Mohon tunggu...
Resti Seli
Resti Seli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi

suka menulis apa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Tua yang Sia-sia

20 Juli 2021   11:34 Diperbarui: 21 Juli 2021   19:52 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku Agus, seorang lelaki tua berumur 72 tahun, aku menghabiskan hari-hariku dengan duduk di depan gubuk kecil yang kusebut rumah. Gubuk ini sudah tua dan sedikit lagi akan roboh. Sama seperti aku, tua bengkok yang sedikit lagi akan menyatu dengan tanah.

Istriku sudah meninggal 15 tahun yang lalu akibat gagal ginjal. Kejadian waktu itu kira-kira begini, sebelum putus napas, istriku berpesan padaku untuk pergi dari gubuk ini dan ikut menetap bersama anak kami di Kota. Mendengarnya berkata seperti itu, aku hanya mengangguk. Selang beberapa menit, istriku yang terbaring di kasur rumah sakit, menarik napas panjang lalu diam terbujuk kaku. Tanda bahwa Sang Pencipta telah mengambil kembali istri yang kucinta ke pangkuan-Nya.

Tersisa aku dan seorang anak lelaki ku, Yanto. Dia sudah memiliki keluarga di kota sana. Setelah selesai mengebumikan ibunya, Yanto akan kembali ke kota. Sempat ia mengajakku, tetapi dengan suara serak dan berat aku berkata, "Pergi sudah nak, bapak mah tinggal disini saja. Udah tua, capek jalan jauh." Yanto mencoba merayu ku lagi namun, sudah penuh keyakinanku untuk tetap di gubuk ini. Yanto tak ingin membuang waktu, segera ia berpamitan mencium tangan kasarku lalu pergi.

Setelah kejadian 15 tahun lalu itu, Yanto jarang mengunjungiku, yang sering menjumpaiku hanyalah uang yang dia titipkan pada tetangga ketika sedang pergi ke kota. 

Kini hanya ada aku, Pagi hari duduk diteras gubuk sembari ditemani kopi panas hitam pekat dan cerutu yang habis terbakar. Beberapa kali kuhisap dan kuhembuskan, asapnya mengepul menutupi mukaku, muka hitam yang penuh dengan gores-goresan keriput. 

Aku yang sedang duduk menghabiskan waktu sembari memikir-mikirkan hidup, dikagetkan oleh kedatangan Sujoni, tetangga yang sering datang menemani ku menyeruput habis secangkir kopi.

"Angan apalagi yang kau pikirkan Gus.." tanya dia yang langsung duduk di sampingku.

"Arti hidupku, Su..." ku hisap cerutu dan mengehembuskannya ke arah Sujoni.

"Owalah, Gus.. Gus.. 72 tahun kau hidup, tak kau ketahui arti hidupmu?"

Ku seruput kopiku ssrrtt 

"Dengar Sujoni, hidup 72 tahun kuhabiskan layaknya manusia biasa. Ada masa kanak-kanak, aku tertawa, berlari, melompat girang bersama teman-temanku. Kemudian memasuki remaja, mulai mengenal cinta. Setelah itu menikah, lalu punya anak." Aku jeda sejenak agar bisa menghisap cerutu. wuuhhhh kuhembuskan asapnya. Sujoni hanya diam memandangku.

"Apa yang berarti dari hidupku? Hanya mengikuti arus layaknya orang biasa." Sambungku.

"Apa kau menyesal menikah dan punya anak? Sehingga hidupmu menjadi tidak berarti?" tanya Sujoni payah

"Bukan Sujoni, bukan begitu!" balas ku sambil mengibas-ngibaskan tangan dan menggelengkan kepala. "Maksudku, aku hanya menjalani semua yang layaknya manusia lakukan. Seolah-olah semua sudah ditakdirkan begini. Contohnya kau, kau menikah dan punya anak kan? Bukankah itu yang dilakukan setiap orang?" ucapku sambil menaruh cerutu ku.

Sujoni terpaku menimbang-nimbang perkataanku

"Kalau semua manusia kecil, lalu tumbuh kemudian berkeluarga, dan mati. Kalau begitu, semua arti hidup manusia sama saja. Tak ada yang berbeda, toh kita semua melakukan 'rutinitas' yang sama."

Sujoni tetap diam terpaku

"Sudahlah, tak ingin kubahas apa arti hidupku. Biar dikubur dalam-dalam."

Sujoni yang diam, memilih bersuara. "Gus, tidakkah kau sadar, arti hidup itu didepan matamu. Kita memang menjalani 'rutinitas' yang sama, tetapi bagaimana kau melihat cara kerja 'rutinitas' itu yang membuatnya berbeda. Bahagiakah, senangkah, cintakah, uangkah, deritakah, atau apa saja."

Kali ini aku yang diam

Sujoni melanjutkan ceramahnya "Pikirkan dari sudut mana kau melihatnya Gus! Renungkan baik-baik dan temukan artinya. Karena hidup itu pasti berarti." Kata Sujoni menepuk-nepuk pundakku lalu pamit pergi, dipanggil anaknya entah untuk apa.

Kembali ku seruput kopi, hingga tersisa ampasnya. Kopiku habis.

Dalam benakku aku merasakan takut. Takut jika suatu saat aku mati nanti, aku mati tanpa mengetahui apa arti hidupku di dunia ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun