Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Etnogastronomi: Sinergi Ekologi Pastoralisme dan Equestrianisme

7 Desember 2023   09:52 Diperbarui: 7 Desember 2023   20:45 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: dokumentasi pribadi 

Bagaimana Sejarah Equestrianisme ? 

Pernahkah mendengar kata equestrian ? atau olahraga equestrian ? sebutan mudahnya olahraga berkuda, kata equestrian berasal dari bahasa latin eques (artinya prajurit berkuda), kata ini tidak asing digunakan oleh bangsa romawi, siapa itu bangsa romawi ? Penelusuran literatur sejarah bangsa romawi jika membaca "SPQR: A History of Ancient Rome" karya Mary Beard seorang professor Ancient Literature (sastra kuno) dari Inggris merangkum bangsa romawi adalah bangsa yang hidup pada kekaisaran, tentu saja kekaisaran romawi atau populer disebut imperium. 

Dulunya bangsa romawi mendiami republik romawi yang merupakan imperium terbesar di dunia dengan suku bangsanya suku romawi yang beragam dan bahasa kesehariannya adalah bahasa latin dengan budaya yang berkembang adalah budaya Yunani kuno. 

Bangsa romawi pun disebut bangsa yang multikultural karena sudah banyak pencampuran dari berbagai lokasi dan asal-usul bahkan keturunan campuran dari lokasi diluar imperium romawi ini. Apa hubungannya dengan equestrian ? hal ini bisa langsung mengarah pada kegiatan militernya dengan pasukan berkuda bangsa romawi, karena zaman dahulu berperang dan berekspansi menggunakan kuda adalah bagian dari keberlangsungan hidup dan mempertahankan kekuasaan dan politiknya selama berabad-abad. 

Jika ditanya, lantas negara mana saja yang termasuk lokasi berkehidupan bangsa romawi ini ? Ulasan literatur merujuk pada negara-negara peninggalan kekaisaran romawi yang jejaknya ada di semenanjung negara seperti : Italia, Prancis, Spanyol, Inggris, Yunani, Turki, Mesir, Libya, Aljazair, Suriah, Yordania,  dan perlu bukti arkeologis untuk menjustifikasi wilayah peninggalan migrasi di bagian Asia dan Afrika dimana pasuka romawi pernah sampai berekspansi wilayah tersebut, dominasi romawi itu adalah negara-negara eropa dengan peninggalannya pun banyak disana, hari ini tentu saja sering melihat peninggalannya seperti beberapa patung, ukiran, arsitektur, peradaban yang terus ditransformasikan kajian historisnya, makanan, resep-resep romawi kuno yang sering menjadi rujukan diet-diet tertentu, dan hewan-hewan yang lestari seperti kuda ini yang terus berkembang biak.  

Dikarenakan catatan sejarah equestrian dimulai dari pasukan berkuda bangsa romawi, hal ini sejalan dengan bahasan "The Age of the Horse" dan "If Wishes Were Horses: A Memoir of Equine Obsession"  karya Susanna Forrest yang merupakan seorang penulis dan editor yang selalu menulis ketertarikannya tentang kuda, Forrest memiliki latar belakang pendidikan antropologi sosial dari University of Cambridge .

Karya nonfiksinya menjelaskan bahwa hubungan antara manusia dan kuda memiliki sejarah yang panjang semenjak 56 juta tahun yang lalu dari keberadaan kuda pertama kali ditemukan oleh manusia, secara latin sebutannya Equus caballus atau us ferus. 

Hal ini diawali dari zaman tembaga secara historis dimana kudalah yang dijinakkan oleh manusia dan dijadikan mitra (dalam hal ini akan digunakan dan dimanfaatkan sebagai alat transportasi dan alat angkut karena memiliki efisiensi dalam mobilitas dan kuda masuk pada sejarah perkembangan peradaban manusia), hingga dari waktu ke waktu kuda digunakan dalam sektor : pertanian, perang, peternakan, sumber pangan dan olahan daging kuda, dan hewan koleksi untuk simbol kekayaan serta status sosial para petinggi kerajaan atau pemerintahan. 

Evolusi hubungan budaya dan ekonomi secara arkeologis ditemukan pada peninggalan tembaga dan sejarah penggunaan kuda yang dikendalikan oleh manusia, dan inilah sejarah manusia yang tidak boleh dilupakan dimana ada beberapa hewan yang membersamai, salah satunya adalah kuda yang hingga saat ini masih ada dengan berbagai fungsinya. 

Equestrianisme sebutan untuk tradisi berkuda dimana saat ini sudah bukan untuk kepentingan militer dalam peperangan, namun sudah beralih fungsi menjadi fungsi olahraga, atraksi, selebrasi, hewan koleksi dan sumber protein untuk substitusi konsumsi bahan pangan bahkan kultivasi kuda untuk menghadirkan kuda-kuda berkualitas dengan perkawinan-perkawinan dari induk unggulan sehingga bisa dikategorikan untuk kuda pacu, kuda polo (khusus olahraga polo/kuda beregu), kuda gembala, kuda angkut, dan kuda poni untuk hiburan dan koleksi hewan jinak piaraan. 

Hari ini equestrianisme potensial untuk : pariwisata desa, pariwisata alam, pariwisata peternakan, pariwisata kebugaran (olahraga berkuda/equestrian), dan pariwisata etnogastronomi (dimana produksi daging kuda menjadi andalan sajian santapan yang menyumbangkan beberapa sumber gizi). 

Etnogastronomi dan Potensi Daging Kuda Untuk Keberlanjutan Sinergi Ekologi 

sumber gambar: dokumentasi pribadi
sumber gambar: dokumentasi pribadi

Etnogastronomi dalam perspektif antropologi pangan dan gastronomi kontemporer merangkum unsur-unsur budaya makan yang berhubungan dengan masyarakat yang mengolah berbagai komoditas pangan (hewani dan nabati) dengan berbagai teknik pengolahannya dalam perlakuan sumber protein terlebih masakan terlebih jika memasak daging. 

Perluasan pandangan etnogastronomi tidak hanya sampai situ, fokus lain mendokumentasikan konteks tradisi kuliner dalam suatu kelompok masyarakat dalam hal ini terselip makna-makna simbolis makanan tidak hanya nilai gizi disitulah masyarakat memperbanyak komoditas dengan cara : domestikasi, budidaya, dan berternak, sehingga ketersediaan pangan mencukupi.

Etnogastronomi pun merambah pada peranan makanan yang mempererat interaksi sosial dalam silaturahmi (tercermin pada gotong royong dalam mengolah sumber pangan hewani yang akan dinikmati bersama) bahkan sering melakukan pesta makanan dengan kentalnya budaya yang biasa dilakukan, dinikmati dan diwariskan menjadi kebiasaan hingga menjadi selebrasi budaya pada berbagai acara masa kini. 

Etnogastronomi memiliki fungsionalitas dan fleksibilitas pada sisi fundamental atau dasar ketahanan pangan, hal ini jika menelusuri penelitian etnografi Mary Douglas seorang antropolog sosial dan strukturalis berkebangsaan Inggris namun terlahir di Italia dengan bukunya yang berjudul "Purity and Danger" bahwa meskipun kata etno sendiri masih mengarah pada landasan perilaku, tradisi, dan budaya yang secara rutin dilakukan (harian) dan bisa didalami dengan kajian etnosains (studi pengetahuan lokal masyarakat yang bersumber pada pengalaman empiris turun-temurun yang memungkinkan untuk diilmiahkan dengan berbagai perspektif dan pengetahuan), kajiannya menyinggung adanya ketahanan pangan dan kebudayaan makanan (makanan dan budaya/gastronomi) yang mengalami defamiliarisasi. 

Defamiliarisasi merupakan suatu hal asing/tidak akrab untuk dipaksa merasakan dari sudut pandang berbeda agar lebih baik.

Defamiliarisasi sering terjadi pada etnogastronomi, semisal keberlanjutan produksi daging kuda yang dinikmati oleh masyarakat, hal ini karena sering dipandang suatu anomali dan keanehan serta tidak wajar. Hal ini bisa diterima, karena memang tidak biasa untuk kelompok masyarakat tertentu dan jika lokasinya tidak ada peternakan kuda. Sama halnya jika masyarakat yang menikmati sajian kuda akan merasa aneh melihat masyarakat yang menikmati daging itik dari area sawah, karena ekosistem sawah tidak ditemukan di ekosistem lokasi penduduk yang memelihara dan berternak kuda. 

Tujuan utama dari defamiliarisasi adalah untuk melawan kebiasaan atau rutinitas persepsi aneh, yang sering kali membuat masyarakat terjebak oleh perspektif luar yang dianggap asing namun masyarakat tersebut sudah biasa melakukannya, sehingga memaksa kebiasaan yang sudah ada berubah. Hal ini sering terjadi pada etnogastronomi. 

Peran Defamiliarisasi dalam Etnogastronomi dapat membantu setiap orang atau kelompok masyarakat untuk bisa mengapresiasi satu sama lain tentang cita rasa, cara mengolah yang sudah menjadi tradisi dan terbukti meningkatkan nilai gizi dan mengurangi kelaparan, berinteraksi dengan para pengolah makanan yang sering terlupakan karena bekerja dan berperan maksimal di dapur, dan menghargai anugerah ciptaan Yang Maha Kuasa dalam bentuk komoditas yang merupakan sumber rezeki untuk keberlanjutan konsumsi semua makhluk. 

Pastoralisme dan Equestrianisme 

sumber gambar : dokumentasi pribadi
sumber gambar : dokumentasi pribadi

Keberlanjutan sinergi ekologi dari masyarakat yang menikmati sajian daging kuda dan terjaganya kelestarian ekologi memiliki dampak nyata untuk pertahanan krisis iklim, karena jika masyarakat peternak kuda masih memelihara dan merawat kuda, artinya lahan-lahan subur masih terkelola dengan baik untuk kepentingan kuda dan manusia. Hal ini sudah dibuktikan secara historis dari beberapa studi kasus yang berhasil mempertahankan : Kuda, Lahan, dan Pangan dari berbagai negara, contonya adalah : Mongolia. 

Tradisi equestrian mongol sangat terkenal dari bahasan historis hingga masa kini yang masih relevan dengan tradisinya yang sudah bertransformasi karena mengikuti zaman namun kekuatan pengalaman masa lampau tidak ditinggalkan begitu saja, hal ini karena budaya balap kuda memiliki peranan penting, jika menelusuri hasil riset dari Munkh Dalai A Zhanga dari Research Center for Eco-Environmental Sciences, the Chinese Academy of Sciences, Beijing, China yang meneliti Budaya Nomaden Mongolia dan Budaya Ekologis: Tentang Rekonstruksi Ekologis di Zona Mozaik Agropastoral di Utara China  melihat bahwa budaya berkuda dan memelihara berkuda merupakan bentuk budaya nomaden ekologi modern dengan keunggulan perawatan lingkungan, penggunaan berkelanjutan padang rumput dan penghasil sumber protein dalam kuliner mongolia (ada kontribusi daging kuda dan produk olahan kuda khas mongolia) diantaranya : produk fermentasi yaitu Airag (hanya susu kuda) dan kumis (campuran berbagai susu : kuda, domba, sapi, unta dll) yang memiliki rasa asam,tekstur ringan diminum, menyengarkan (beberapa produk mengandung alkohol) akibat lamanya fermentasi, keduanya dianggap sebagai produk kuliner berbudaya dari Mongolia karena sering disajikan pada perayaan-perayaan khusus, hal ini mendompleng Mongolia pada prioritas perlindungan ekologis regional dan global karena pengembangan : ekologi, sosial, ekonomi manusia pada kehidupannya, sehingga hal ini mendorong perlindungan padang rumput yang vital bagi masyarakatnya dan hal ini adalah pertahanan keberlanjutan agraris yang terus dilestarikan. 

Pastoralisme secara singkat pernah dibahas pada tulisan sebelumnya berjudul Pastoralisme: Pengetahuan Lokal Pemeliharaan Ternak untuk Ketersediaan Pangan yang mendefinisikan versi Andy Catley dalam bukunya yang berjudul Pastoralism and Development in Africa: Dynamic Change at the Margins bahwa  : 

Pastoralisme merupakan pemeliharaan ternak ini secara tradisional, digembalakan, diberi makan dari padang rumput atau sabana, species ternak adalah lokal yang terbiasa beradaptasi dengan lingkungan.

Penting untuk dicatat bahwa etnogastronomi, pastoralisme dan equestrianisme memiliki warisan global tentang budaya berternak dan keberlanjutannya sesuai fungsi bahkan menjadi fungsi keberlanjutan sinergi ekologi yang bisa dikontribusikan dari setiap sektor dari mulai kebutuhan pangan, peternakan, kebugaran, hingga hiburan. 

Indonesia pun punya kompleksitas etnogastronomi dari kuda, para peternak kuda, dan para atlet kuda, hanya bagaimana hal ini bisa dikolaborasikan tidak hanya untuk kelas-kelas tertentu saja yang memiliki akses, jika masih demikian adanya tidak ubahnya seperti zaman kekaisaran romawi artinya peradaban status sosial sebagai simbolisme kekuasaan masih lekat, apakah hari ini sudah mudah mendapatkan akses dan konsumsi daging kuda, olahraga berkuda, dan memelihara kuda suatu hal yang masih terkendala biaya dan cara mendapatkannya ? Jika ya, maka perlu ada segmentasi inklusivitas dalam kemitraan manusia, kuda, dan kuasa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun