Umumnya pertanyaan yang kurang berkualitas tidak dibarengi dengan struktur kalimat, akar masalah dan konteks pertanyaan secara jelas dan detail. Kadang adapula orang yang menanyakan sesuatu yang sebenarnya jawabannya sendiri sudah ia ketahui.Â
Tapi karena ia malas berpikir, malas menganalisa, akhirnya ia berputar-putar mengelilingi pertanyaannya sendiri.
Banyak orang yang mendambakan sebuah jawaban yang canggih dan bisa menutupi ketidaktahuannya, akan tetapi pertanyaan yang diajukan kadang terkesan jauh dari jawaban yang di harapkan.
Tempo hari seorang pria asing dengan keukeuh sekeras batu bertanya di media sosial mengomentari status saya di Facebook terkait seberapa pentingnya penggunaan masker di kala pandemi covid-19.
Saya tidak tahu persis apa niat dan tujuan pria asing tersebut, karena dari struktur kalimat yang ia ajukan terkesan bukan ingin mengajukan pertanyaan, akan tetapi terkesan ingin mengkonfirmasi asumsi dan keyakinan pribadinya sendiri melalui saya. Sederhananya ingin dapat validasi. Begitu mungkin pikir saya.
Di satu sisi ia terlihat penasaran mengapa kita harus menggunakan masker untuk mencegah covid-19, tapi di dalam pertanyaannya sendiri tersirat, bahwa menurutnya menggunakan masker sangat tidak masuk akal, karena virus hanya tertular melalui sentuhan tangan. Begitu imbuhnya.
Melihat pertanyaannya yang terkesan kontradiktif, karena ia bertanya sekaligus membantah pernyataan dengan asumsinya sendiri, membuat saya ingin tepok jidat. Tak habis pikir mengapa ia sebegitu keukeuh dengan asumsinya itu.
Singkat cerita, sampailah kita pada sesi debat. Yang bermula hanya berbicara soal penggunaan masker, sampailah pada suatu topik yang lumayan panas.
Sebenarnya saya sudah melakukan hal yang tepat secara sadar mengakhiri pembicaraan dengannya. Di akhir diskusi saya menyarankan ia agar bertanya pada para dokter, atau ahli medis jika ingin mendapat jawaban yang lebih memuaskan.
Karena akan percuma jika terus saya ladeni, pembicaraan bukan lagi menjadi sebuah diskusi untuk menemukan jawaban atau solusi, melainkan menjadi ajang perang ego.
Benar saja, akhirnya diskusi menjadi melebar ke mana-mana, debat dimulai ketika ia melontarkan suatu argumen yang kurang lebih begini, "Enggak usah terlalu banyak ilmu, percuma kalau gak punya adab karena adab lebih penting daripada ilmu", imbuhnya.