Mohon tunggu...
Restu A Putra
Restu A Putra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak menulis kecuali yang baik

Buku Cerpennya, Siapa Sebenarnya Ajengan Hamid Sebelum Diburu Anjing-Anjing? (Rua Aksara, 2019)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Radikal Boleh, Ekstrem Jangan

1 Desember 2019   12:02 Diperbarui: 1 Desember 2019   16:11 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya termasuk yang tidak sepakat dengan 'pemerkosaan' istilah Radikalisme tersebut. Sudah banyak pandangan sebagian kalangan yang mengkritisi tindakan gegabah sejumlah pihak (dalam hal ini terutama Pemerintah) yang dengan 'watados'-nya melabelkan Radikalisme kepada kelompok yang dinilai menurut mereka mengancam 4 pilar negara ini; Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam artikelnya di Indoprogress, 16 Oktober 2019, seorang aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Kosmas Mus Guntur, mengungkapkan, gerakan-gerakan pembebasan dan revolusioner di dunia ini justru lahir dari orang-orang yang berpikiran Radikal. Dalam artikelnya yang berjudul Menjernihkan Manipulasi Kata Radikalisme itu ia mengatakan, kini kata Radikalisme sedang mengalami deformasi luar biasa. Maknanya sudah bergeser jauh dari positif dan progressif menjadi sangat negatif dan reaksioner. 

Istilah Radikal sendiri disebutkan lahir sejak Revolusi Perancis (1787-1789). Para penentang Raja waktu itu menyebut dirinya sebagai "kaum radikal". Salah satunya adalah gerakan Jacobin.

Di Indonesia sendiri, jika tidak ada kelompok anak-anak muda Radikal seprti Wikana Cs yang menghendaki Sukarno dan Hatta segera memproklamasikan Kemerdekaan sampai mesti diculik ke Rengasdengklok itu, maka bangsa ini tidak akan pernah punya nyali menyatakan merdeka secepatnya.

Dalam konteks keagamaan, Menteri Agama era Kabinet Kerja, Lukman Hakim Saifuddin, bahkan sudah mengingatkan sejak jauh hari ketika pada 2015 diadakan Dialog Pencegahan Paham Radikal, Terorisme, dan ISIS di Yogyakarta. (Republika, 28/10/2015). 

Menurutnya ada yang salah dalam pemahaman umat Islam antara Radikalisme dan Ekstremisme.

Dalam konsep Islam dikenal dengan istilah Tatharrufu Dinniy (berlebihan dalam agama). Istilah itu seringkali dipukulrata pemahamannya menjadi Ekstremisme sekaligus juga Radikalisme.

Padahal, kata dia, pengertian keduanya sangatlah jauh berbeda. Menurutnya, sebagaimana arti kata sesungguhnya, Radikal berasal dari kata radix/radici, yang berarti mengakar atau mendalam. Sehingga jika dikaitkan dari sudut pandang agama maka sikap Radikal adalah suatu sikap yang niscaya.

"Agama memang harus diyakini, menghujam dalam hati sanubari, pikiran, dan terefleksi dalam tindakan dan sikap," kata dia.

Dengan demikian, sikap Radikal bukanlah sesuatu yang mesti dicegah karena pada dasarnya setiap pemeluk agama mesti meyakini keyakinannya secara mendalam dan mengakar.

Berbeda halnya dengan Ekstremisme. Kata Tatharruf lebih tepat dilekatkan dengan sikap Ekstremisme yang memang dilarang dalam agama. Karena Islam adalah agama dengan jalan yang moderat (Washat).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun