Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Cerita-cerita saya bisa dibaca di GoodNovel: Reynal Prasetya. Kwikku: Reynal Prasetya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bagaimana Cara Mengukur Tingkat Kecerdasan Seseorang?

12 Mei 2020   14:58 Diperbarui: 17 Mei 2020   18:42 5476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bertanya tentang sesuatu (Sumber: www.shutterstiock.com))

Secara definitif cerdas berarti sempurna perkembangan akal budinya untuk digunakan berpikir, mengerti, memahami dan sebagainya.

Dalam lingkup yang lebih luas, kecerdasan juga sering ditandai dengan kemampuan seseorang dalam mencerna sesuatu yang rumit, ketangkasan dalam memproses data dan mengolah informasi, hingga kemampuan memecahkan dan menyederhanakan masalah.

Kecerdasan rupanya cukup abstrak dan memiliki ragam definisi. Sehingga kecerdasan tidak hanya cukup diukur berdasarkan nilai IQ seseorang. 

Bahkan seorang pakar Multiple Intelligences Howard Gardner mengelompokkan kecerdasan kedalam 8 jenis. 

Di antaranya adalah kecerdasan linguistik, kecerdasan logika atau matematika, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan musikal, kecerdasan spasial, kecerdasan gerak atau kinestetik dan kecerdasan naturalis.

Namun kali ini kita tidak akan membahas terlalu jauh kedelapan jenis kecerdasan tersebut, karena yang menjadi inti dari tulisan ini adalah bagaimana kita dapat dengan mudah mengukur sejauh mana tingkat kecerdasan seseorang.

Kita tidak perlu menjadi seorang psikolog, ataupun seorang ilmuwan neurosains untuk dapat mengetahui isi otak dan kecerdasan seseorang, kita tidak memerlukan keahlian atau alat khusus untuk menyingkap apa yang ada di dalam kepala seseorang.

Karena, kecerdasan seseorang bisa dengan mudah terlihat dari bagaimana cara ia bertanya. Kecerdasan seseorang tidak hanya dinilai dari bagaimana ia bisa menjawab pertanyaan dengan mudah dan lugas, kecerdasan seseorang juga diukur dari kualitas pertanyaan yang ia ajukan.

Ketika seseorang senang dan sering bertanya, itu merupakan indikasi rasa penasaran dan rasa ingin tahu tentang sesuatu hal. Namun umumnya masyarakat kita malah menganggap orang yang banyak tanya, sama dengan orang yang bodoh. 

Padahal kenyataannya tidak seperti itu, memang kita sulit membedakan antara orang yang banyak tanya karena ia punya rasa ingin tahu yang tinggi, dengan orang yang banyak tanya karena memang ia sulit mencerna sesuatu hal (konsep, materi atau pelajaran).

Tidak sulit kok membedakan keduanya, karena semakin berkualitas pertanyaannya, semakin berkualitas juga jawaban yang didapat. Ketika pertanyaannya salah, keliru, atau kurang tepat, ya tentu saja jawaban akan selalu mengikuti pertanyaan.

Umumnya pertanyaan yang kurang berkualitas tidak dibarengi dengan struktur kalimat, akar masalah dan konteks pertanyaan secara jelas dan detail. Kadang adapula orang yang menanyakan sesuatu yang sebenarnya jawabannya sendiri sudah ia ketahui. 

Tapi karena ia malas berpikir, malas menganalisa, akhirnya ia berputar-putar mengelilingi pertanyaannya sendiri.

Banyak orang yang mendambakan sebuah jawaban yang canggih dan bisa menutupi ketidaktahuannya, akan tetapi pertanyaan yang diajukan kadang terkesan jauh dari jawaban yang di harapkan.

Tempo hari seorang pria asing dengan keukeuh sekeras batu bertanya di media sosial mengomentari status saya di Facebook terkait seberapa pentingnya penggunaan masker di kala pandemi covid-19.

Saya tidak tahu persis apa niat dan tujuan pria asing tersebut, karena dari struktur kalimat yang ia ajukan terkesan bukan ingin mengajukan pertanyaan, akan tetapi terkesan ingin mengkonfirmasi asumsi dan keyakinan pribadinya sendiri melalui saya. Sederhananya ingin dapat validasi. Begitu mungkin pikir saya.

Di satu sisi ia terlihat penasaran mengapa kita harus menggunakan masker untuk mencegah covid-19, tapi di dalam pertanyaannya sendiri tersirat, bahwa menurutnya menggunakan masker sangat tidak masuk akal, karena virus hanya tertular melalui sentuhan tangan. Begitu imbuhnya.

Melihat pertanyaannya yang terkesan kontradiktif, karena ia bertanya sekaligus membantah pernyataan dengan asumsinya sendiri, membuat saya ingin tepok jidat. Tak habis pikir mengapa ia sebegitu keukeuh dengan asumsinya itu.

Singkat cerita, sampailah kita pada sesi debat. Yang bermula hanya berbicara soal penggunaan masker, sampailah pada suatu topik yang lumayan panas.

Sebenarnya saya sudah melakukan hal yang tepat secara sadar mengakhiri pembicaraan dengannya. Di akhir diskusi saya menyarankan ia agar bertanya pada para dokter, atau ahli medis jika ingin mendapat jawaban yang lebih memuaskan.

Karena akan percuma jika terus saya ladeni, pembicaraan bukan lagi menjadi sebuah diskusi untuk menemukan jawaban atau solusi, melainkan menjadi ajang perang ego.

Benar saja, akhirnya diskusi menjadi melebar ke mana-mana, debat dimulai ketika ia melontarkan suatu argumen yang kurang lebih begini, "Enggak usah terlalu banyak ilmu, percuma kalau gak punya adab karena adab lebih penting daripada ilmu", imbuhnya.

Sontak suasana semakin panas, alih-alih menahan diri, saya justru tanpa sadar terus meladeninya, terus memberi makan egonya, hingga ia merasa geram memaki-maki dan meledek saya. Karena mungkin merasa kesal tidak mampu lagi menimpali dengan argumen yang logis.

Bukan satu kali ini saja, saya mendapat penyerangan yang serupa, orang yang tidak pandai menyusun argumen biasanya lebih suka menyerang pribadinya bukan argumennya.

Ketika kita tidak setuju dengan argumen lawan, harusnya yang kita serang adalah argumen nya, bukan memaki-maki ngegas ke orangnya!

Seringkali perdebatan berujung konflik dan pertikaian bukan karena debat adalah salah satu kegiatan yang buruk, akan tetapi banyak orang yang tidak tahu dan tidak pandai bagaimana cara berdebat yang sehat.

Lalu apa jawaban saya soal argumen pria asing tadi yang berseloroh bahwa adab lebih penting daripada Ilmu?

Ya, tentu saja saya mengiyakan argumennya sambil disertai sebuah senyuman yang menenangkan dan meredakan situasi yang sempat memanas tadi. Karena saya tidak ingin menghabiskan waktu dan energi ini untuk hal yang sia-sia.

----

Sobat, perlu Anda ketahui, ketika Anda masih suka mempertentangkan atau memversuskan sesuatu hal, artinya Anda belum sedewasa, secerdas, sebijak yang Anda pikir. Anda masih menggunakan prinsip kuno bahwa lawan dari benar adalah salah. Ma'af itulah kenyataannya.

Prinsip benar salah hanya berlaku untuk rumus matematika, dalam konteks lain, sering kali kita menemukan bahwa sebenarnya lawan dari benar adalah kebenaran lainnya. Jadi, untuk apa kita ngotot memaksakan apa yang kita pikir benar kepada orang lain?

Seperti artikel yang sebelumnya pernah saya tulis, tidak ada yang lebih baik antara punya rencana atau mengalir dalam menjalani hidup, karena dua-duanya sama-sama kita perlukan.

Begitupun tidak ada yang "lebih" penting antara adab ataupun Ilmu, dua-duanya sama-sama kita perlukan kok. 

Umumnya ketika ada orang yang mengatakan bahwa adab lebih penting daripada ilmu, sebenarnya, ya itu hanya kamuflase saja sih, hanya sebuah pembenaran belaka atas keengganan dirinya untuk belajar. 

Jika ingin melihat kebenaran secara utuh, maka mulailah untuk melampaui dualitas, melampaui hitam putih, terbanglah dinatas keduanya dengan menggunakan sayap kesadaranmu . Akhirnya bukan lagi sebuah kebenaran yang kamu temukan, melainkan sebuah kebijaksanaan.

Jadi, kesimpulannya, untuk dapat mengetahui tingkat kecerdasan seseorang, lihat dari bagaimana cara ia mengajukan pertanyaan dan ketika sedang berdebat. 

Namun yang paling penting adalah, kecerdasan saja tidak cukup, kita juga butuh kebijaksanaan. 

Kecerdasan menuntun kita untuk dapat memecahkan dan menyelesaikan suatu masalah. Kebijaksanaan menuntun kita untuk dapat melihat kebenaran secara utuh.***

Semoga Bermanfaat

Reynal Prasetya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun