Mohon tunggu...
Pelangi Zahra
Pelangi Zahra Mohon Tunggu... Guru - Guru

Pelangi Zahra adalah nama pena dari Revi Nuraini, S.Pd, seorang guru yang memiliki hobi travelling dan menulis. IG : @Pelangizahra_

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Desaku yang Hilang

23 Oktober 2024   05:54 Diperbarui: 23 Oktober 2024   08:41 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          

         Mobil terus melaju membawaku menyusuri jalan desa yang mulai asing bagiku. Seingatku sudah hampir lima tahun  tidak menginjakkan kaki di desa kecilku ini. Bukan tidak rindu atau tidak ingin pulang, hanya saja aktivitas pekerjaan yang  memang padat membuatku kesulitan mencuri waktu. Untung saja minggu ini aku dapat cuti tahunan, sehingga bisa menuntaskan rindu yang sudah lama terpendam.

            Sesekali tubuhku terasa bergoyang ketika mobil melewati jalan rusak. Ku kira setelah beberapa tahun tidak pulang jalannya sudah diperbaiki, namun ternyata masih sama. Padahal jika dilihat dari kehidupan masyarakatnya, perekonomian mereka semakin membaik. Mataku terus menyapu gedung-gedung besar, rumah mewah dan alat transportasi yang rata-rata dimiliki setiap rumahnya. Sangat disayangkan, jika akses jalannya masih seperti itu.

            Aku mendengar kabar dari ibu semalam, mungkin kehidupan di desa saat ini juga sudah sangat jauh berubah dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Semakin membaiknya perekonomian mereka, rupanya berdampak pada sikap sosialisasi mereka yang muali berkurang. Bahkan budaya gotong royong saja sudah mulai ditinggalkan. Mereka yang memiliki uang lebih senang membayar orang untuk diperkerjakan daripada harus meminta bantuan masyarakat lain. Mulai ada rasa gengsian antara masyarakat ketika meminta tolong, padahal dulu itu menjadi budaya yang selalu dilestarikan.

Baca juga: Masa yang Usai

            Pandanganku kini tertuju pada kiri kanan jalan. Benar saja, sudah banyak perubahan yang terjadi di desaku. Pepohonan hijau yang biasa menyambutku pulang, kini sudah tak kutemui lagi. Jangankan pohon besar, rumput liar yang biasa menari di terpa anginpun seakan kasat mata. Ku buka kaca jendela mobil, sengaja kepalaku sedikit keluar agar terlihat jelas apa yang ada di depan mata.

            Keningku berkerut, seakan tak percaya apa yang aku lihat. Bagaimana mungkin secepat ini desaku berubah?.  Mataku terus menyapu jalanan, berharap apa yang aku lihat dulu masih bisa terlihat. Tetapi nihil, ketika mobil sudah melewati hampir setengah jalan desa tetap saja pepohonan hijau tempat burung  bersarang tak lagi terlihat. Hanya hamparan tanah kosong dan terdapat asap menggempul di tengahnya. Sepertinya pemilik kebun baru saja membersihkan lahannya.

 "Sudah jauh berbeda ya pak suasana desa sekarang" ketusku pada supir yang sedari tadi fokus pada jalan.

Baca juga: Hati yang Mengalah

"Iya. Beginilah kondisi desa kita, sudah tidak serindang dulu lagi" jawab pak supir.

"Mau ditanam apa lahan mereka ini pak?" tanyaku lagi.

Baca juga: Kerikil Penantian

"Apalagi kalau bukan sawit. Rata-rata masyarakat disini sekarang sudah memiliki kebun sawit sendiri. Bahkan jika mereka tak ingin mengolahnya, nanti bakal ada PT yang bersedia membeli lahan kosong mereka dan mengubahnya menjadi kebun sawit." Jelas pak supir.

"Ohh, kebun sawit rupanya. Pantas saja, pohon besar dan hutan banyak ditebang ya pak!"

"Ya. Seperti itulah kira-kira. Makanya perekonomian disini mulai naik daun sejak masa itu dan membuat yang  lain pun berpacu juga untuk mengganti tanaman mereka."

Aku terdiam dan mengangguk paham. Akhirnya rasa penasaranku terjawab sudah. Pantas saja, semua berubah dan tak seindah dulu lagi. Sangat disayangkan sebenarnya. Tapi mungkin karena seiring berjalannya waktu dan pola pikir masyarakat yang semakin maju.

            Ada rasa sedikit kecewa di dalam hatiku setelah menyaksikan semuanya. Niatku pulang kampung ingin mencari ketenangan dnegan suasana lingkungan yang  begitu indah. Tetapi sayangnya itu tak ku dapatkan lagi. Semua sudah berubah. Bukan lagi pohon durian yang ku lihat, malah sudah berganti menjadi pohon sawit yang kini berbaris rapi di setiap lahannya.

            Jika dulu lingkungan terasa sangat sejuk dan sangat minim polusi, namun sekarang malah sebaliknya. Ternyata jalan rusak yang aku lalui tadi bukan karena tidak diperbaiki, namun karena sering dilewati oleh mobil besar yang membeli sawit masyarakat. Tidak ada juga yang mau disalahkan, karena mereka saling membutuhkan. Jadi jangan heran jika jalan desa yang dulu rusak, sekarang malah semakin rusak.

            Mobilpun akhirnya berhenti tepat di halaman rumah tanteku. Setelah membayar ongkosnya, akupun langsung disambbut oleh tanteku. Wanita itu langsung  menarik tubuhku dalam pelukannya. Kami pun larut dalam pelukan kerinduan yang memang sudah lama tidak bertemu. Ku lihat matanya mulai berkaca-kaca selepas memeluk tubuhku.

"Alhamdulillah sampai juga kamu nak. Bagaimana kabar ayah dan ibu?" tanya tanteku.

"Alhamdulillah mereka sehat nte. Mereka menitipkan pesan untuk tante" jelasku lagi sambil kaki kami melangkah masuk ke rumah.

            Mungkin hanya tersisa suasana rumah inilah yang tidak mengalami perubahan. Aku masih dapat merasakan suasana kecilku dulu. Dinding papan dengan tongkat kayu masih menjadi ciri khas rumah ini. Bibirku merekah ketika berdiri tepat di depan pintu belakang. Tetapi senyumku tak bertahan lama, ketika mataku menatap pohon sawit yang kini masih berumur satu tahunan itu.

"Ayo mari makan dulu, tante sudah masak tempoyak ikan patin kesukaanmu" ujar tante sambil membuka tudung saji.

"Ah tante, merepotan saja" ucapku sambil memeluk manja tubuh wanita itu.

"Tidak apa-apa, tante sengaja membeli tempoyak kemarin di pasar."

"Lho bukannya biasa tante buat sendiri ya?" tanyaku lagi penasaran, karena seingatnya tantenya ini memang paling suka membuat tempoyak jika musim buah durian.

"Iya itu dulu. Sekarang buah durian sudah langka"

            Tante pun akhirnya bercerita panjang lebar tentang kondisi dan perubahan desanya saat ini. Banyaknya lahan yang kini disulap menjadi kebun sawit rupanya sudah mengorbankan pohon-pohon durian untuk ditebang. Tidak hanya pohon durian, buah-buahan lainnya pun sekarang mulai sulit didapatkan kecuali ke pasar buah. Tetapi itu tidak menjadi masalah bagi masyarakat yang sudah bersikeras untuk menjadikan lahan mereka kebun sawit.

            Memang tidak ada yang  bisa disalahkan dalam hal ini. Aku pun mulai paham, mungkin karena tuntutan kebutuhan saat ini juga membuat masyarakat berfikir lebih maju. Tetapi seharusnya ada kebijakan dari pemerintah setempat juga yang mengatur tentang pembukaan lahan ini. Sehingga tidak hanya keuntungan material yang didapatkan, namun lingkungan juga tetap terjaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun