Mohon tunggu...
Cerpen

Akhir Zaman

18 Februari 2019   14:56 Diperbarui: 18 Februari 2019   15:33 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumur warga perlahan mengering. Untuk mendapatkan air bersih seukuran satu ember saja harus menunggu satu malam. Jika sudah seperti itu, warga desa berbondong-bondong untuk mendatangi Gunung Sukadana yang terletak beberapa meter dari rumahku.

Di gunung tersebut, terdapat satu mata air yang segar. Memancar dari sela-sela bebatuan kemudian mengalir ke sebuah kolam kecil di bawahnya. Di sanalah tempat warga desa menyelesaikan hajatnya : mencuci, menampung air, bahkan mandi. Untuk sampai di sana, warga harus melewati jalan tanah yang berbatu dilanjutkan dengan melewati hamparan sawah. Ketika sedang tidak terburu-buru ke kantor, aku membantu istri untuk mengangkut air dari gunung tersebut.

Ketika sebagian besar warga pontang-panting memenuhi kebutuhan air, ada satu warga yang tetap dalam ketenangan. Seolah tidak ada beban dan masalah yang dihadapinya. Ia adalah Kasdi seorang pemuda yang tidak muda lagi. Umurnya sudah berkepala empat. Keseharian laki-laki jangkung itu adalah duduk termenung di teras rumahnya yang terletak di sebrang rumahku.

Setiap pagi aku melihatnya mengepulkan asap putih, berasal dari batang yang menyempil di kedua bibirnya. Sesekali, jika ada warga yang membutuhkan bantuan, barulah ia beranjak dari rumah. Setelah selesai pekerjaan, tuna karya itu akan mendapatkan uang.

Pemuda itu hidup sendiri di rumah peninggalan ibunya. Bangunan itu terlihat sangat rapuh, ada bekas jejak rayap di sana. Satu yang istimewa, di bagian belakang terdapat sumur tua, yang walaupun kemarau melanda, air masih tersedia banyak di sana.

Selepas subuh, warga yang malas untuk jalan ke gunung, mengantri di sumur tersebut. Mengisi tempat penyimpanan air mereka. Sang pemilik sumur hanya diam dan memperhatikan.

Salah satu warga desa menghampirinya dan berkata, "Kamu seperti Utsman Bin Affan saja, menyediakan air bersih untuk warga."

"Siapa itu?"

"Sahabat Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Pengusaha kaya raya dan suka bersedekah."

"Oh ...." Mata Kasdi menatap ke dalam antrian yang mengular. Sebuah senyuman terkembang di mulutnya.

Ketika fajar mulai muncul kembali mengiringi pergantian hari. Warga dikejutkan dengan kehadiran seorang laki-laki yang memakai baju koko putih lusuh, sarung kusut dan kopiah hitam bertengger di kepalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun