Mohon tunggu...
Fahruddin Fitriya
Fahruddin Fitriya Mohon Tunggu... Jurnalis - Redaktur

Kita akan belajar lebih banyak mengenai sebuah jalan dengan menempuhnya, daripada dengan mempelajari semua peta yang ada di dunia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Madilog" Manifesto Sang Revolusioner (Straktat Filsafat dari Cililitan)

16 Desember 2009   21:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:54 2303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Namun, seperti dicatat Frans Magnis-Suseno, materialisme Tan Malaka bukanlah pandangan filosofis bahwa segala yang ada itu materi atau berasal dari materi, melainkan keterarahan perhatian manusia pada kenyataan. Maka, "Materialisme berarti: mempelajari realitas bendawi dengan mempergunakan pendekatan ilmiah," kata Magnis.

Dari tujuh bab dari Madilog, dua bab khusus membahas masalah ilmu pengetahuan. Di sini Tan Malaka mengurai bagaimana ilmu pengetahuan bekerja, apa itu bukti, apa hukum alam itu, dan macam apa ilmu pengetahuan menarik kesimpulan dengan induksi, deduksi, dan verifikasi.

Seluruh paparan itu dilengkapinya dengan seabrek contoh dari khazanah berbagai ilmu, seperti fisika, matematika, biologi, dan astronomi. Hal terpenting dari semua uraian ini adalah bahwa materialisme atau ilmu pengetahuan akan membuka pikiran manusia untuk melangkah lebih maju, menciptakan alat dan mesin, dan memahami kodrat alam yang berguna bagi kehidupan.

Tahap selanjutnya Tan Malaka membawa pembaca menerobos lebih dalam lagi dalam memahami dunia. Kali ini ilmu pengetahuan dan logika yang dipakainya tak memadai lagi dan orang butuh dialektika.

Dalam paparannya tentang dialektika, Tan Malaka masuk pada uraian Karl Marx dalam membahas tesis-tesis Feuerbach. Kita tahu, di sinilah Marx menyatakan seruannya yang terkenal, bahwa para ahli filsafat sudah memahami dunia, tapi yang terpenting adalah mengubahnya.

Boleh jadi traktat filsafat Madilog Tan Malaka ini sangat gemilang pada masanya, tapi kehadirannya kini dengan diterbitkan, misalnya, oleh Pusat Data Indikator pada 1999, tentulah menjadi kuno, meskipun perlu sebagai sebuah dokumen.

Sebagai sebuah kitab filsafat, dia sama nasibnya dengan buku-buku Karl Marx dan para muridnya. Sebagai sebuah gagasan, dia sama tertinggalnya dengan gagasan yang diusung para tokoh itu. Dan, nasib Madilog jadi lebih buruk karena dia tak sempat tumbuh wajar dan berbaur dengan wacana intelektual lain di masa Indonesia modern, sehingga peluangnya untuk hidup kembali dan mungkin berkembang lebih jauh seakan bertemu tembok dingin Orde baru.

Namun, sumbangan terpenting dari buku ini adalah ajakan Tan Malaka untuk berpikir rasional, ilmiah, dan meninggalkan kepercayaan atas takhayul yang mengukung--yang nyatanya masih hidup di sebagian masyarakat di Nusantara. Yang patut dicatat pula adalah gairah Tan Mala yang meluap-luap untuk mendorong rasionalitas itu menuju satu titik: kemerdekaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun