Pada kondisi kedua ini, pilihan ada ditangan kita sendiri sebagai pelanggan. Mau pilih yang mahal atau murah, warteg atau resto, menu makanan yang disajikan bisa saja sama tetapi mungkin ada tambahan layanan yang didapat ketika harga makanan kita bayar lebih mahal.Â
Ketiga, harga makanan yang dimonopoli. Iya benar monopoli, penguasaan suatu produk oleh satu pihak sehingga leluasa menentukan harga. Tetapi monopoli yang saya bahas ini karena suatu kondisi tertentu, jadi tidak serta merta bisa dianggap pelanggaran. Anda bisa secara mudah menemukan kondisi ini ketika anda sedang menaiki kereta atau pesawat.
Saya ambil contoh satu saja ketika kita sedang naik kereta. Makanan yang dijual didalam kereta dikelola oleh PT KAI selaku pengelola kereta melalui anak usahanya PT RMU (Reska Multi Usaha), tidak ada penjual makanan  lain yang bisa ditemui (setidaknya yang legal). Dalam hal ini, PT KAI dalam kondisi sedang memonopoli penjualan makanan di dalam kereta.Â
Tetapi sebenarnya pun harga makanan yang ditentukan berdasar berbagai faktor dan beban, tidak serta merta seenaknya menentukan harga. Pengelolaan makanan dalam kereta yang berjalan tentu membutuhkan penanganan khusus yang juga memerlukan ekstra cost dalam penanganannya dan dibebankan dalam harga makanan yang ditentukan.Â
Pada kondisi ketiga ini, pelanggan pun tetap punya hak dan pilihan. Yaitu pilihan untuk membeli atau tidak makanan didalam kereta. Tidak pernah ada pemaksaan untuk membeli kan ya? Anda bisa membawa makanan sendiri untuk menyiasatinya, tentunya yang ringkas. Jangan sampai ketika didalam kereta tiba-tiba mengeluarkan thermos isi nasi, panci isi sayur, dan piring serta sendok garpu kemudian makan bareng. Ya bisa ditegur, keterlaluan hematnya.Â
Kondisi terakhir yang akan saya bahas, ketika penjual makanan memang nakal. Penjual terkadang memberikan beban tak terduga pada makanan yang dibeli oleh pelanggan atau malah dengan sengaja sama sekali tidak menunjukkan dan menampilkan harga makanan di gerainya, padahal penjual mematok harga makanan yang cukup bahkan sangat tinggi.Â
Kondisi ketiga ini mungkin bukan masalah hukum (saya tidak memahami apakah bisa dituntut secara hukum atau tidak) tetapi dan yang pasti ini masalah etika.Â
Penjual dalam kondisi ini memang mengincar pembeli yang lengah dengan langsung membeli walaupun belum mengetahui harganya. Apakah bisa disebut penipuan? Tidak tahu juga karena mungkin kalau pembelinya menanyakan harga lebih dahulu akan dijawab secara jujur oleh penjual.Â
Kalau mau jawab iya penipuan, dipasar tradisional hampir semua penjual tidak mencantumkan harga, apa iya mau kita bilang semua pedagang pasar melakukan penipuan?Â
Kita sebagai pembeli lah yang harus cermat ketika melihat kondisi mencurigakan dari penjual makanan. Ketika tidak ada daftar harga, setidaknya tanyakan dulu harga makanan yang akan kita beli.Â
Bukankah demikian juga ketika kita sedang berbelanja di pasar tradisional? Secara alami kita akan menanyakan harga. Bedanya ketika lupa bertanya saat belanja di pasar ternyata uang kita kurang kita bisa mengembalikan belanjaan, sedangkan makanan yang sudah masuk mulut mau gimana lagi? Mau tidak mau kan harus dibayar.Â