Ketidakdewasaan dan kepolosan kita dalam memandang relasi cinta menjadi sebab mengapa seringkali kita gagal membina dan merawat suatu hubungan, baik itu dalam masa pacaran ataupun pernikahan.
Remaja saat ini begitu rentan terhadap perceraian, karena mereka menganggap menikah adalah sebuah trend, sebuah mesin generator kebahagiaan.
Padahal dalam prakteknya, kita melihat pernikahan adalah sebuah kerjasama, artinya ketika kita memutuskan untuk menikah, saat itu juga kita memutuskan untuk bersedia bekerjasama dengan pasangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Bukan untuk sekedar happy-happy, bukan untuk sekedar memuaskan hasrat kesepian, atau mengobati kesedihan.Â
Jika pasangan adalah rekan kerja, jadi sangat masuk akal bila kita mencari sosok pasangan yang benar-benar kompatibel, berpengalaman dan mampu di ajak bekerjasama. Bukan mencari pasangan yang asal-asalan, bermasalah dan apa adanya.
Ketika pada saat berbelanja sesuatu, seperti sepatu, baju atau tas misalnya, kita sampai rela menghabiskan waktu untuk pilih-pilih membandingkan satu produk dengan produk lain, demi menemukan produk yang paling berkualitas, kenapa tidak kita lakukan juga pada saat sedang mencari pasangan?.
Bila anda mendengarkan nasehat leluhur orang tua jaman dulu, anda mungkin masih ingat kan dengan istilah "Bibit, bebet, bobot"?.
Orangtua jaman dulu pun paham dan mengerti betul, menikah bukanlah suatu proyek yang main-main, dimana segala sesuatunya harus diperhitungkan terutama dalam memilih pasangan.
Kita bisa melihat kakek nenek, generasi kita jaman dulu, mereka tidak terlalu mementingkan aspek cinta, dulu orang-orang jaman dulu terbiasa memandang cinta dari sisi logika.
Mereka justru tidak terlalu mempermasalahkan apakah mereka saling mencintai atau tidak, mereka hanya mementingkan apakah calon pasangannya cukup kompatibel atau tidak untuk diajak menikah.
Misalnya yang mereka lihat adalah dari segi status ekonominya, keagamaan nya, status sosialnya, keturunannya, atau apa yang mereka sebut sebagai bibit, bebet, bobot itu.