Mohon tunggu...
Restu A Putra
Restu A Putra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak menulis kecuali yang baik

Buku Cerpennya, Siapa Sebenarnya Ajengan Hamid Sebelum Diburu Anjing-Anjing? (Rua Aksara, 2019)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Radikal Boleh, Ekstrem Jangan

1 Desember 2019   12:02 Diperbarui: 1 Desember 2019   16:11 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya termasuk yang tidak sepakat istilah Radikal dilekatkan kepada tindakan-tindakan aksi kekerasan, terorisme, atau perlawanan yang menciptakan kerusakan.

Apalagi diasosiasikan kepada umat Islam yang seringkali (dan ini juga salah kaprah) dinilai konservatif, fundamentalis, atau bahkan ekstrem. Padahal ketiga istilah itu saja punya akar makna yang berbeda.

Pemerintah belakangan ini menegaskan semakin gencar memerangi Radikalisme yang dianggap menjadi musuh negara nomor satu karena mengancam keutuhan dan dasar negara; NKRI dan Pancasila.

Radikalisme menjadi agenda utama pemerintah yang penting dimeratakan, dibandingkan sektor lain, kepada seluruh rakyat Indonesia agar tidak terpapar dengan paham tersebut.

Radikalisme adalah monster menakutkan dan mengancam. Seandainya ia adalah ideologi, maka ia mesti ditumpas di tiap kepala seseorang.

Mengapa persepsi ini dipelihara terus menerus bahkan ditelan mentah-mentah oleh media massa sehingga menimbulkan bias?

Ada buku bagus berjudul Radical Marketing karangan Sam Hill dan Glenn Rifkin (1999), apakah itu juga sama seperti Radikal yang dipersepsikan pemerintah?

Toh itulah 'definisi' yang diciptakan pemerintah atas apa yang disebut dengan Radikalisme, kan?

Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan pernah mengatakan untuk menguatkan ideologi Pancasila dalam diri setiap warga negara, maka harus dilakukan upaya Radikalisasi.

"Harus ada radikalisasi (Pancasila). Ini boleh ada radikalisasi Pancasila oleh bupati, gubernur, termasuk wartawan, juga di kampus dan semua kita," kata Zulhas, sapaan akrabnya, yang ketika itu masih menjabat Ketua MPR seperti dilansir Rmol.id, Jumat (1/6/2018).

Coba lihat, betapa serampangannya makna Radikal dicomot siapa saja dan dimaknai sesuai kepentingannya.

Saya termasuk yang tidak sepakat dengan 'pemerkosaan' istilah Radikalisme tersebut. Sudah banyak pandangan sebagian kalangan yang mengkritisi tindakan gegabah sejumlah pihak (dalam hal ini terutama Pemerintah) yang dengan 'watados'-nya melabelkan Radikalisme kepada kelompok yang dinilai menurut mereka mengancam 4 pilar negara ini; Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam artikelnya di Indoprogress, 16 Oktober 2019, seorang aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Kosmas Mus Guntur, mengungkapkan, gerakan-gerakan pembebasan dan revolusioner di dunia ini justru lahir dari orang-orang yang berpikiran Radikal. Dalam artikelnya yang berjudul Menjernihkan Manipulasi Kata Radikalisme itu ia mengatakan, kini kata Radikalisme sedang mengalami deformasi luar biasa. Maknanya sudah bergeser jauh dari positif dan progressif menjadi sangat negatif dan reaksioner. 

Istilah Radikal sendiri disebutkan lahir sejak Revolusi Perancis (1787-1789). Para penentang Raja waktu itu menyebut dirinya sebagai "kaum radikal". Salah satunya adalah gerakan Jacobin.

Di Indonesia sendiri, jika tidak ada kelompok anak-anak muda Radikal seprti Wikana Cs yang menghendaki Sukarno dan Hatta segera memproklamasikan Kemerdekaan sampai mesti diculik ke Rengasdengklok itu, maka bangsa ini tidak akan pernah punya nyali menyatakan merdeka secepatnya.

Dalam konteks keagamaan, Menteri Agama era Kabinet Kerja, Lukman Hakim Saifuddin, bahkan sudah mengingatkan sejak jauh hari ketika pada 2015 diadakan Dialog Pencegahan Paham Radikal, Terorisme, dan ISIS di Yogyakarta. (Republika, 28/10/2015). 

Menurutnya ada yang salah dalam pemahaman umat Islam antara Radikalisme dan Ekstremisme.

Dalam konsep Islam dikenal dengan istilah Tatharrufu Dinniy (berlebihan dalam agama). Istilah itu seringkali dipukulrata pemahamannya menjadi Ekstremisme sekaligus juga Radikalisme.

Padahal, kata dia, pengertian keduanya sangatlah jauh berbeda. Menurutnya, sebagaimana arti kata sesungguhnya, Radikal berasal dari kata radix/radici, yang berarti mengakar atau mendalam. Sehingga jika dikaitkan dari sudut pandang agama maka sikap Radikal adalah suatu sikap yang niscaya.

"Agama memang harus diyakini, menghujam dalam hati sanubari, pikiran, dan terefleksi dalam tindakan dan sikap," kata dia.

Dengan demikian, sikap Radikal bukanlah sesuatu yang mesti dicegah karena pada dasarnya setiap pemeluk agama mesti meyakini keyakinannya secara mendalam dan mengakar.

Berbeda halnya dengan Ekstremisme. Kata Tatharruf lebih tepat dilekatkan dengan sikap Ekstremisme yang memang dilarang dalam agama. Karena Islam adalah agama dengan jalan yang moderat (Washat).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri pengertian Radikal tidaklah berkonotasi negatif.

Radikal diartikan yakni, secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); kemudian dalam konteks politik yakni amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir atau bertindak.

Oleh karenanya, jika ada upaya Radikalisasi yang dilakukan pemerintah terhadap warga negaranya, maka perlu terlebih dulu ditegaskan batasan terminologis dari Radikal itu sendiri.

Radikalisasi itu sendiri saja sudah rancu secara prinsip. Jika ada Deradikalisasi maka berarti ada Radikalisasi. Radikalisasi terhadap apa yang dilakukan warga negara sehingga perlu dideradikalisasi?

Apa yang tengah 'Diradikalisasi' warga negara sehingga 'Deradikalisasi' massif digencarkan? 

Radikalisasi Agamakah? Radikalisasi Ekonomi? Radikalisasi Politik? Atau Radikalisasi Pancasila?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun