Komunikasi politik berada dalam dua suasana yaitu suprastruktur komunikasi dan infrastruktur komunikasi. Pada suprastruktur komunikasi terdiri dari para pengelola sumber komunikasi sesuai dengan fungsi kekuasaan. Sedangkan pada infrastruktur atau suasana komunikasi masyarakat yang terdiri dari para pengelola sumber komunikasi sesuai kebutuhan unsur - unsur yang ada pada infrastruktur. Adapun menurut G.A. Almond dan S. Coleman infrastruktur politik dikualifikasikan ke dalam lima kelompok, yaitu:
1. Partai Politik (political party).
2. Golongan Kepentingan (interest group).
3. Golongan Penekan (Pressure group).
4. Tokoh Politik (political figure), dan
5. Alat-alat (media) Komunikasi Politik (Political communication tools).
Kelima kelompok tersebut sangat berpengaruh terhadap situasi kehidupan politik, karena mereka memiliki kemampuan untuk menggerakkan massa dan mampu untuk memobilisasi pendapat umum agar berpihak kepada mereka. Karena itu, elit-elit suprastruktur sangat berkepentingan untuk selalu menjalin komunikasi dengan elit-elit infrastruktur, terutama di dalam mempertahankan status kekuasaannya. Kelompok - kelompok infrastruktur tersebut merupakan komunikator - komunikator politik yang selalu berusaha mengembangkan pengaruh untuk mendapatkan dukungan masyarakat pada waktu terjadi pergeseran atau pergantian jabatan melalui proses pemilihan umum (Shahreza, 2018).
Adapun Vedel (2003) menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimana Information Communication Technology (ICTs) dalam hal ini Internet memberikan efek pada komunikasi politik. Pandangan Vedel tentang karakter Internet memiliki kesamaan dengan Holmes (2005) seperti langsung, interaktif dan terdesentralisasi. Namun Vedel menyediakan pandangan baru seperti karakter yang murah, menjangkau publik, terseleksi, dan global. dalam hal ini media baru dapat memfasilitasi proses komunikasi politik. (Hasfi, 2019).
Kampanye Politik menggunakan Media Baru
Ruang publik (public sphere) merupakan sebuah ruang yang mudah diakses tanpa batas, bebas dari tekanan kekuasaan negara dan ekonomi, di mana warga negara melakukan pembicaraan politik guna mewujudkan suatu kesepahaman bersama terkait dengan kepentingan umum yang lebih luas. Konsep dasar ruang publik ini terungkap dari pemikiran Habermas (1989). Ruang publik merupakan “tempat” untuk berkomunikasi sebagai elemen pembentuk kehidupan sosial (life-world) yang bersandar pada rasionalitas komunikatif anggota masyarakat. Ruang publik modern awal adalah surat kabar (1700-an), kemudian radio (1920-an), dan televisi (1950-an), serta yang terakhir adalah internet (1970-an). Kini, Internet disebut juga sebagai ruang publik post-modern.
Di era ini, Perkembangan teknologi digital mampu menggeser media tradisional menjadi media baru karena terdiri dari perangkat komputer dan jaringan nirkabel sebagai medium. Masyarakat pun memiliki tantangan tersendiri dalam memasuki era media baru yaitu penyebaran digital yang serba digital dengan internet, world wibe web (WWW), dan multimedia (Sugihartati, 2014). Media baru juga dapat meliputi komputer, DVD,VCD, portable media player, smartphone, video game hingga virtual reality. Jenis media baru juga termasuk media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, YouTube, Podcast, Vodcast, Path, Tiktok, dan sebagainya. Berbagai media sosial sebagai bentuk dari media baru ini membuka peluang bagi masyarakat untuk secara masif mendapatkan informasi baik dengan berbicara, berbagi, berpartisipasi maupun membentuk jejaring online (Habibah & Irwansyah, 2021).