"Apa yang berarti dari hidupku? Hanya mengikuti arus layaknya orang biasa." Sambungku.
"Apa kau menyesal menikah dan punya anak? Sehingga hidupmu menjadi tidak berarti?" tanya Sujoni payah
"Bukan Sujoni, bukan begitu!" balas ku sambil mengibas-ngibaskan tangan dan menggelengkan kepala. "Maksudku, aku hanya menjalani semua yang layaknya manusia lakukan. Seolah-olah semua sudah ditakdirkan begini. Contohnya kau, kau menikah dan punya anak kan? Bukankah itu yang dilakukan setiap orang?" ucapku sambil menaruh cerutu ku.
Sujoni terpaku menimbang-nimbang perkataanku
"Kalau semua manusia kecil, lalu tumbuh kemudian berkeluarga, dan mati. Kalau begitu, semua arti hidup manusia sama saja. Tak ada yang berbeda, toh kita semua melakukan 'rutinitas' yang sama."
Sujoni tetap diam terpaku
"Sudahlah, tak ingin kubahas apa arti hidupku. Biar dikubur dalam-dalam."
Sujoni yang diam, memilih bersuara. "Gus, tidakkah kau sadar, arti hidup itu didepan matamu. Kita memang menjalani 'rutinitas' yang sama, tetapi bagaimana kau melihat cara kerja 'rutinitas' itu yang membuatnya berbeda. Bahagiakah, senangkah, cintakah, uangkah, deritakah, atau apa saja."
Kali ini aku yang diam
Sujoni melanjutkan ceramahnya "Pikirkan dari sudut mana kau melihatnya Gus! Renungkan baik-baik dan temukan artinya. Karena hidup itu pasti berarti." Kata Sujoni menepuk-nepuk pundakku lalu pamit pergi, dipanggil anaknya entah untuk apa.
Kembali ku seruput kopi, hingga tersisa ampasnya. Kopiku habis.