Mohon tunggu...
Cerpen

Akhir Zaman

18 Februari 2019   14:56 Diperbarui: 18 Februari 2019   15:33 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir Zaman
By : Retno Qren

Inilah yang paling menyenangkan tinggal di desa, bisa menikmati waktu pagi hari bersama dengan istri tercinta. Dulu, awal menikah, aku tinggal di Ibu Kota Negara Indonesia, dengan berprofesi sebagai mantri. Tidak kuat dengan kemacetan dan polusi Jakarta, kami memutuskan kembali ke kampung halaman. Melanjutkan karir di Puskesmas Desa Sukadana.

Selain itu, masjid di sini rutin mengadakan pengajian taklim setiap minggunya. Istriku senang sekali datang untuk mendengar ceramah. Sekaligus bertemu dan bershilaturahim dengan ibu-ibu. Namun, sangat disayangkan praktek meminta di depan kuburan keramat atau memakai jimat untuk kesembuhan, masih banyak dilakukan warga. Kadang aku heran, di tengah moderenisasi saat ini, masih ada saja yang percaya hal seperti itu. Bahkan, takhayul dan mitos sangat berkembang di sini. Tidak sedikit pula dikaitkan dengan agama.

Selepas subuh, kami menonton berita pagi di salah satu saluran televisi nasional. Tidak lupa secangkir kopi yang masih mengepulkan asap dan kudapan berupa ubi dan singkong rebus menemani.

"Ada-ada saja, tukang cukur ngaku jadi nabi." Komentarku ketika melihat pewarta membacakan salah satu headlinennya.

"Lah, sebulan yang lalu, guru TK ngaku jadi Maryam. Malah dia bilang didatengi Malaikat Jibril. Sekarang dia punya kerajaan tuh." Wanita di sampingku tak kalah sengit menimpali pembicaraan.

"Aneh-aneh saja orang zaman sekarang. Udah gitu ada yang ngikutin lagi." Aku menggelengkan kepala, menertawai tingkah pola manusia saat ini.

"Iya, namanya juga akhir zaman."

***
Rumah yang kami tinggali terletak di sebuah desa dataran tinggi. Diapit oleh dua gunung dengan jarak berjauhan. Anginnya sejuk karena masih banyak pepohonan dan sawah. Untuk sampai di puskesmas tempatku bekerja, harus menggunakan sepeda motor selama kurang lebih sepuluh menit.

Saat ini sedang musim kemarau, udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Namun, matahari bersinar lebih terik. Sepanjang perjalanan, aku melihat hamparan sawah yang telah menguning. Bukan karena masa panen akan datang, akan tetapi kemarau yang melanda di desa membuatnya gagal tumbuh dan berkembang. Saluran irigasi yang mengalirkan air ke sawah warga pun mengering. Tanah tidak tercukupi air, sehingga terbelah menjadi beberapa bagian.

Sudah hampir sembilan bulan kemarau melanda desa ini. Ikan-ikan di balong sebelah rumah mengambang mati. Hal itu dikarenakan, sebagian besar warga masih mengandalkan kolam ikan sebagai saluran akhir pembuangan. Hanya beberapa rumah yang memiliki tangki septik. Bau amis ikan mati dan tinja menimbulkan aroma tidak sedap yang menyengat. Menyatu dengan udara yang sedang kuhirup kini.

Sumur warga perlahan mengering. Untuk mendapatkan air bersih seukuran satu ember saja harus menunggu satu malam. Jika sudah seperti itu, warga desa berbondong-bondong untuk mendatangi Gunung Sukadana yang terletak beberapa meter dari rumahku.

Di gunung tersebut, terdapat satu mata air yang segar. Memancar dari sela-sela bebatuan kemudian mengalir ke sebuah kolam kecil di bawahnya. Di sanalah tempat warga desa menyelesaikan hajatnya : mencuci, menampung air, bahkan mandi. Untuk sampai di sana, warga harus melewati jalan tanah yang berbatu dilanjutkan dengan melewati hamparan sawah. Ketika sedang tidak terburu-buru ke kantor, aku membantu istri untuk mengangkut air dari gunung tersebut.

Ketika sebagian besar warga pontang-panting memenuhi kebutuhan air, ada satu warga yang tetap dalam ketenangan. Seolah tidak ada beban dan masalah yang dihadapinya. Ia adalah Kasdi seorang pemuda yang tidak muda lagi. Umurnya sudah berkepala empat. Keseharian laki-laki jangkung itu adalah duduk termenung di teras rumahnya yang terletak di sebrang rumahku.

Setiap pagi aku melihatnya mengepulkan asap putih, berasal dari batang yang menyempil di kedua bibirnya. Sesekali, jika ada warga yang membutuhkan bantuan, barulah ia beranjak dari rumah. Setelah selesai pekerjaan, tuna karya itu akan mendapatkan uang.

Pemuda itu hidup sendiri di rumah peninggalan ibunya. Bangunan itu terlihat sangat rapuh, ada bekas jejak rayap di sana. Satu yang istimewa, di bagian belakang terdapat sumur tua, yang walaupun kemarau melanda, air masih tersedia banyak di sana.

Selepas subuh, warga yang malas untuk jalan ke gunung, mengantri di sumur tersebut. Mengisi tempat penyimpanan air mereka. Sang pemilik sumur hanya diam dan memperhatikan.

Salah satu warga desa menghampirinya dan berkata, "Kamu seperti Utsman Bin Affan saja, menyediakan air bersih untuk warga."

"Siapa itu?"

"Sahabat Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Pengusaha kaya raya dan suka bersedekah."

"Oh ...." Mata Kasdi menatap ke dalam antrian yang mengular. Sebuah senyuman terkembang di mulutnya.

Ketika fajar mulai muncul kembali mengiringi pergantian hari. Warga dikejutkan dengan kehadiran seorang laki-laki yang memakai baju koko putih lusuh, sarung kusut dan kopiah hitam bertengger di kepalanya.

"Kepada penduduk desa yang sedang mengantri mengambil air dari sumur ini. Perkenalkan aku Kasdi pemilik sumur ini. Aku adalah titisan dari sahabat Kanjeng Nabi Muhammad Saw bernama Utsman Bin Affan. Maka dari itu, untuk kelancaran air di sumur ini, saya sudah menyediakan kotak amal untuk bersedekah. Silahkan masukkan uang kalian di sini!" Warga yang mendengar laki-laki itu berbicara, langsung memprotes tindakannya dengan menyoraki bersama.

"Gila kamu, ya? Mana ada titisan Utsman Bin Affan." Seorang bapak paruh baya mengeluarkan protes.

"Jika tidak mengakui apa yang saya katakan. Jangan mengambil air dari sumur ini lagi!" Warga saling pandang dan berbicara satu sama lain. Sebagian pergi meninggalkan pemuda gila di depannya. Sebagian masih ada yang tetap bertahan di sana. Mengantri mengambil air, kemudian memasukkan uang pada kotak yang disediakan.

"Gila Si Kasdi. Ga ada kerjaan apa ya, ngaku sebagai titisan sahabat kanjeng Nabi." Celetuk istriku ketika di depan rumah berpapasan dengan Bu Laela.

"Kenapa, Bu?" ucap Bu Laela penasaran.

"Itu Si Kasdi, setiap orang yang mau ngambil air di sana harus bilang, terimakasih titisan Utsman Bin Affan. Terus masukin uang di kotak infak. Kan setress!" Nada bica istriku dibuat meliuk dengan  intonasi yang tinggi di akhir. Jari telunjuknya menyilang di dahi.

"Masa sih, Bu? Kirain Cuma ada di berita aja orang yang suka ngaku-ngaku begitu. Taunya di desa kita sendiri kejadian," timpal Bu Laela.  

Segera kuhampiri dua wanita yang asik berbincang tersebut, "Jangan mau, Bu. Bisa gugur akidah kita. Sini biar Bapak ambilkan air di Gunung Sukadana. Walau agak jauh, tapi ga sesat."

Selain kekeringan, kemarau berkepanjangan mengakibatkan penyakit mewabah. Diare merajalela, menghampiri anak dan dewasa. Penyakit kulit juga salah satu yang menghinggapi sebagian besar penduduk desa. Aku yang berprofesi sebagai mantri dengan sedikit pengetahuan untuk menanggulangi wabah penyakit tersebut, memiliki tanggung jawab untuk membantu mengatasinya.

Dengan surat perintah dari kepala puskesmas, aku menjalankan tugas untuk menangani wabah tersebut. Beberapa hari ini warga bergantian datang ke rumah, meminta diobati penyakitnya. Ada yang mengeluh pusing, demam, dan gatal-gatal. Semua telah diantisipasi dengan peralatan dan obat-obatan yang dibekali oleh poliklinik tingkat kecamatan.

Berita tentang pengobatanku sudah menjadi buah bibir di lingkungan masyarakat. Mereka berbondong-bondong memeriksakan diri dan keluarga yang terserang penyakit. Belum saja pintu terbuka, sejak jam enam pagi mereka sudah menunggu di halaman.  

Ketika Aku membuka gerbang, muncul seorang bapak didampingi istrinya yang membawa satu kantong plastik. Mereka maju di antara antrian dan mengucapkan, "Terimakasih, Pak. Kalau tidak ada Bapak mungkin kami sekeluarga sudah menderita. Anda adalah penolong kami. Tolong diterima ini singkong dari kebun saya."

"Tidak perlu repot-repot, Pak. Saya hanya menjalankan kewajiban sebagai seorang mantri."

"Bapak mungkin Nabi Isa yang dijanjikan Allah turun untuk menolong manusia di muka bumi." ibu yang di sebelah bapak tersebut menambahkan. Orang-orang mulai saling berbincang dan mengangguk-angguk, sebagian menyetujui, sebagian lain menyangsikan. Mulutku tak henti mengucap istighfar.

"Perhatian! Saya adalah Jajang, mantri di Desa Sukadana! Saya bukan nabi! Paham?"  pengakuanku. Tegas dan jelas.

_END_

Tasikmalaya, 22 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun