Pola pikir yang menyalahkan korban ini berbahaya bagi korban, sayangnya pola pikir ini tumbuh dari budaya seksis dan berkembang di masyarakat Indonesia. Korban yang seharusnya dilindungi, diberikan pendampingan untuk memulihkan kondisi mental psikisnya sekejap berubah menjadi pelaku di mata masyarakat.
Bahkan dibeberapa kasus sexual harassment diselesaikan dengan cara kekeluargaan yaitu dengan menikahkan korban dengan pelaku, demi menutupi aib keluarga (jika korban hamil). Padahal hal ini, bisa saja menjadi sebuah senjata pembunuh bagi korban. Korban dipaksa untuk hidup dengan predator yang menghancurkan hidupnya. Tindakan inilah yang memicu trauma bagi korban dan menjadikan mereka memilih untuk bunuh diri daripada menyerahkan sisa hidupnya kepada pelaku.
Fairchild & Rudman (2008) menyatakan dampak dari sexual harassment bagi korban yaitu menimbulkan kecemasan, merasa tidak nyaman, ketakutan, terintimidasi, malu, trauma atau menyalahkan diri sendiri. Akibat lain dari sexual harassment bagi korban, korban akan mengalami kecemasan yang berlebihan dalam penampilan fisiknya serta perasaan ketakutan yang berlebihan akan terjadinya peristiwa perkosaan lagi yang mengakibatkan mereka membatasi aktivitas sosialnya. Dalam beberapa kasus ditemukan korban akan mengakhiri hidupnya atau bunuh diri karena berbagai tekanan dari masyarakat yang didapatnya.
Stigma masyarakat yang negatif terhadap korban sexual harassment menjadikan korban enggan untuk speak up karena mereka merasa terlalu dihakimi. Padahal ketika korban mengalami sexual harassment, bisa jadi korban mengalami sebuah kondisi yang bernama tonic immobility yaitu kondisi dimana korban tidak melawan dan berdiam saja karena sebuah reaksi defensif yang muncul secara biologis.
Korban yang mengalami tonic immobility merasa mati rasa, mengalami disosiasi serta rasa terperangkap, tidak bisa kabur, merasa kesia-siaan dan keputusasaan. Orang yang mengalami tonic immobility cenderung akan mengalami post traumatic stress disorter (PTSD) dan depresi setelah pelecehan seksual. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Francine Russo dalam Sexual Assault May Trigger Involuntary Paralysis :
“But new research adds to the evidence debunking this common belief. According to a recent study, a majority of female rape survivors who visited the Emergency Clinic for Rape Victims in Stockholm reported they did not fight back. Many also did not yell for help. During the assault they experienced a kind of temporary paralysis called tonic immobility. And those who experienced extreme tonic immobility were twice as likely to suffer post-traumatic stress disorder (PTSD) and three times more likely to suffer severe depression in the months after the attack than women who did not have this response”.
Hal inilah yang menjadi dasar mengapa kebanyakan korban sexual harassment tidak bisa melawan. Anna Mӧller dalam penelitiannya berjudul Tonic Immobility During Sexual Assult –- a Common Reaction Predicting Post-Traumatic Stress Disoster and Severe Depression menyebutkan, “Jika seseorang mengalami kekerasan seksual hal umum bagi para korban utntuk mengalami reaksi defensif bawaan yang membuat mereka lumpuh sementara”. Anna menjelaskan bahwa orang yang melakukan kekerasan seksual, tidak akan berhenti meskipun korban tiba-tiba menjadi diam dan tidak memberikan respon apapun. Studi inlah yang menjadi penguat bagi korban sexual harassment mengapa mereka tidak melakukan perlawanan kenapa pelaku sexual harassment.
Kristi Poerwandi dalam tulisannya yang bertajuk “Kita Harus Merasa Malu” (2020) menyatakan kepedulian terhadap penanggulangan dan pencegahan kekerasan seksual masih minim, bahkan terkadang dianggap sebuah lelucon dan meremehkan kejadian. Dalam tulisannya dia menyatakan “Apakah pantas ketika seseorang yang telah mengalami pengalaman traumatis yang akan membekas seumur hidupnya, didalam benaknya masih dipertanyakan ? Apakah ketika kejadian berlangsung korban merasa nyaman atau tidak ? jika merasa nyaman, berarti tidak termasuk dalam tindak pemerkosaan. Sesederhana itukah kasus kekerasan seksual dari kacamata negeri ini ?”
Tulisan dari Ibu Kristi inilah yang menjadi gambaran dari kondisi masyarakat di Indonesia ketika terjadi peristiwa sexual harassment di lingkungannya. Kita tahu bahwa sexual harassment merupakan hal yang tabu untuk dibahas di Indonesia hal ini karena berbau seksualitas. Padahal, pengenalan pendidikan seks kepada anak usia dini mampu menekankan terjadinya perbuatan yang menyimpang. Pengenalan pendidikan seks kepada anak usia dini berguna untuk membentuk karakter dan pola perilaku yang mampu menghindarkan mereka dari perilaku yang beresiko terhadap kejadian kekerasan seksual maupun perilaku seksual yang tidak seharusnya.
Akhirnya, demikianlah sedikit gagasan penulis terkait dengan sexual harassment di Indonesia. Penting diingat untuk para penyintas sexual harassment di Indonesia sebuah kutipan buku dari penulis Rose McGowan dalam novelnya Brave untuk memberikan semangat bagi para penyintas sexual harassment di dunia ”The truth of it is, the shame was not mine, and for all victims in similar situations, it is not ours. The shame is reserved for every creep who has ever touched us inappropriately. The shame is on the abuser, not the victim, not the survivor. It is tragic that so many of us have to survive this kind of crap, and I’m so sorry if it has happened to you”. Salam! 10/11/20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H