian, amarah dan kata-kata kasar. Maka sebaiknya jangan diikuti dan diteladani.Â
Tapi ketika yang menyampaikan adalah seorang pemulung dan (redaksi) yang disampaikan adalah soal kebaikan, kelembutan, kejujuran, toleransi, sopan santun, maka apa salahnya kalau kita ikuti? Karena yang terpenting adalah (isi) bukan soal (siapa) yang menyampaikan. Â
Disinilah efek dari figur otoritas itu bekerja. Secara psikologis, tentu kita akan jauh lebih mudah menerima apa yang disampaikan oleh seorang pemuka agama tadi, ketimbang si pemulung. Karena si pemuka agama adalah sosok yang memiliki figur otoritas. Pada prakteknya, dia akan lebih mudah untuk meyakinkan orang banyak dengan segala atribut dan otoritas yang dia punya.
Itulah sebabnya kenapa ada beberapa orang yang akhirnya jadi ngotot, keras kepala, ketika keyakinannya di usik meskipun keyakinannya terbukti buruk dan merugikan dirinya sendiri. Mereka hanya tinggal berdalih, "Heh ini kata Ulama A loh. Ini kata Ustadz A loh. Jadi kita harus ikuti."
Makanya tak heran ketika misal keyakinannya itu dibantah, atau tokoh yang mereka idolakan atau mereka anggap hebat itu ada yang menghina, mereka bisa berubah menjadi extremist dan bisa melakukan cara-cara kekerasan untuk membela keyakinan dan tokoh yang dipujanya.
Intinya kita harus sadar, meski dalam kapasitasnya seorang pemuka agama itu mengerti perihal agama, bukan berarti mereka tidak bisa keliru, mereka juga bisa salah tafsir dll. Karena mereka juga manusia yang memiliki kekurangan.
Jangan sampai kita terlalu fanatik ketika mengidolakan dan mengangumi seseorang. Malahan seringkali tanpa sadar kita justru lebih "menuhankan" si tokoh yang dikagumi itu, ketimbang menuhankan "Tuhan" yang sejati. Karena saking kagum dan cintanya pada sang tokoh, akhirnya kita jadi lupa Tuhan yang sebenarnya.