Mohon tunggu...
Resi Aji Mada
Resi Aji Mada Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan pribadi

Pernah menjalani pendidikan bidang studi Administrasi Negara di perguruan tinggi negeri di kota Surakarta. Pemerhati isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Seks dan Pernikahan: Sekali Seumur Hidup, Satu untuk Selamanya

8 Februari 2021   16:00 Diperbarui: 8 Februari 2021   16:39 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Emma Bauso dari Pexels

Anak muda paling suka dan tertarik kalau sudah bicara soal cinta. Apalagi kalau sudah ketemu dengan sahabat atau teman-teman dekat, bisa lupa waktu kalau topik pembahasan sudah masuk ke topik percintaan. Bisa-bisa semua anak muda sekota tak ada yang luput absen dibahas.

Ketika berbicara soal cinta saja sudah begitu excited, apalagi dalam melakukannya. Bagi cowok kalau sudah ketemu cewek yang ditaksir atau sebaliknya, hemmm dah lah yang lainnya seakan menjadi ngeblur. Titik fokus lensa mata hanya pada doi seorang. Saya yakin setiap orang pernah, sedang, dan akan mengalaminya.

Saking semangatnya, terkadang seseorang sampai terlalu over dalam membangun dunia fantasi terhadap pasangannya, padahal status saja masih pacaran, atau malah masih pendekatan. Tetapi bayangan sudah sampai ke mana-mana.

Bahkan tak jarang  istilah "tubuhku sudah jadi milikmu" diterapkan meski belum menikah. Ya memang sampai saat ini pun selalu ada perdebatan mengenai hal ini, mengenai seks sebelum pernikahan.

Ada yg mengatakan tak boleh, dilarang, dosa, zina. Tetapi ada pula yang berpendapat hak pribadi, selama mau sama mau oke dsb. Ya monggo lah, hak setiap orang untuk memiliki dan meyakini pandangannya.

Kalau sudah memberikan segalanya sebelum menikah, kemudian karena satu atau banyak hal hubungan berakhir, tak jarang seseorang langsung down. Bahkan tak sedikit pula sampai harus mengakhiri nyawa sendiri, atau malah mengakhiri nyawa mantan pasangan, ngeri ya?

Pacaran seharusnya menjadi jalan, proses dalam seseorang menilai apakah pasangannya saat ini layak untuk menjadi pendamping disisa hidupnya kelak (ini juga yang kadang jadi alasan untuk melakukan sex before married hehehe).

Tentu maksud penulis tentang menilai bukan termasuk mencoba gimana "rasanya" si doi, itu mah mesum. Lha gimana seseorang bisa menjaga pasangan di semua aspek jika dalam berpacaran saja anda tak bisa menjaga "kesucian" pasangannya.

Nyatanya ada lho yang saking mesumnya pikiran sampai memandang relasi dan pernikahan hanya sebatas seks dan bersenang-senang. Padahal begitu rumitnya dunia pernikahan sangat tak sebanding dengan seks itu sendiri.

Dari 24 jam setiap hari yang harus dilalui dengan pasangan dalam pernikahan, suka duka, masalah-masalah, perbedaan perbedaan, tanggung jawab dan sebagainya, mungkin tak sampai 1/24 bagiannya yang dihabiskan untuk hubungan seksual itu.

Ketika pikiran dan bayangan dalam persiapan pernikahan hanya sebatas seksualitas, dia sedang melewatkan 23/24 bagian kehidupan pernikahan yang harus dihadapi nantinya. Horor kalau sudah begini.

Persiapan yang tak tepat dalam menghadapi dan melihat sebuah kehidupan pernikahan membuat kehidupan pernikahan yang akan dijalani menjadi rawan menghadapi perceraian di tengah perjalanan.

Bahkan yang sudah dipikir dan dipertimbangkan secara matang saja seringkali tak luput dari masalah yang menyebabkan perpisahan, perceraian, apalagi yang hanya berangkat dengan pemikiran pernikahan adalah seks.

Dalam beberapa kepercayaan dan agama mungkin ada jalan untuk melakukan perceraian serta poligami maupun poliandri (pastinya dengan syarat dan kondisi tertentu), tetapi selayaknya dan seharusnya seseorang memasuki persiapan pernikahan dengan berasumsi dan berprinsip bahwa pernikahan adalah sekali seumur hidup, satu untuk selamanya.

Dengan memegang prinsip pernikahan sekali seumur hidup, secara otomatis akan menuntut seseorang untuk benar-benar selektif dalam memilih pasangan dan benar-benar mempersiapkan pernikahan dengan sangat baik.

Persiapan yang saya maksud bukan soal materi dan prosesi (meski tak bisa dipungkiri ini juga penting) tetapi bagaimana menjalani kehidupan pernikahan kita nantinya.

Logikanya, jika dari awal seseorang sudah berpandangan ada jalan perceraian. Bisa saja dia akan mempersiapkan pernikahan seadanya, toh kalau salah bisa keluar dan restart lagi. Emangnya lagi main game?

Begitu juga prinsip satu untuk selamanya juga prinsip yang paling tepat dalam kehidupan pernikahan (setidaknya menurut saya). Apa sih kurangnya satu pasangan kalau sampai harus mengambil lebih dari satu? Satu saja ga habis-habis.

Sebagai contoh saja, jika seorang suami merasa tak cukup seorang istri untuk mengurusi kerjaan rumah tangga karena istri bekerja misalnya, ya kan ada yang namanya assisten rumah tangga ya, gunanya kan untuk itu ya.

Ada contoh lain seseorang yang telah beristri ingin mengambil istri lagi karena beralasan ingin menafkahi setelah melihat kehidupan seorang lawan jenis yang memprihatinkan.

Sebenarnya kalau memang ikhlas ingin menafkahi, tak perlu diperistri pun tak masalah tho? Berikan saja biaya hidup setiap bulan, atau carikan rumah andaikata tak punya. Kenapa harus dinikahi?

Lha nanti kalau yg dinafkahi jadi istri orang lain, tak etis lagi untuk tetap menafkahi? Yasudah serahkan ke suaminya, kan tanggung jawab suami. Toh tetep bisa bantu dengan membantu perekonomian suaminya dengan memberikan pekerjaan misalnya.

Poligami kan bisa diterima demi menghindari zina. Ya bukankah lebih baik jika jangan sampai ada pikiran zina? Jadi ga perlu ada pikiran buat poligami tho?

Apakah dengan menerima itu akan menghilangkan pikiran zina lainnya lagi? Atau tinggal poligami lagi? Begitu terus? Maaf jika konsep-konsep ini sedikit sensitif atau berbeda atau malah bertentangan dengan keyakinan yang lain. Saya tak bermaksud mempertentangkan.

Saya kok meyakini pada dasarnya seseorang ingin memiliki lebih dari satu pasangan sah bukan semata-mata masalah hati, atau masalah perut, tetapi di bawah perut (anda tahu sendiri) yang tak merasa puas dengan pasangannya saat ini.

Mungkin juga bukan karena salah pasangannya, bisa jadi dia sendiri yang berekspektasi terlalu tinggi, mungkin terlalu banyak menonton film yang jelas-jelas settingan. Di video 1 jam 2 jam never ending,  ekspektasi dengan pasangannya juga jadi segitu lama. Padahal dianya sendiri mungkin 5 menit sudah angkat bendera putih.

Bukan masalah 5 menitnya sebenarnya atau pasangannya yg salah. Ekspektasi dia sendiri yang rusak. Atau mungkin kebanyakan melihat adegan "satu vs banyak", repot dah itu pikiran.

Padahal ketika menerima dan menikmati hubungan dengan cara yang benar, seberapa lama "waktu tempur" tak terlalu jadi masalah. Keintiman dengan satu pasangan sah tetap akan dinikmati, sekaligus mendapat nilai ibadah pula. Kurang apa lagi coba.

Menurut beberapa sumber yang pernah saya baca, pada dasarnya kehidupan seksual bersama pasangan sah (suami atau istri) menjadi titik poin penting bagaimana pernikahan akan bertahan.

Masalah perceraian sebenarnya tak jauh dari urusan seks. Masalah ekonomi, perbedaan pendapat, sampai perselingkuhan dan yang lainnya hanya faktor pengikut masalah perceraian.

Urusan seks sekali lagi bukan semata-mata tentang bagaimana "kemampuan tempur" dibanding orang lain yang didapat lewat video-video dan film-film. Itu di-setting, entah berapa kali take untuk mendapat satu alur film utuh.

Urusan seks lebih ke bagaimana kita menikmati diri kita, menikmati tubuh kita, menikmati tubuh pasangan (suami atau istri) apa adanya dan bersyukur tentang itu.

Ketika bisa sampai pada poin mensyukuri dan menikmati kehidupan seksual dengan pasangan, keharmonisan dan keintiman akan terus terjaga dan tumbuh. Setiap masalah bisa dikomunikasikan dengan baik, dan tentu saja perselingkuhan tak akan terjadi. Karena kita telah mensyukuri dan puas dengan pasangan sendiri.

Pada akhirnya, walaupun seks bukanlah pemikiran dan pandangan yang tepat dalam kita mempersiapkan dan melihat sebuah kehidupan pernikahan, nyatanya seks menjadi faktor penentu dalam menjalani kehidupan pernikahan. Bukan dalam hal yang bertolak belakang, tapi berbanding lurus.

Ketika ekspektasi soal seks sudah keliru dari awal mempersiapkan pernikahan, terlalu over, khayalan terlalu tinggi, dan kemudian menjalani kehidupan pernikahan ternyata berbeda. Dari situ lah bibit poligami (tak puas dengan satu pasangan), bibit perselingkuhan, bibit perselisihan karena tak ada keintiman akan muncul.

Tulisan saya ini tak bermaksud menggurui, karena penulis sendiri belum beristri. Penulis hanya menyampaikan kembali pengalaman yang pernah orang lain sampaikan, edukasi yang penulis dapatkan serta pelajari sendiri.

Seks bukanlah sesuatu yang seharusnya tabu untuk dibahas, karena ketidaktahuan malah akan menghasilkan kekeliruan. Begitu juga rasa penasaran yang tak diedukasi dengan tepat akan dipuaskan melalui sumber (yang bisa saja) keliru yang akan menghasilkan pemahaman, ekspektasi, dan imajinasi yang keliru juga.

Bagi orang tua yang memiliki anak telah menginjak remaja atau dewasa, dan merasa belum pernah memberikan edukasi seks yang baik, mungkin ini saat yang tepat sebelum terlambat.

Edukasi seks bisa menjadi satu bekal sangat baik bagi seseorang dalam persiapan menikah. Ingat, pernikahan bukan hanya soal anggaran, gedung dan undangan. Tetapi pernikahan adalah tentang kehidupan bersama.

Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun