Pernahkah anda memiliki pengalaman terkejut karena harga makanan yang setinggi langit dari bumi? Mohon maaf kalau majas yang saya pakai berlebihan, tetapi kenyataannya banyak orang pernah mengalami kejadian ini.Â
Ketika menikmati makanan yang seharusnya membawa pada kepuasan dan kelegaan, malah harus dikagetkan dan mungkin juga dikecewakan dengan harga makanan yang menurutnya tidak wajar. Bahkan beberapa diantara mereka pada akhirnya memviralkan pengalaman mereka di media sosial.
Berbicara mengenai harga makanan yang mahal akan memunculkan salah satu pertanyaaan, sebenarnya gimana sih menentukan standar makanan dikatakan wajar atau dikatakan mahal? Apakah makanan yang saya beli ini tergolong wajar atau mahal?Â
Kalau menjawab pertanyaan di atas, saya akan menjawabnya dengan satu kata saja: "Relatif". Ya, standar mahal atau murahnya suatu produk terutama tentang makanan yang sedang dibahas ini dikembalikan kepada individu masing-masing. Mari kita lihat fakta dan argumentasi atas jawaban singkat saya disini.Â
Relativitas atas harga makanan yang pertama ditentukan oleh wilayah. Faktanya (terutama di Indonesia) standar harga makanan di suatu wilayah akan berbeda dengan wilayah lain. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan ini seperti inflasi, standar biaya hidup, jarak dari sumber bahan baku, dan yang lainnya, tetapi saya tidak akan bahas disini.Â
Sebagai contoh, saya yang berdomisili di Solo harga makanannya berbeda dengan di ibu kota Jakarta. Ketika saya berkunjung ke Jakarta, mungkin saya akan merasa harga makanan terasa mahal, begitu pula sebaliknya. Warga jakarta yang sedang berkunjung ke Solo akan merasakan harga murah ketika berwisata kuliner di sini.Â
Pada kondisi pertama ini, tinggi rendahnya harga makanan bagi warga lokal seharusnya sudah teratasi dengan penyesuaian upah minimum wilayah yang juga berbeda antar satu wilayah. Kecuali dalam kondisi berkunjung di wilayah lain, maka mau tidak mau harus menyesuaikan budget anda dan tetap mencari tempat makan dengan harga lebih miring bila memang ingin berhemat.Â
Relativitas harga makanan kedua ditentukan oleh pelayanan yang diberikan. Saya langsung mengambil contoh: Di Solo ini, saya bisa mendapatkan ayam goreng tepung (Fried Chicken) plus nasinya dan minuman dengan anggaran cukup 10rb sampai 15rb di gerai atau warung biasa, tetapi ketika masuk ke gerai franchise terkenal semisal Mc Donald, KFC, Burger King dll, diperlukan anggaran 25rb keatas untuk mendapat makanan yang sama.
Kalau ada argumentasi kualitas makanan yang berbeda, saya sedikit tidak setuju. Karena apa terjadi di dapur dan di tempat penyimpanan bahan makanan kita tidak tahu, bagaimana handling terhadap makanan yang siap saji pun kita tidak selalu tahu. Makanan di tempat sederhana tidak selalu kotor dan tempat mahal tidak selalu higienis.Â
Yang bisa dipastikan adalah pelayanan yang lain, terutama yang langsung bisa dilihat oleh pelanggan. Katakanlah saat kita ke Mc Donald atau KFC kita akan relatif berada diruang sejuk serta terkesan lebih bersih dan rapi dibanding makan di warteg. Cara dan kesantunan berbicara para pelayannya pun mungkin berada pada level yang berbeda.Â
Terlepas dari perbedaan pelayanan, mungkin pula gerai fast food terkenal ini bagi penduduk ibukota Jakarta terkesan lebih murah dibanding penduduk kota Solo, balik lagi kondisi pertama jadi penyebabnya.Â
Pada kondisi kedua ini, pilihan ada ditangan kita sendiri sebagai pelanggan. Mau pilih yang mahal atau murah, warteg atau resto, menu makanan yang disajikan bisa saja sama tetapi mungkin ada tambahan layanan yang didapat ketika harga makanan kita bayar lebih mahal.Â
Ketiga, harga makanan yang dimonopoli. Iya benar monopoli, penguasaan suatu produk oleh satu pihak sehingga leluasa menentukan harga. Tetapi monopoli yang saya bahas ini karena suatu kondisi tertentu, jadi tidak serta merta bisa dianggap pelanggaran. Anda bisa secara mudah menemukan kondisi ini ketika anda sedang menaiki kereta atau pesawat.
Saya ambil contoh satu saja ketika kita sedang naik kereta. Makanan yang dijual didalam kereta dikelola oleh PT KAI selaku pengelola kereta melalui anak usahanya PT RMU (Reska Multi Usaha), tidak ada penjual makanan  lain yang bisa ditemui (setidaknya yang legal). Dalam hal ini, PT KAI dalam kondisi sedang memonopoli penjualan makanan di dalam kereta.Â
Tetapi sebenarnya pun harga makanan yang ditentukan berdasar berbagai faktor dan beban, tidak serta merta seenaknya menentukan harga. Pengelolaan makanan dalam kereta yang berjalan tentu membutuhkan penanganan khusus yang juga memerlukan ekstra cost dalam penanganannya dan dibebankan dalam harga makanan yang ditentukan.Â
Pada kondisi ketiga ini, pelanggan pun tetap punya hak dan pilihan. Yaitu pilihan untuk membeli atau tidak makanan didalam kereta. Tidak pernah ada pemaksaan untuk membeli kan ya? Anda bisa membawa makanan sendiri untuk menyiasatinya, tentunya yang ringkas. Jangan sampai ketika didalam kereta tiba-tiba mengeluarkan thermos isi nasi, panci isi sayur, dan piring serta sendok garpu kemudian makan bareng. Ya bisa ditegur, keterlaluan hematnya.Â
Kondisi terakhir yang akan saya bahas, ketika penjual makanan memang nakal. Penjual terkadang memberikan beban tak terduga pada makanan yang dibeli oleh pelanggan atau malah dengan sengaja sama sekali tidak menunjukkan dan menampilkan harga makanan di gerainya, padahal penjual mematok harga makanan yang cukup bahkan sangat tinggi.Â
Kondisi ketiga ini mungkin bukan masalah hukum (saya tidak memahami apakah bisa dituntut secara hukum atau tidak) tetapi dan yang pasti ini masalah etika.Â
Penjual dalam kondisi ini memang mengincar pembeli yang lengah dengan langsung membeli walaupun belum mengetahui harganya. Apakah bisa disebut penipuan? Tidak tahu juga karena mungkin kalau pembelinya menanyakan harga lebih dahulu akan dijawab secara jujur oleh penjual.Â
Kalau mau jawab iya penipuan, dipasar tradisional hampir semua penjual tidak mencantumkan harga, apa iya mau kita bilang semua pedagang pasar melakukan penipuan?Â
Kita sebagai pembeli lah yang harus cermat ketika melihat kondisi mencurigakan dari penjual makanan. Ketika tidak ada daftar harga, setidaknya tanyakan dulu harga makanan yang akan kita beli.Â
Bukankah demikian juga ketika kita sedang berbelanja di pasar tradisional? Secara alami kita akan menanyakan harga. Bedanya ketika lupa bertanya saat belanja di pasar ternyata uang kita kurang kita bisa mengembalikan belanjaan, sedangkan makanan yang sudah masuk mulut mau gimana lagi? Mau tidak mau kan harus dibayar.Â
Meski kita sedang lapar, pikiran jernih tetap dibutuhkan dalam kita akan memilih untuk membeli makanan. Mahal murahnya ongkos jajan diperjalanan, maupun keseharian kita sepenuhnya ada di tangan kita sendiri. Kita sendiri pula yang punya hak untuk memilih membeli di gerai A atau B, untuk jajan atau bawa bekal, untuk memuaskan lidah atau menahan lapar.Â
Bukankah seberapa besar kerelaan untuk mengeluarkan anggaran dari kantongmu ada di tanganmu sendiri. Jangan sampai kita kecewa dengan pilihan kita sendiri, dengan kecerobohan sendiri, kemudian meluapkan kekecewaan itu pada orang lain atau bahkan melakukan pelanggaran hukum seperti ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.
Lapar adalah nafsu dan penguasaan nafsu adalah tantangan terberat yang dihadapi setiap manusia di muka bumi. Makanan tidak seberat batu, tetapi makanan tetap bisa menyandungmu. Tetaplah bijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H