Dalam psikologi atau dalam dunia self hypnosis ada istilah yang namanya figur otoritas. Kita tidak akan menemukan pengertiannya di KBBI. Tapi otoritas secara harfiah bisa diartikan sebagai kekuasaan, atau wewenang.
Bila didefinisikan, sederhananya figur otoritas adalah tokoh atau seseorang yang mempunyai atribut atau wewenang, kekuasaan untuk mengatur, memerintah, memimpin, bahkan menggerakkan atau membuat kebijakan dalam bidang tertentu.
Sebut saja misalnya Ulama yang memiliki otoritas dibidang keagamaan. Dokter memiliki otoritas dibidang kesehatan. Saintis memiliki otoritas dibidang keilmuan. Guru bahkan orangtua pun sebenarnya termasuk figur otoritas. Guru adalah figur otoritas untuk muridnya, sedangkan orangtua adalah figur otoritas untuk anaknya.
Atau bisa juga orang yang kita idolakan, kita anggap hebat atau spesial. Tokoh politik tertentu, artis tertentu atau siapa pun orang yang kita idolakan dan kita anggap hebat otomatis menjadi figur otoritas diri kita.
Saya misalnya sangat mengidolakan Sukarno. Bagi saya, Sukarno adalah orang hebat, spesial. Apapun yang berhubungan dengan Sukarno, saya pasti takjub dan kagum. Semakin lama saya mengidolakan Sukarno, maka tanpa sadar, Sukarno telah menjadi figur otoritas bagi saya.
Maka ketika sudah menjadi figur otoritas, apapun yang dikatakan Sukarno, baik ataupun buruk, benar ataupun salah akan selalu saya terima tanpa harus kritis dan mempertanyakan benar atau salahnya, baik ataupun buruknya.Â
Otak ini menjadi seperti spons yang menyerap semua itu menjadi sebuah keyakinan.
Penglihatan ini menjadi buta, sehingga tidak bisa melihat dengan "normal" bahwa Sukarno pun adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Tapi karena saya sangat mengagumi, mengidolakan dan menganggapnya hebat, saya jadi seolah-olah terhipnotis untuk mengikuti apapun yang dikatakannya.
Apalagi jika kekaguman itu sudah sampai pada level fanatik. Wah pokoknya fans berat, idola banget, figur ideal, ini lebih berbahaya lagi. Kita tidak sadar dan mengakui kalau tokoh yang kita idolakan itu sebenarnya juga punya kecacatan, kekurangan dan sisi gelap.
Dalam pandangan kita, tokoh tersebut adalah tokoh ideal dan maha sempurna, sehingga kita akan bersedia mati-matian memperjuangkan apapun yang menjadi pemikiran dan perkataannya.
Seandainya saya hidup di zaman Sukarno, ketika Sukarno berteriak, "Ganyang Malaysia!!!" Atau "Setrika Amerika!!!" wah maka saya tanpa ragu pasti akan mengikutinya. Berjuang untuknya. Karena dipikiran bawah sadar saya hanya ada satu hal: "Ini idola saya, ini orang hebat, saya harus mengikutinya!"
Namun sekarang saya sudah sadar, meski saya sangat mengidolakan dan mengangumi Sukarno, bukan berarti beliau tidak memiliki kekurangan dan sisi gelap. Ketika penglihatan ini kembali "normal" ternyata tidak sedikit kegagalan kebijakan dan kekacauan sosial dan politik yang terjadi di zaman pemerintahannya.
Pandangan saya kini berubah, saya melihat beliau bukan lagi sebagai tokoh ideal yang sempurna, melainkan sebagai manusia biasa yang juga bisa salah dan memiliki kekurangan.Â
Sebagian pemikirannya memang telah menjadi keyakinan, tapi sebagian yang lain sengaja saya singkirkan.
Nah, kalau pemikiran dari figur otoritas itu sudah menjadi keyakinan, ini bisa menguntungkan bisa juga merugikan. Bisa memberdayakan bisa juga melemahkan. Tergantung keyakinan apa yang diyakini.
Misalnya pada saat menghadiri acara ceramah, ada seorang Ustadz yang berkata, "Orang kaya itu sulit masuk surga." Kita harus hati-hati dan mencerna kembali pernyataan itu. Jangan mentang-mentang dia punya "figur otoritas" dalam bidang keagamaan, kita menyerap dengan mudah pemahamannya begitu saja.
Karena ketika pemikiran itu sudah menjadi keyakinan, itu bisa sangat melemahkan. Seseorang bisa takut dan menghindari kekayaan karena pernyataan si Ustadz tadi.Â
Padahal ada juga pemahaman yang menyebutkan, "Kemiskinan bisa mengundang kekufuran."Â
Kalau ada yang mengatakan, "Orang kaya itu sulit masuk surga", bagaimana dengan Nabi Sulaiman yang diberi kekayaan dan harta berlimpah oleh Tuhan? Buktinya beliau tetap menjadi seorang hamba yang shaleh dan ta'at.Â
Meski pun seorang pemuka agama mengetahui seluk beluk soal agama, bukan berarti dia tidak bisa keliru, kan?Â
Masalahnya, masyarakat kita tidak seperti itu. Apalagi yang tinggal di pedesaan, asalkan yang menyampaikan adalah seorang Ustadz, Seorang Kiyai atau Ulama dengan atribut keagamaannya, seringkali dengan mudah perkataan dan ucapannya itu masuk begitu saja menjadi sebuah keyakinan.
Kalau sudah menjadi sebuah keyakinan, sangat sulit untuk dipulihkan. Karena keyakinan itu berbeda dengan kebenaran. Kalau sudah yakin, seringkali kita akan mati-matian mempertahankan dan membela keyakinan itu, kan?
Akhirnya ini dijadikan kesempatan oleh para oknum yang ingin mengambil keuntungan dengan cara "berjualan agama." Para oknum ini pintar melihat peluang. Mereka sadar masyarakat kita masih mudah digerakkan dan dimanipulasi dengan bungkus agama.
Makin ke sini, kita bisa menyaksikan sendiri makin bermunculan para pemuka agama yang tidak jelas asal usulnya. Tidak jelas latar pendidikan dan pesantrennya. Hanya bermodal penampilan, atribut yang religius dan akun YouTube, maka dengan sekejap mereka bisa meraih popularitas.
Sekarang sudah terbukti agama banyak dijadikan sebagai bungkus untuk menipu dan mengelabui. Apalagi jika agama itu sudah di politisasi oleh tokoh atau oknum tertentu. Ini akan menciptakan figur otoritas sehingga tidak sulit bagi masyarakat untuk menerima dan mempercayai apapun yang dikatakan dan diperintahkan oleh tokoh tersebut.
Bukan berarti kita jadi tidak menghargai pemuka agama, bukan. Yang harus kita perhatikan bukan soal (siapa) yang menyampaikannya, akan tetapi apa (redaksi) yang disampaikan.
Walaupun yang menyampaikan adalah seorang pemuka agama, tapi ketika (redaksi) yang disampaikan adalah kebencian, hasutan, makian, amarah dan kata-kata kasar. Maka sebaiknya jangan diikuti dan diteladani.Â
Tapi ketika yang menyampaikan adalah seorang pemulung dan (redaksi) yang disampaikan adalah soal kebaikan, kelembutan, kejujuran, toleransi, sopan santun, maka apa salahnya kalau kita ikuti? Karena yang terpenting adalah (isi) bukan soal (siapa) yang menyampaikan. Â
Disinilah efek dari figur otoritas itu bekerja. Secara psikologis, tentu kita akan jauh lebih mudah menerima apa yang disampaikan oleh seorang pemuka agama tadi, ketimbang si pemulung. Karena si pemuka agama adalah sosok yang memiliki figur otoritas. Pada prakteknya, dia akan lebih mudah untuk meyakinkan orang banyak dengan segala atribut dan otoritas yang dia punya.
Itulah sebabnya kenapa ada beberapa orang yang akhirnya jadi ngotot, keras kepala, ketika keyakinannya di usik meskipun keyakinannya terbukti buruk dan merugikan dirinya sendiri. Mereka hanya tinggal berdalih, "Heh ini kata Ulama A loh. Ini kata Ustadz A loh. Jadi kita harus ikuti."
Makanya tak heran ketika misal keyakinannya itu dibantah, atau tokoh yang mereka idolakan atau mereka anggap hebat itu ada yang menghina, mereka bisa berubah menjadi extremist dan bisa melakukan cara-cara kekerasan untuk membela keyakinan dan tokoh yang dipujanya.
Intinya kita harus sadar, meski dalam kapasitasnya seorang pemuka agama itu mengerti perihal agama, bukan berarti mereka tidak bisa keliru, mereka juga bisa salah tafsir dll. Karena mereka juga manusia yang memiliki kekurangan.
Jangan sampai kita terlalu fanatik ketika mengidolakan dan mengangumi seseorang. Malahan seringkali tanpa sadar kita justru lebih "menuhankan" si tokoh yang dikagumi itu, ketimbang menuhankan "Tuhan" yang sejati. Karena saking kagum dan cintanya pada sang tokoh, akhirnya kita jadi lupa Tuhan yang sebenarnya.
Fenomena ini juga bisa menjadi pengingat untuk anda yang saat ini sedang memegang otoritas. Atau anda yang kini tengah di idolakan dan dikagumi banyak orang. Berhati-hatilah dalam berkata dan berucap. Karena apapun yang anda katakan dan ucapkan akan lebih mudah dipercayai dan diterima oleh masyarakat.
Semoga bermanfaat
Reynal Prasetya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H