Kemajuan IPTEK, perkembangan penduduk dan perubahan nilai-nilai sosial juga budaya menjadi pengaruh tersendiri dari meningkatnya kasus sexual harassment yang terjadi di masyarakat. Faktor penyebab terjadinya sexual harassment, salah satunya yaitu situasi dan kondisi lingkungan, dan posisi dimana korban berada yang memicu niat pelaku untuk melakukan sexual harassment.
Sehubungan dengan hal ini, MacKinnon dalam Sexual Harassment of Working Women (1979) menyebutkan dua bentuk pelecehan seksual berdasarkan kondisi yang mendukung yaitu quid pro quo dan pekerjaan. Quid pro quo berdasarkan banyak atau sedikitnya pilihan yang diberikan (perempuan harus menerima perlakuan seksual atau dia kehilangan pekerjaannya). Kedua pekerjaan, pelecehan seksual yang dilakukan karena status pekerjaan perempuan berada dalam keadaan tertekan, mereka membutuhkan uang dan terintimidasi melalui dunia pekerjaannya. Situasi dan kondisi inilah yang menjadikan korban mau tidak mau harus menerima perlakuan pelecehan seksual.
Maldina Rahmawati peneliti ICJR menyebutkan bahwa pelecehan seksual terjadi karena adanya dominasi pelaku terhadap korbannya. Pernyataan ini bisa kita lihat dari kasus Ibu Nuril Baiq, dia ingin melaporkan tindak pelecehan yang dialaminya tetapi karena adanya dominasi status sosial dari sang pelaku menyebabkan Ibu Nuril Baiq dari korban menjadi terdakwa.
Dominasi lain dapat dilihat dari banyaknya korban perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Berkaitan dengan gender, dimana laki-laki selalu dikaitkan dengan kekuatan dan perempuan adalah makhluk yang lemah. Hal ini yang mengakibatkan kenapa korban dari pelecehan seksual atau sexual harassment kebanyakan adalah perempuan. Perlakuan ini berkaitan dengan vindictive rapists yaitu pelaku yang motivasi melakukan sexual harassment untuk mendapatkan kekuasaan lebih, memegang kendali lebih, dan juga untuk mengekspresikan kebencian. Vindictive rapists lebih pada melukai korban secara fisik dan batin dengan mempermalukan korban dan merendahkan korban.
Knight & Prentky (1990) dalam Robertiello & Terry (2007) pada jurnal ilmiahnya yang berjudul Can We Profile Sex Offender Typologies, menyebutkan dua motivasi seseorang melakukan sexual harassment yaitu motivasi seksual yang dimiliki oleh tipe pelaku opportunistic rapits & sexual rapits yang melakukan serangan berdasarkan impuls, perilakunya tidak direncanakan, bersifat predatory, dan tidak terkendali. Hal utama yang sebenarnya dinginkan oleh pelaku motivasi dan tipe ini adalah terpenuhinya keinginan mereka untuk melakukan perilaku seksual.
Tipe pelaku sexual rapists, pelaku ini ingin memenuhi kebutuhannya akan seks, pelampiasan agresi dan biasanya berfokus pada kekurangan fisik yang dimiliki oleh pelaku. Kedua motivasi nonseksual yang dimiliki oleh tipe pelaku pervasively angry rapists, memiliki dasar motivasi kemarahan, agresi, kebencian atau balas dendam. Pelaku menggunakan kekerasan dalam menyalurkan nasfunya yang menyebabkan luka fisik atau bahkan kematian pada korban.
Seorang psikolog klinis Agus Purnomo menekankan faktor penyebab pelaku melakukan sexual harassment dimulai dari faktor rendahnya moralitas, suasana yang mendukung, hingga otoritas pelaku yang lebih tinggi dari korban. Penjelasan inilah yang menjadi motivasi dari pelaku untuk melakukan tindak asusila, mereka lebih mementingkan nafsu bejat mereka daripada apa akibat dari perilaku yang mereka lakukan terhadap korban mereka. Pelaku sexual harassment tidak pernah memikirkan nasib dari korbannya.
Wise dan Stanley (1987) dalam bukunya berjudul Georgie Porgie: Sexual Harassment in Everyday Life menyebutkan tiga ciri-ciri pelaku pelecehan seksual yaitu (1) tidak memiliki keterampilan sosial dan mengalami kebingungan sosial, (2) orang yang bermasalah yang minum-minuman keras terlalu banyak dan terlalu dekat dengan ibunya, dan (3) umunya adalah orang yang nervous dan kekanak-kanakan. Jika, di lingkungan masyarakat ditemukan orang-orang dengan perilaku tersebut ada baiknya kita membimbing mereka dan selalu memberikan perhatian khusus supaya mereka tidak melakukan perbuatan tindak sosial yang meresahkan.
Stigma Korban Sexual Harassment di Indonesia
Di indonesia sendiri kekerasan seksual atau sexual harassment merupakan sebuah fakta sosial yang sering terjadi di masyarakat namun jarang dilaporkan. Banyaknya kasus sexual harassment di ruang publik yang tidak dilaporkan ini karena pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik dianggap sebagai hal yang lumrah di masyarakat. Selain itu ketika korban melaporkan, kebanyakan masyarakat akan menyalahkan korban atau victim blamming. Victim blamming ini dapat berupa pakaian apa yang digunakan oleh korban, bagaimana perilaku korban saat peristiwa tersebut terjadi atau karena korban yang berjalan sendirian di malam hari.
“Kamu itu aib keluarga aja, udah gak suci udah gak perawan lagi”. Demikian tuturan salah satu keluarga kepada korban sexual harassment yang berani speak up di keluarganya. “Salah sendiri pakai baju terbuka, ngundang nafsu sih... alah paling juga dia menikmati digrepe-grepekan enak.. hahaha”. Cuitan dari seorang netizen di sebuah platfrom berita online yang membahas mengenai korban sexual harassment. Tuturan-tuturan seperti inilah yang diberikan oleh masyarakat kepada korban sexual harassment.