Bagaimana Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika lahir, satu-satunya sumber tertulis tampaknya cuma apa yang dicatat sendiri oleh pengarangnya.
"Ditulis di Rawajati, dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta. Di sini saya berdiam dari 15 juli 1942 sampai dengan pertengahan tahun 1943, mempelajari keadaan kota dan kampung Indonesia yang lebih dari 20 tahun ditinggalkan. Waktu yang dipakai buat menulis Madilog ialah lebih kurang 8 bulan, dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, ialah kira-kira 3 jam sehari," tulis Tan Malaka.
Berarti Tan Malaka menulis naskah itu di tengah-tengah masa pendudukan represif Jepang. Dia mengenang bagaimana dia menulis "di bawah pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas pondok saya" dan membawa naskah Madilog bersembunyi ke Bayah Banten dan ikut pergi mengantarkan romusha ke Jawa Tengah.
Bahkan, menurut Tan Malaka, naskah itu turut bersamanya ketika dia ditangkap di Surabaya gara-gara masalah Tan Malaka palsu. "Bahkan hampir saja Madilog hilang," katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut duduk perkaranya.
Tapi, dapatlah disimpulkan bahwa penulisan Madilog di bawah keadaan darurat, bahkan semua referensinya hanya mengandalkan ingatan, yang tampaknya juga memanfaatkan teknik "jembatan keledai". Hal ini tentu jauh dari umumnya kemewahan para ilmuwan yang menulis di perpustakaan kampus yang sangat lengkap.
Meski demikian, bukan berarti traktat filsafat ini bisa dianggap sepele. Dua ahli filsafat Indonesia, Frans Magnis-Suseno dan Ignas Kleden, menilai karya Tan Malaka ini sebagai sebuah pemikiran yang patut dipuji.
Ignas Kleden menilai Madilog sebagai traktat yang menguji paham materialisme, dialektika, dan logika dengan "cara yang sama luas dan sama ketatnya" dengan The Open Society and Its Enemies karya Karl Popper dan Die Materialistische Geschichtsauffassung karya Karl Kautsky.
Madilog adalah sebuah metode berpikir, sebuah epistemologi yang menjadi landasan yang, menurut Tan Malaka, diperlukan bagi kaum proletar Indonesia untuk mencapai pencerahan dan "merebut kekuasaan dari imperialisme Belanda" alias Indonesia merdeka.
Traktat ini memang berangkat dari keprihatinan Tan Malaka terhadap para proletar yang belum menyadari kekuatan tersembunyi kelasnya. Ini semua terjadi karena "Mereka masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan tahayul campur aduk," katanya.
Maka, traktat ini dimulai dengan paparan tentang "logika mistika" atau logika yang berdasarkan rohani, yakni kepercayaan kepada segala hal yang gaib, bahwa kekuasaan terletak pada para dewa. Cara berpikir yang berdasarkan logika ini akan membuat manusia hanya bergantung pada yang mistik, enggan berubah. Dengan cara seperti ini mustahil revolusi terjadi atau perubahan diwujudkan.
Untuk mengatasi kebuntuan logika mistika ini, Tan Malaka mengajukan tiga senjata: materialisme, dialektika dan logika.