11 Januari 2025 sudah lima hari rupanya dari hitungan tahun baru, namun hal yang menjadi pertanyaan ketika mengunjungi kota metropolitan Jakarta adalah tentang keadaan udara dan penduduknya dengan mobilitas yang tinggi selalu membawa masker, bukan semata-mata melindungi diri dari virus-virus berkeliaran dan efek kebiasaan selama pandemi saja, namun urgensi kualitas udara sehat dan jernih dirindukan warganya.Â
Tak heran info kebersihan udara selalu menjadi tagar-tagar yang hits di berbagai media sosial bahwa udara di Jakarta sedang tidak baik-baik saja, dan melalui berbagai laporan seperti yang diberitakan Antara News di tahun 2024 lalu bahwa kualitas udara Jakarta memang terburuk di dunia setiap akhir pekannya. Hal ini menjadi berita yang mengkhawatirkan, karena bagaimana bisa kotanya mendukung dengan teknologi tinggi, akses yang cukup mudah, warganya cukup maju dalam berbagai hal dan akses, namun kondisi ekologisnya membuat ironis dan hal ini secara tidak sadar mengurangi motivasi berinteraksi secara luas.Â
Apa yang membuat udara di kota-kota Indonesia ini memburuk ?Â
Penyebab yang dilematis adalah karena aktivitas industri, di Indonesia Industri yang banyak mengeksploitasi kekayaan Sumber Daya Alam memanglah memberikan dampak polutif misalnya di bidang minyak dan gas, namun disisi lain produknya dibutuhkan untuk mobilitas, dan hasil dari mobilitasnya menghasilkan emisi, apa itu emisi ? Emisi sederhananya didefinisikan sebagai pelepasan gas berbahaya ke atmosfer yang dihasilkan oleh setiap aktivitas manusia, contoh sederhananya adalah pembakaran bahan bakar fosil, aktivitas industri, dan penggunaan transportasi dengan volume tinggi dan frekuensi yang sering.Â
Setidaknya zat berbahaya yang dilepaskan mencakup :Â
- Karbon Dioksida (pelepasan dari perusahaan batu bara, industri gas alam, bahkan minyak yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik, rantai pasok industri ekstraktif, dan transportasi tanpa batasan yang bijak).Â
- Metana (zat yang dominasi dikeluarkan dari aktivitas pertanian atau peternakan (paling banyak itu memang dari peternakan unggas dan ruminansia, misalnya sapi, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) pada sampah, dan transportasi yang masih belum ramah lingkungan bahan bakarnya, bukan ? kendaraan listrik belum bisa dikatakan ramah lingkungan karena ada ketergantungan baterai yang justru menimbulkan polemik dari keawetannya).Â
- Sulfur Dioksida (ini dihasilkan dari pembakaran batu bara dan minyak yang jika dilepaskan kandungan sulfur dioksida jauh lebih banyak.Â
Dirangkum dari GAW (Global Athmosphere Watch) - Stasiun Pemantau Atmosfer Global : BMKG, Palu bahwa sulfur dioksida sangat berbahaya karena berbahaya bagi : kesehatan, lingkungan, tanaman, hewan, dan material. Sulfur dioksida menyebabkan juga pada iritasi pernapasan, hujan asam, kerusakan daun, kematian ikan, dan degradasi bangunan. Aerosol sulfatnya bersifat korosif dan karsinogen yang mampu membahayakan ekosistem, serta mempercepat kerusakan infrastruktur dan monumen bersejarah.Â
Era Hipokrisi Ekologi Melahirkan Pemimpin Hipokrit HijauÂ
"Kita semua harus bisa melindungi planet bumi, Gaya hidup juga harus berkelanjutan, harus bisa mengurangi emisi dan ramah lingkungan karena krisis iklim, kiamat ekologis, dan kerusakan terjadi dimana-mana !!! "Â - Ajakan seorang pemimpin yang turun dari Jet Pribadi/Kendaraan mewah yang dikawal, dan pemimpin yang mengucapkan kata-kata mutiara mengajak masyarakat global untuk menjaga bumi namun kontradiktif tidak sesuai dengan implementasi kehidupan hariannya.Â
Itu adalah contoh  bagian dari orasi dan narasi para pemimpin hipokrit hijau yang banyak dikritik oleh para aktivis lingkungan dunia bahwa dunia ini sudah masuk pada era hipokrisi ekologi, apa yang dimaksud dengan era ini ?Â
Beberapa redaksi jurnalisme yang meliput fenomena era ini adalah seringnya narasi ekologi yang lebih sederhananya menggunakan kata "lingkungan"menjadi penguat sarana politik dan menjadi suatu komodifikasi berbagai permasalahan sosial ekologis namun nyatanya tindakannya bertentangan dengan klaim keberpihakan narasi atau orasi politiknya.Â
Komodifikasi didefinisikan sebagai keadaan untuk menjelaskan sesuatu yang diubah dengan strategi menjual : budaya, alam semesta, hubungan sosial, barang dan jasa karya tradisional untuk meraup keuntungan ekonomi dengan cara memperdagangkan isu-isu tertentu sehingga merugikan masyarakat luas namun menguntungkan segelintir kelompok).Â
Dari hal inilah sebutan pemimpin hipokrit hijau muncul sebagai individu bahkan mayoritas sebagian kelompok elitis yang mengaku peduli pada permasalahan lingkungan (luasnya ekologi) namun kebijakannya justru merusak lingkungan bahkan cenderung jauh lebih eksraktif (mengambil sumber daya alam tanpa memperhatikan kelestariannya), destruktif (merusak atau menghancurkan sesuatu, baik secara fisik maupun simbolis), dan ekploitatif (memanfaatkan secara berlebihan tanpa memperhatikan keseimbangan dan dampaknya).Â
Dilatarbelakangi sejak lama, era hipokrisi ekologi ini selalu berhubungan dengan sejarah eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) dari waktu ke waktu bukan menurun namun semakin meningkat dan menjadi-jadi hingga kegiatan ini memicu berbagai perdebatan masyarakat dunia hingga akhirnya banyak konferensi dunia dengan tujuan memiliki komitmen internasional untuk mengatasi kerusakan alam yang sudah semakin rusak sejak abad ke-20.Â
Abad ke-20 adalah abad dimana kegiatan industrialisasi masif yang aktif melakukan pembakaran bahan bakar fosil (sisa-sisa organisme seperti tumbuhan dan hewan yang terkubur jutaan tahun lalu, yang mengalami proses pembusukan, pemanasan, dan tekanan dan menghasilkan :Â minyak, gas, dan batubara), tak hanya itu berbagai kepentingan harus mengorbankan hutan dan terjadilah deforestasi (penggundulan/penghancuran hutan untuk kepentingan lain, sedangkan fungsi hutan secara umum untuk menjaga : keseimbangan ekosistem, menyerap karbon, dan menyediakan kehidupan). Hal inilah memicu peningkatan emisi gas rumah kaca sehingga akibatnya terasa hingga sampai saat ini seperti : perubahan iklim, krisis iklim dengan tanda-tanda kenaikan suhu, pencairan es di kutub, cuaca ekstri, hingga akhirnya banyak bencana ekologis karena terlambatnya mitigasi dan memahami bumi yang sebenarnya untuk keberlanjutannya, bahkan abad-20 dikenal dengan terlambatnya kesadaran umat manusia pada reaksi alam karena ulah manusia.Â
Latar Belakang Era Hipokrisi Ekologi dan PengkhianatannyaÂ
Menelisik informasi historis konferensi global yang lebih khusus membahas upaya mengatasi kerusakan alam terlihat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB yaitu UNCHE (United Nations Conference on the Human Environment) pada tahun 1972 yang diadakan di Stockholm-Swedia hasilnya adalah Deklarasi Stockholm yang intinya mengimplementasikan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan dan membentuk UNEP (United Nation Environment Programme) sebagai badan khusus PBB untuk isu-isu lingkungan. Hasilnya adalah : Prinsip-prinsip yang harus mengakui hak dasar manusia untuk hidup di lingkungan yang sehat dan mengutamakan pengelolaan sumber daya alam yang rasional dan adil dan negara-negara industri diharapkan bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari aktivitas mereka, sementara negara-negara berkembang berhak mendapat dukungan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan lingkungan. Pengurangan polusi, perlindungan keanekaragaman hayati, serta pemulihan lingkungan yang rusak menjadi prioritas. Selain itu, pentingnya pendidikan lingkungan, kerjasama internasional, dan keterlibatan semua pihak dalam upaya menjaga bumi untuk generasi mendatang juga ditekankan. Dan inilah cikal bakal awal kesadaran global bahwa setiap negara dan bangsanya perlu bertanggung jawab untuk melindungi lingkungan.Â
Namun apa yang terjadi sebenarnya yang dilakukan oleh para pemimpin hipokrit hijau ? Beginilah studi kasusnya yang menjadi bahan renungan bersama :Â
Studi Kasus : Ronald Wilson Reagan (Kontradiksi Ideologi Pemerintahan Reagan & Tindakan Nyata Mengatasi Masalah Lingkungan).Â
National Security Archive - Perpustakaan Gelman The George Washington University menyampaikan bahwa Presiden Amerika ke-40 Ronald Wilson Reagan selalu dicitrakan Climae Hero (Penyelamat Iklim) karena aksi heroiknya seakan-akan kebijakannya mampu mengurangi peraturan untuk berbagai industri ekstrakif. Nyatanya itu hanya pencitraan semata agar masyarakatnya terpesona bahwa ada pemimpin yang sangat peduli pada keberlanjutan sinergi ekologi.Â
Nyatanya, pemerintahan Reagan pulalah yang mempromosikan pasar bebas dan akhirnya mendukung regulasi yang tadinya mendukung untuk perlindungan lingkungan jadi kebalikannya. Masyarakat dan pengamat kebijakan politik menyebutnya dengan hipokrisi hijau karena selalu menimbulkan retorika lingkungan yang tidak pernah mendukung kesadaran ekologis serta kebijakannya justru bertentangan dengan visi-misi hijau.Â
Retorika lingkungan merupakan pembicaraan tentang isu lingkungan untuk mempengaruhi kebijakan.
Kasus Reagan ini sangat populer dan masih eksis diperbincangan dalam ranah konferensi global sebagai pembelajaran, kasus pada saat itu yang mencuat di publik adalah kasus Protokol Montreal yang mengambil langkah besar untuk mengurangi polusi ozon meskipun dihadapkan perlawanan para penasihat konservatif yang lebih mementingkan kebijakan ekonomi dan industri justru hal ini menjadi berantakan, walau pada akhirnya Reagan mampu mewujudkan sebatas langkah-langkah strategis dan penting untuk melindungi ozon, hasilnya ? ya, tidak ada kesesuaian antara prinsip ideologi yang dipegang dan dicitrakan untuk menangani krisis iklim pada saat itu dan inilah salah satu pemimpin hipokrit hijau karena perusakan ozon memang timbul dari industri yang mengeluarkan bahan kimia tinggi, ini juga menimbulkan masalah keuangan negara dan para pejabat menjadi tersandera pada pemerintahannya karena disisi lain tercitrakan cinta planet bumi disisi lain merusaknya karena mendukung sebagian industri ekstraktif. Hal baiknya dari Protokol Montreal Reagan hanya sebatas : negosiasi perubahan iklim internasional saja yang bisa dieksplorasi lebih lanjut untuk khazanah pengetahuan diplomasi multilateral berbasis isu lingkungan.Â
Studi Kasus : Jair Bolsonaro Mencitrakan dirinya Pemimpin Protektif Lingkungan,Nyatanya Publik Menjulukinya Pemimpin Penghancur Ekosistem.Â
Presiden Brasik ke-38Â Jair Bolsonaro sangat kontroversial dengan penuh pencitraan yang berlebihan dan imajinatif, hal ini karena banyaknya janji-janji harmonis ekologis seperti perlindungan lingkungan yang skalanya makro dan meyakinkan sebagai pelindung elemen masyarakat hukum adat, nyatanya hanya omong kosong dan fiktif, justru kebijakannya menerapkan dan mendorong pengrusakan ekologi (sering melakukan deforestasi hutan Amazon).Â
Council on Foreign Relations (organisasi nasional independen non-partisipan yang sering memberikan analisis kebijakan mendalam dengan melibatkan diskusi publik di Amerika Serikat dan Dunia) memberikan kritik tajam dan mendalam terkait deforestasi hutan hujan Amazon yang mencapai rekor tertinggi untuk beberapa dekade terakhir, hal ini menyatakan kondisi Brasil kehilangan hutan Amazon cukup besar yang dikarenakan kebijakan Bolsonaro yang pro-agribisnis dan deregulasi lingkungan sehingga menyebabkan tindakan ilegal penebangan liar perambahan lahan sehingga hutan Amazon rusak.Â
Bolsonaro menanggapi hanya dengan janji bahwa di tahun 2030 hutan Amazon akan baik-baik saja dan tingkat deforestasi menurun, dan banyak pihak meragukan dan tidak mempercayai komitmen Bolsonaro karena pemerintahannya justru banyak terhasut dan selalu lemah menghadapi ancaman kerusakan lingkungan, padahal kampanye dan pencitraannya pelindung lingkungan. Brasil sudah banyak didesak warga dunia lewat perwakilannya untuk tegas pada kebijakan Bolsonaro yang selalu mengancam keanekaragaman hayati dan komunitas adat yang bergantung pada hutan Amazon bahkan jika hutan Amazon rusak maka berpengaruh signifikan pada perubahan iklim global bahkan krisis iklim karena statusnya adalah bagian "paru-paru dunia" yang cukup dominan menyerap karbon dioksida. Sejak deforestasi meningkat, laju penyerapan karbon disini menurun dan situasi ini memperburuk pemanasan global dan mengancam kemiskinan. Â
Biopolitik Nexus (Air, Energi dan Pangan)
Mengapa masalah air, energi dan pangan selalu menjadi rebutan sesuatu yang malah diperjualbelikan dan tidak dikelola merata ? Tentu saja hal ini yang menjadi masalah sampai saat ini.
Nexus (Air)Â
Maude Barlow (aktivis hak-hak kemanusiaan atas air bersih dari Council of Canadians suatu organisasi progresif yang mendukung ekadilan sosial atas perlindungan Sumber Daya Alam) dan Tony Clarke (aktivis dari Kanada yang memperjuangkan keadilan Sumber Daya Alam dan Keberlanjutannya dengan perlawanan pada privatisasi air, dimana air adalah hak publik untuk mendapatkannya dengan pengelolaan yang setara agar air tidak dikelola oleh perusahaan multinasional yang akan berdampak pada kesulitan ekonomi masyarakat).Â
Kedua aktivis ini menuliskan krisis air di buku yang berjudul : Blue Gold: The Fight to Stop the Corporate Theft of the World's Water yang akhirnya menyelidiki dan menginvestigasi bagaimana privatisasi air mengancam akses air bersih masyarakat, terlebih hal ini banyak dilakukan di negara-negara berkembang, kedua aktivis ini dengan tegas mengkritik model bisnis yang sangat kapitalis hanya untuk keuntungan pribadi dan sama sekali tidak memberikan manfaat untuk kebutuhan manusia untuk air bersih yang menjadi kebutuhan vital.Â
Menurut mereka, ini adalah kegiatan korporasi besar (perusahaan air multinasional) yang hanya memanfaatkan kekayaan Sumber Daya Air untuk segelintir kelompok yang memiliki kuasa dan hal ini memberikan dampak kemiskinan dan kerugian bagi warga lokal yang sudah sejak lama mengakses sumber air bersih di lokasinya. Hingga akhirnya, kedua aktivis ini selalu mengkampanyekan bahwa air adalah hak manusia dan manusia sebagai masyarakat yang berpikir harusnya kritis dan keberatan untuk privatisasi air karena penyebab ketidaksetaraan sosial dan ekonomi dimulai dari kebutuhan air bersih untuk semua keperluan kehidupan, haruskah semuanya berbayar ketika alam sudah menyediakannya untuk seluruh makhluk hidup ? Berapa harga air di lokasi anda hari ini ? Adakah yang masih menggunakan air dengan akses tidak berbayar ?Â
Nexus (Energi) Â
Buku Carbon Democracy: Political Power in the Age of Oil yang ditulis oleh Timothy Mitchell seorang ahli politik yang menjelaskan hubungan sistem politik modern dan ketergantungannya pada energi (bahan bakar fosil terlebih batu bara dan minyak) dikarenakan demokrasi (sistem pemerintahan yang memberi kekuasaan pada rakyat) pada abad ke-20, dimana batu bara digunakan untuk menciptakan jaringan energi yang mempermudah pekerja tambang dan buruh industri. Transisi energi ke minyak sebagai sumber utama adalah kekuatan politik buruh yang melemah, kontrol minyak oleh negara-negara Barat (negara dengan pemerintahan demokratis dan ekonomi pasar bebas yang memiliki nilai-nilai kebebasan individu, hak azasi manusia, dan sistem ekonomi kapitalis yang sering mempengaruhi NATO, Uni Eropa dan PBB. Negara-negara ini adalah : Amerika Serikat, Kanada. Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, Belanda, Australia, Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia, Belgia, Swiss).Â
Mitchell mengingatkan bahwa sistem politik modern dan ketergantungan energi sedang memang akan selalu dikontrol Barat dalam politik global sehingga dampak yang paling terasa untuk masyarakat dunia adalah : ketimpangan kekuasaan, konflik geopolitik dan perusahaan minyak di berbagai negara akan selalu membuat pasar selalu ketergantungan dengan keberadaannya, hal ini pelik dituntaskan dan ditransisikan karena selama aktivitasnya belum terhenti maka kontribusi krisis lingkungan dan krisis iklim akan tetap ada hingga dunia memperlihatkan krisis berbagai ekosistem dan moral. Sudahkah terjadi saat ini ? Jika ya, maka bagaimana pemimpin negara meredam kerusakan ini ?Â
Nexus (Pangan)Â
The Food Energy Water Nexus yang ditulis dan disunting oleh ahli lingkungan dan energi (Peter Saundry) dan ahli komputasi yang sering membahas teknik energi (Benjamin L Rudell) menjelaskan bahwa : pangan, air dan energi jika dipandang secara konteks globalisasi perubahan iklim akan selalu berhubungan dengan pertumbuhan populasi dari setiap negara dan populasi itu didominasi oleh umat manusia yang tentu membutuhkan : pangan, air, dan energi untuk keberlanjutan kehidupannya namun lama kelamaan ini menjadi tantangan serius yang ternyata manusia nyatanya banyak yang serakah dan berlebihan dalam membutuhkannya, karena diperdagangkan dan ada nilai ekonomi didalamnya yang bisa menentukan seseorang/sekelompok pihak menjadi sangat kaya dan ketika sudah kaya maka akhirnya memiliki kekuasaan karena semuanya bisa dibeli, ini juga menjadi tantangan berbagai negara yang memiliki dampak manajerial Sumber Daya Alam yang salah urus berujung konflik, akhirnya semua pihak kewalahan memitigasi krisis lintas sektor.Â
Biopolitik menekankan pada keberadaan pada suatu kekuasaan yang memiliki kontrol populasi, regulasi, kehidupan yang tidak terdampak, politik yang dipermainkan, regulasi yang dikeluarkan akan selalu berdampak pada kesehatan masyarakat yang merugikan, dan pelibatan ekonomi yang tidak mungkin berpihak pada kelompok lemah, kelompok tak punya kekuasaan akan dijadikan objek penderita untuk memuaskan kekuasaan.Â
Pada studi kasusnya Saudry dan Rudell merangkum bagaimana kekuasaan politik dan ekonomi mengontrol akses dan distribusi sumber daya dan hasilnya keduanya menemukan ketidakadilan struktural dalam pengelolaan Sumber Daya ini, paling parah adalah di negara-negara berkembang yang pengelolaan pangan, energi dan air nyatanya dipolitisasi dan aksesnya tidak merata bahkan timpang.Â
Negara berkembang banyak yang tidak mampu berkolaborasi secara sektoral dan lintas disiplin ilmu bahkan negara berkembang sering pesimis pada sains atau ilmu pengetahuan dan lebih percaya mitos daripada kemajuan teknologi dan keberadaan ilmuwan lebih menyesatkan lagi negara berkembang sering dijalankan roda pemerintahannya oleh para politisi yang tidak berkemampuan menangani elemen nexus (pangan, energi, dan air).Â
Negara berkembang berkontribusi pada ketimpangan global untuk distribusi sumber daya yang tidak adil, Pemerintahan negara berkembang sering menciptakan dampak sistemik dari berbagai sektor terlebih : pangan, energi, dan air sehingga hal ini berpengaruh pada berbagai regulasi, keputusan, bahkan kebijakan yang nyatanya tidak memuaskan masyarakatnya dan sering menimbulkan perlawanan kolektif akibat ketidakmampuan pemerintahnya dalam mengelola permasalahan yang sudah terjadi bahkan sebatas paham terminologi fenomena tentang elemen nexus saja masih tahap mengetahui dan mempelajari dalam konteks luas.Â
Negara berkembang diproyeksikan akan kesulitan menghadapi krisis pangan, energi dan ari karena tingkat tanggung jawab kolektif dari berbagai pihak abai, apakah hal ini benar terjadi di negaramu hari ini ? Sudahkah kompak antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam keadilan elemen nexus : pangan, energi dan air ? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H