Mohon tunggu...
Resta
Resta Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Perempuan yang suka membaca dan menulis. Mewujudkan mimpi lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

The Secret Diary

27 Juni 2024   06:02 Diperbarui: 27 Juni 2024   06:05 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bab 2.

Kokokan Ayam jantan membangunkanku dari nyamannya alam mimpi. 

"Astaghfirullah sudah jam 6," gumamku saat melihat benda berbentuk persegi panjang nan pipih. Aku langsung bangun, bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai membersihkan diri aku pun berwudhu. 

"Allah... hu Akbar." Aku memulai dua roka'at subuhku yang sudah sangat-sangat terlambat ini. 

Selesai solat, aku bergegas ke dapur. Berharap sudah ada bahan makanan yang bisa kuolah. 

"Mas," sapaku pada Agha yang kebetulan berada di dapur. 

"Masak untuk dirimu saja," ucapnya tanpa melihatku. Setelah itu ia berlalu pergi melewatiku tanpa menoleh sedikitpun. Jangankan menoleh, melirik pun tidak. 

"Huftt, nggak papa Na, kamu kuat, kamu bisa." Hatiku sedikit perih dengan perlakukan Agha yang tidak menganggapku ada. 

Perutku berbunyi, cacing-cacing di dalam perutku kembali berdemo, meminta jatah mereka. 

Aku menatap meja makan. Ada tiga kresek besar, yang sepertinya berisi bahan makanan pokok, tergeletak begitu saja diatas disana. 

Gegas aku mendekatinya. Membuka satu persatu kresek itu. Benar, isi kresek tersebut adalah sayuran dan bahan pokok lainnya. 

"Kayanya enak nih nyayur buncis sama tempe." Kuambil bahan makanan yang akan aku masak. Kemudian aku mengeksekusinya. 

****

"Alhamdulillah." Aku bersyukur, masakanku matang tepat waktu. Aku pun bergegas memanggil Agha. Menyuruhnya untuk sarapan bersama. 

"Mas ...." Kalimatku menggantung di udara. Aku mengurungkan niat untuk memanggil Agha, sebab dia keluar dari kamar sudah dengan penampilan rapihnya. Bahkan Agha sudah membawa tas kerjanya. 

Dia berlalu begitu saja. Agha benar-benar menganggapku tak ada. Baiklah kalo begitu, aku juga akan menganggapnya hanya sebagai orang asing. Tak mendapat jawaban dari Agha, lantas aku kembali ke ruang makan. Duduk disalah satu kursi dan mengambil sepiring nasi beserta lauk pauknya. 

"Bismillah." Aku memulai sarapan pagiku. 

***

"Halo assalamu'alaikum" 

"Ia dengan saya sendiri, ada yang bisa dibantu?"

"Oh, tanggal 30 ya? Sebentar saya liat jadwal dulu!" Kubuka aplikasi kalender di dalam ponselku. Mengecek jadwal untuk tanggal 30 nanti. 

"Ok, saya bisa!"

"Iya, In Sya Allah. Terima kasih Mba, wa'alaikumus salam." Kututup sambung telfon itu. Kembali berbaring diatas kasur lantai. 

Aku berprofesi sebagai MUA panggilan, meneruskan perjuangan Mamak yang sudah pensiun. Di kampung, Mamak memiliki salon yang alhamdulillah sudah ada 3 anak cabangnya di kota. 

Aku tiga bersaudara, kedua kakaku semuanya laki-laki. Keduanya sudah memiliki anak dari pasangan halalnya masing-masing. Mereka meneruskan usaha Bapak. Kaka pertama meneruskan bengkel disel dan las. Kaka kedua meneruskan usaha penggilingan padi. 

Karena aku anak perempuan sendiri, Mamak menyiapkanku untuk menjadi pewaris salonnya dan meneruskan perjuangannya sebagai MUA. Sedari kecil, Mamak sudah mengajariku memake-up orang. Sehingga, sekarang aku sudah mahir. Walaupun aku sendiri tidak suka sekedar memakai bedak ataupun lipstik. 

"Hufftt." Kuhela nafas panjang. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan di tempat asing ini?. Haruskah aku bermalas-malasan sepanjang hari?. Semua pekerjaan rumah telah aku selesaikan, dari nyapu hingga ngepel. 

Ah, aku ingat tentang buku merah maroon itu. Aku pun mengambilnya. Kemudian melanjutkan membaca. 

, * .

, , . . 

"Apa ini buku diary Mas Agha? Pantas saja kemaren hanya ada Tante Qila," gumanku. Saat pernikahanku dengannya kemaren, aku tidak melihat keberadaan ayahnya Mas Agha, mungkin ini salah satu sebabnya. 

Kubuka halaman berikutnya. Di halam itu ada sebuah foto seorang gadis kecil sedang tertawa bahagia menghadap kamera. Gadis kecil itu mengenakan sebuah seragam taman kanak-kanak. 

. , , . . - . - . 

Apakah nama gadis kecil ini yang masih tersimpan baik didalam hati suamiku?. 

?

****

, . 

, . 

Sebait do'a yang aku panjatkan seusai solat. Ini pertama kalinya aku menyebut nama seorang lelaki dalam do'aku. Sebab, selama ini aku hanya mengagumi seseorang tanpa mau memintanya pada Tuhanku.

Hari semakin beranjak malam. Namun, Mas Agha belum juga pulang. Jujur, aku mengkhawatirkannya. 

"Astaghfirullah hal azim." Aku beristighfar tat kala pikiran buruk mulai merasukiku. 

"Sebaiknya aku membaca Al-Qur'an saja." Aku mengambil kitab suciku yang terletak di bagian paling atas tumpukan kardus. 

"Bismillah hirrohman hirrohim." Selesai ta'awudz, aku membaca basmalah, lalu mulai membaca Al-Qur'an. 

***

Mataku mulai berair, tak kuat menahan kantuk. 

"Pantas saja, sudah jam 12 ternaya," ujarku saat melihat benda berbentuk bundar yang berada di dinding. Kututup kitab suciku dan menyimpannya kembali. 

"Kenapa jam segini Mas Agha belum pulang? Kemana dia? Apa iya, lembur bisa sampai jam segini?" Pikiranku mulai menebak-nebak kemana perginya suamiku yang tak kunjung pulang itu. 

Samar-samar aku mendengar suara mobil yang semakin mendekat. 

"Pasti itu Mas Agha!" Aku bergegas bangkit, melipat mukena, menyambar jilbab yang tergantung di balik pintu, kemudian berlari kecil menuju pintu depan. 

Ceklek. 

Brug. 

Begitu pintu terbuka, tubuh Mas Agha langsung ambruk ketubuhku. Untung saja aku kuat menahan tubuhnya, sehingga kami tidak jatuh ke lantai. 

"Hahaha, aku akan menyiksanya, membuatnya tidak betah, lalu memintai cerai," rcau Mas Agha. Bau khas alkohol langsung menusuk masuk kedalam hidungku, begitu Mas Agha membuka mulut. 

"Astaghfirullah, ya Allah, kamu ma*uk Mas?" Aku tak menyangka Mas Agha seorang pema*uk. Karena setauku Tante Qila yang merupakan teman baik Mamak, adalah seorang wanita baik-baik. 

Kupapah tubuh besar nan kekar itu kedalam kamarnya. Selama perjalanan dari ruang tamu menuju kamar, Mas Agha terus meracau tidak jelas. 

Setelah memastikan posisi Mas Agha nyaman, aku melepas dasi, kemeja, sepatu serta kaos kakinya.

"Semoga Allah segera membermu hidayah, Mas," ucapku sebelum pergi meninggalkan kamarnya. 

**

Kupegang jantungku yang berdebar sangat kuat. Mengucap istighfar sebanyak mungkin hingga hati tenang. Tak terasa air mataku luruh begitu saja. 

Aku teringat dengan kisah Siti Asiyah dan Fir'aun. Dimana Siti Asiyah yang seorang wanita mulia berjodoh dengan Fir'aun yang tak punya hati itu. 

"Astaghfirullah hal 'azim. Pantaskah aku menyami diri ini dengan Siti Asiyah, perempuan mulia itu?" Aku hanya seorang perempuan biasa yang sedang berusa memperbaiki diri. Tak pantas sekali aku menyamai diri ini dengan Siti Asiyah. 

" , , . ," batinku meminta pertolongan-Nya. 

***

"Sarapan Mas," tawarku pada Agha yang baru saja tiba di dapur. 

Agha memegangi kepalanya, sepertinya ia pusing. Atau efek al**hol? Ntah aku tidak tau. 

Aku yang tak mau kejadian kemarin terulang lagi, hari ini sengaja bangun lebih pagi. Demi memasak sarapan untuknya. 

"Hem," guman Agha sembari menarik salah satu kursi, lalu ia pun duduk. Setelah beberapa saat duduk di kursi, ia mengambil piring, kemudian mengisinya dengan nasi dan lauk pauknya. 

"Hari ini aku ijin ke Desa Kapuk, ya?" Aku meminta ijin padanya, karena hari ini ada jadwal meris pengantin. 

"Terserah." Dia menjawab tanpa melihat kerarahku. Membuatnya terkesan dingin dan angkuh. 

Sudahlah, setidaknya aku sudah ijin padanya.

****

Bagi yang mau baca kisahnya langsung sampai tamat, boleh mampir ke aplikasi KBM, ya. Cari dengan judul yang sama, atau bisa juga cari dengan nama penaku, Res.. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun