Sontak suasana semakin panas, alih-alih menahan diri, saya justru tanpa sadar terus meladeninya, terus memberi makan egonya, hingga ia merasa geram memaki-maki dan meledek saya. Karena mungkin merasa kesal tidak mampu lagi menimpali dengan argumen yang logis.
Bukan satu kali ini saja, saya mendapat penyerangan yang serupa, orang yang tidak pandai menyusun argumen biasanya lebih suka menyerang pribadinya bukan argumennya.
Ketika kita tidak setuju dengan argumen lawan, harusnya yang kita serang adalah argumen nya, bukan memaki-maki ngegas ke orangnya!
Seringkali perdebatan berujung konflik dan pertikaian bukan karena debat adalah salah satu kegiatan yang buruk, akan tetapi banyak orang yang tidak tahu dan tidak pandai bagaimana cara berdebat yang sehat.
Lalu apa jawaban saya soal argumen pria asing tadi yang berseloroh bahwa adab lebih penting daripada Ilmu?
Ya, tentu saja saya mengiyakan argumennya sambil disertai sebuah senyuman yang menenangkan dan meredakan situasi yang sempat memanas tadi. Karena saya tidak ingin menghabiskan waktu dan energi ini untuk hal yang sia-sia.
----
Sobat, perlu Anda ketahui, ketika Anda masih suka mempertentangkan atau memversuskan sesuatu hal, artinya Anda belum sedewasa, secerdas, sebijak yang Anda pikir. Anda masih menggunakan prinsip kuno bahwa lawan dari benar adalah salah. Ma'af itulah kenyataannya.
Prinsip benar salah hanya berlaku untuk rumus matematika, dalam konteks lain, sering kali kita menemukan bahwa sebenarnya lawan dari benar adalah kebenaran lainnya. Jadi, untuk apa kita ngotot memaksakan apa yang kita pikir benar kepada orang lain?
Seperti artikel yang sebelumnya pernah saya tulis, tidak ada yang lebih baik antara punya rencana atau mengalir dalam menjalani hidup, karena dua-duanya sama-sama kita perlukan.
Begitupun tidak ada yang "lebih" penting antara adab ataupun Ilmu, dua-duanya sama-sama kita perlukan kok.Â