Sexual harasment atau pelecehan seksual adalah sebuah tindak asusila yang tabu untuk dibahas di Indonesia. Sexual harassment ini dapat berupa melecehkan, perbuatan cabul dan perkosaan. Dalam KBBI disebutkan, melecehkan adalah memandang rendah (tidak berharga), menghina, menista. Sedangkan perbuatan cabul adalah perbuatan keji dan kotor yang tidak senonoh dan melanggar kesopanan juga kesusilaan. Lamintang dan Djisman Samosir menyebutkan perkosaan merupakan sebuah tindakan seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan.
Sexual harassment tidak hanya sebatas pelecehan secara fisik tetapi bisa juga berupa pelecehan seksual verbal dan pelecehan seksual visual. Sexual harasment dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan siapa saja, baik tua, muda, laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan balita. Pembahasan dalam tulisan ini akan membahas tentang (a) sexual harassment yang terjadi di Indonesia dan (b) stigma masyarakat Indonesia terhadap korban sexual harassment yang berani speak up.
Sexual Harassment di Indonesia
Tindak sexual harassment dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dapat dapat dialami oleh siapa saja tanpa pandang bulu. Mengutip dari hasil wawancara antara BBC News Indonesia dengan salah satu aktris perfilman Indonesia Hannah Al-Rashid, dia menyebutkan bahwa pernah mengalami beberapa kali pelecehan seksual di ruang publik mulai dari alun-alun, institusi pendidikan, tempat kerja, hingga transportasi umum.
Pernyataan dari Hannah inilah yang menjadikan mengapa ruang publik menjadi tempat paling banyak terjadi kasus pelecahan seksual. Ruang publik menjadi tempat paling rawan dan paling menakutkan untuk sebagian orang. Terjadinya pelecehan seksual di ruang publik lebih banyak mengarah pada pelecehan seksual verbal dan pelecehan seksual fisik berupa rape. Di Indonesia sendiri banyak ditemukan kasus berupa pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik contohnya transportasi umum, tempat kerja, institusi pendidikan, bahkan jalan raya.
Pelecehan seksual yang sedang viral di Indonesia yaitu “begal payudara” dan “begal bokong”. Begal payudara dan begal bokong, kekerasan seksual yang terjadi di ruang publik tepatnya di trotoar jalan, gang atau jalan raya. Begal ini dilakukan oleh pelaku saat korban tengah berjalan, pelaku dengan menggunakan motor langsung saja menyentuh atau meremas (maaf) payudara atau bokong milik korbannya dan langsung melarikan diri menggunakan sepeda motor. Bahkan dibeberapa kasus dilaporkan bahwa pelaku begal juga memperlihatkan kemaluannya kepada korbannya. Pelecehan seksual ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh masyarakat Indonesia di berbagai platfrom media sosial.
Selain begal payudara terdapat berbagai kasus pelecehan seksual yaitu pelecehan seksual verbal yang dialamai oleh seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram bernama Ibu Nuril Baiq yang mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh Kepala Sekolah tempat dimana dia bekerja sebagai guru honorer. Pelecehan seksual verbal yang dilakukan oleh Kepala Sekolah ini bermula dari percakapan telpon. Kepala sekolah membicarakan soal pengalaman seksualnya dan berlanjut pada nada-nada pelecehan terhadap Ibu Nuril Baiq. Kasus Ibu Nuril Baiq ini sempat menjadi trending diberbagai sosial media karena Nuril Baiq malah dijadikan tersangka dan dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dengan denda sebesar Rp.500 juta.
Kasus lainnya, yaitu tentang kasus yang terjadi di Lampung Timur. Kasus bermula dari pemerkosaan yang dilakukan oleh petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur, terhadap seorang anak dibawah umur (13 tahun) yang juga korban pemerkosaan dengan inisial NF. NF adalah seorang penyintas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh pamannya.
NF diamankan di P2TP2A sejak tahun 2019 untuk menjalani rehabilitasi psikis. Korban yang seharusnya dilindungi ini oleh salah satu petugasnya digunakan untuk menyalurkan nafsu bejatnya. Tak hanya sekali dua kali petugas yang bernama Dian Ansori ini memperkosa NF beberapa kali di lingkungan P2TP2A, rumahnya, dan rumah korban. Selain itu, pelaku bahkan dengan tega menjual NF dengan pria lain. Terakhir, Dian Ansori diduga melakukan pemerkosaan terhadap dua penyintas lain di rumah aman ini.
Melihat dari contoh kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ruang publik (institusi pendidikan, tempat kerja, tranportasi umum dan lembaga) merupakan tempat dimana sering terjadi sexual harassment. Merujuk dari pernyataan ini Fairchild & Rudman (2008) dalam Everyday stranger harassment and women’s objectification menyatakan bahwa pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik seperti pertokoan, jalan atau transportasi umum dilakukan oleh pelaku yang tidak dikenal oleh korban (stranger sexual harassment) dan yang terjadi di wilayah dimana korban beraktivitas seperti tempat kerja, kantor, kampus, lingkungan rumah atau sekolah dilakukan oleh pelaku yang kenal baik dengan korban. Pelecehan seksual yang sering terjadi di ruang publik membuktikan bahwa ruang publik menjadi tempat yang tidak aman bagi siapapun terhadap predator seksual yang berkeliaran.
Faktor Penyebab Sexual Harassment
Kemajuan IPTEK, perkembangan penduduk dan perubahan nilai-nilai sosial juga budaya menjadi pengaruh tersendiri dari meningkatnya kasus sexual harassment yang terjadi di masyarakat. Faktor penyebab terjadinya sexual harassment, salah satunya yaitu situasi dan kondisi lingkungan, dan posisi dimana korban berada yang memicu niat pelaku untuk melakukan sexual harassment.
Sehubungan dengan hal ini, MacKinnon dalam Sexual Harassment of Working Women (1979) menyebutkan dua bentuk pelecehan seksual berdasarkan kondisi yang mendukung yaitu quid pro quo dan pekerjaan. Quid pro quo berdasarkan banyak atau sedikitnya pilihan yang diberikan (perempuan harus menerima perlakuan seksual atau dia kehilangan pekerjaannya). Kedua pekerjaan, pelecehan seksual yang dilakukan karena status pekerjaan perempuan berada dalam keadaan tertekan, mereka membutuhkan uang dan terintimidasi melalui dunia pekerjaannya. Situasi dan kondisi inilah yang menjadikan korban mau tidak mau harus menerima perlakuan pelecehan seksual.
Maldina Rahmawati peneliti ICJR menyebutkan bahwa pelecehan seksual terjadi karena adanya dominasi pelaku terhadap korbannya. Pernyataan ini bisa kita lihat dari kasus Ibu Nuril Baiq, dia ingin melaporkan tindak pelecehan yang dialaminya tetapi karena adanya dominasi status sosial dari sang pelaku menyebabkan Ibu Nuril Baiq dari korban menjadi terdakwa.
Dominasi lain dapat dilihat dari banyaknya korban perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Berkaitan dengan gender, dimana laki-laki selalu dikaitkan dengan kekuatan dan perempuan adalah makhluk yang lemah. Hal ini yang mengakibatkan kenapa korban dari pelecehan seksual atau sexual harassment kebanyakan adalah perempuan. Perlakuan ini berkaitan dengan vindictive rapists yaitu pelaku yang motivasi melakukan sexual harassment untuk mendapatkan kekuasaan lebih, memegang kendali lebih, dan juga untuk mengekspresikan kebencian. Vindictive rapists lebih pada melukai korban secara fisik dan batin dengan mempermalukan korban dan merendahkan korban.
Knight & Prentky (1990) dalam Robertiello & Terry (2007) pada jurnal ilmiahnya yang berjudul Can We Profile Sex Offender Typologies, menyebutkan dua motivasi seseorang melakukan sexual harassment yaitu motivasi seksual yang dimiliki oleh tipe pelaku opportunistic rapits & sexual rapits yang melakukan serangan berdasarkan impuls, perilakunya tidak direncanakan, bersifat predatory, dan tidak terkendali. Hal utama yang sebenarnya dinginkan oleh pelaku motivasi dan tipe ini adalah terpenuhinya keinginan mereka untuk melakukan perilaku seksual.
Tipe pelaku sexual rapists, pelaku ini ingin memenuhi kebutuhannya akan seks, pelampiasan agresi dan biasanya berfokus pada kekurangan fisik yang dimiliki oleh pelaku. Kedua motivasi nonseksual yang dimiliki oleh tipe pelaku pervasively angry rapists, memiliki dasar motivasi kemarahan, agresi, kebencian atau balas dendam. Pelaku menggunakan kekerasan dalam menyalurkan nasfunya yang menyebabkan luka fisik atau bahkan kematian pada korban.
Seorang psikolog klinis Agus Purnomo menekankan faktor penyebab pelaku melakukan sexual harassment dimulai dari faktor rendahnya moralitas, suasana yang mendukung, hingga otoritas pelaku yang lebih tinggi dari korban. Penjelasan inilah yang menjadi motivasi dari pelaku untuk melakukan tindak asusila, mereka lebih mementingkan nafsu bejat mereka daripada apa akibat dari perilaku yang mereka lakukan terhadap korban mereka. Pelaku sexual harassment tidak pernah memikirkan nasib dari korbannya.
Wise dan Stanley (1987) dalam bukunya berjudul Georgie Porgie: Sexual Harassment in Everyday Life menyebutkan tiga ciri-ciri pelaku pelecehan seksual yaitu (1) tidak memiliki keterampilan sosial dan mengalami kebingungan sosial, (2) orang yang bermasalah yang minum-minuman keras terlalu banyak dan terlalu dekat dengan ibunya, dan (3) umunya adalah orang yang nervous dan kekanak-kanakan. Jika, di lingkungan masyarakat ditemukan orang-orang dengan perilaku tersebut ada baiknya kita membimbing mereka dan selalu memberikan perhatian khusus supaya mereka tidak melakukan perbuatan tindak sosial yang meresahkan.
Stigma Korban Sexual Harassment di Indonesia
Di indonesia sendiri kekerasan seksual atau sexual harassment merupakan sebuah fakta sosial yang sering terjadi di masyarakat namun jarang dilaporkan. Banyaknya kasus sexual harassment di ruang publik yang tidak dilaporkan ini karena pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik dianggap sebagai hal yang lumrah di masyarakat. Selain itu ketika korban melaporkan, kebanyakan masyarakat akan menyalahkan korban atau victim blamming. Victim blamming ini dapat berupa pakaian apa yang digunakan oleh korban, bagaimana perilaku korban saat peristiwa tersebut terjadi atau karena korban yang berjalan sendirian di malam hari.
“Kamu itu aib keluarga aja, udah gak suci udah gak perawan lagi”. Demikian tuturan salah satu keluarga kepada korban sexual harassment yang berani speak up di keluarganya. “Salah sendiri pakai baju terbuka, ngundang nafsu sih... alah paling juga dia menikmati digrepe-grepekan enak.. hahaha”. Cuitan dari seorang netizen di sebuah platfrom berita online yang membahas mengenai korban sexual harassment. Tuturan-tuturan seperti inilah yang diberikan oleh masyarakat kepada korban sexual harassment.
Pola pikir yang menyalahkan korban ini berbahaya bagi korban, sayangnya pola pikir ini tumbuh dari budaya seksis dan berkembang di masyarakat Indonesia. Korban yang seharusnya dilindungi, diberikan pendampingan untuk memulihkan kondisi mental psikisnya sekejap berubah menjadi pelaku di mata masyarakat.
Bahkan dibeberapa kasus sexual harassment diselesaikan dengan cara kekeluargaan yaitu dengan menikahkan korban dengan pelaku, demi menutupi aib keluarga (jika korban hamil). Padahal hal ini, bisa saja menjadi sebuah senjata pembunuh bagi korban. Korban dipaksa untuk hidup dengan predator yang menghancurkan hidupnya. Tindakan inilah yang memicu trauma bagi korban dan menjadikan mereka memilih untuk bunuh diri daripada menyerahkan sisa hidupnya kepada pelaku.
Fairchild & Rudman (2008) menyatakan dampak dari sexual harassment bagi korban yaitu menimbulkan kecemasan, merasa tidak nyaman, ketakutan, terintimidasi, malu, trauma atau menyalahkan diri sendiri. Akibat lain dari sexual harassment bagi korban, korban akan mengalami kecemasan yang berlebihan dalam penampilan fisiknya serta perasaan ketakutan yang berlebihan akan terjadinya peristiwa perkosaan lagi yang mengakibatkan mereka membatasi aktivitas sosialnya. Dalam beberapa kasus ditemukan korban akan mengakhiri hidupnya atau bunuh diri karena berbagai tekanan dari masyarakat yang didapatnya.
Stigma masyarakat yang negatif terhadap korban sexual harassment menjadikan korban enggan untuk speak up karena mereka merasa terlalu dihakimi. Padahal ketika korban mengalami sexual harassment, bisa jadi korban mengalami sebuah kondisi yang bernama tonic immobility yaitu kondisi dimana korban tidak melawan dan berdiam saja karena sebuah reaksi defensif yang muncul secara biologis.
Korban yang mengalami tonic immobility merasa mati rasa, mengalami disosiasi serta rasa terperangkap, tidak bisa kabur, merasa kesia-siaan dan keputusasaan. Orang yang mengalami tonic immobility cenderung akan mengalami post traumatic stress disorter (PTSD) dan depresi setelah pelecehan seksual. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Francine Russo dalam Sexual Assault May Trigger Involuntary Paralysis :
“But new research adds to the evidence debunking this common belief. According to a recent study, a majority of female rape survivors who visited the Emergency Clinic for Rape Victims in Stockholm reported they did not fight back. Many also did not yell for help. During the assault they experienced a kind of temporary paralysis called tonic immobility. And those who experienced extreme tonic immobility were twice as likely to suffer post-traumatic stress disorder (PTSD) and three times more likely to suffer severe depression in the months after the attack than women who did not have this response”.
Hal inilah yang menjadi dasar mengapa kebanyakan korban sexual harassment tidak bisa melawan. Anna Mӧller dalam penelitiannya berjudul Tonic Immobility During Sexual Assult –- a Common Reaction Predicting Post-Traumatic Stress Disoster and Severe Depression menyebutkan, “Jika seseorang mengalami kekerasan seksual hal umum bagi para korban utntuk mengalami reaksi defensif bawaan yang membuat mereka lumpuh sementara”. Anna menjelaskan bahwa orang yang melakukan kekerasan seksual, tidak akan berhenti meskipun korban tiba-tiba menjadi diam dan tidak memberikan respon apapun. Studi inlah yang menjadi penguat bagi korban sexual harassment mengapa mereka tidak melakukan perlawanan kenapa pelaku sexual harassment.
Kristi Poerwandi dalam tulisannya yang bertajuk “Kita Harus Merasa Malu” (2020) menyatakan kepedulian terhadap penanggulangan dan pencegahan kekerasan seksual masih minim, bahkan terkadang dianggap sebuah lelucon dan meremehkan kejadian. Dalam tulisannya dia menyatakan “Apakah pantas ketika seseorang yang telah mengalami pengalaman traumatis yang akan membekas seumur hidupnya, didalam benaknya masih dipertanyakan ? Apakah ketika kejadian berlangsung korban merasa nyaman atau tidak ? jika merasa nyaman, berarti tidak termasuk dalam tindak pemerkosaan. Sesederhana itukah kasus kekerasan seksual dari kacamata negeri ini ?”
Tulisan dari Ibu Kristi inilah yang menjadi gambaran dari kondisi masyarakat di Indonesia ketika terjadi peristiwa sexual harassment di lingkungannya. Kita tahu bahwa sexual harassment merupakan hal yang tabu untuk dibahas di Indonesia hal ini karena berbau seksualitas. Padahal, pengenalan pendidikan seks kepada anak usia dini mampu menekankan terjadinya perbuatan yang menyimpang. Pengenalan pendidikan seks kepada anak usia dini berguna untuk membentuk karakter dan pola perilaku yang mampu menghindarkan mereka dari perilaku yang beresiko terhadap kejadian kekerasan seksual maupun perilaku seksual yang tidak seharusnya.
Akhirnya, demikianlah sedikit gagasan penulis terkait dengan sexual harassment di Indonesia. Penting diingat untuk para penyintas sexual harassment di Indonesia sebuah kutipan buku dari penulis Rose McGowan dalam novelnya Brave untuk memberikan semangat bagi para penyintas sexual harassment di dunia ”The truth of it is, the shame was not mine, and for all victims in similar situations, it is not ours. The shame is reserved for every creep who has ever touched us inappropriately. The shame is on the abuser, not the victim, not the survivor. It is tragic that so many of us have to survive this kind of crap, and I’m so sorry if it has happened to you”. Salam! 10/11/20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H