Etnogastronomi dalam perspektif antropologi pangan dan gastronomi kontemporer merangkum unsur-unsur budaya makan yang berhubungan dengan masyarakat yang mengolah berbagai komoditas pangan (hewani dan nabati) dengan berbagai teknik pengolahannya dalam perlakuan sumber protein terlebih masakan terlebih jika memasak daging.Â
Perluasan pandangan etnogastronomi tidak hanya sampai situ, fokus lain mendokumentasikan konteks tradisi kuliner dalam suatu kelompok masyarakat dalam hal ini terselip makna-makna simbolis makanan tidak hanya nilai gizi disitulah masyarakat memperbanyak komoditas dengan cara : domestikasi, budidaya, dan berternak, sehingga ketersediaan pangan mencukupi.
Etnogastronomi pun merambah pada peranan makanan yang mempererat interaksi sosial dalam silaturahmi (tercermin pada gotong royong dalam mengolah sumber pangan hewani yang akan dinikmati bersama) bahkan sering melakukan pesta makanan dengan kentalnya budaya yang biasa dilakukan, dinikmati dan diwariskan menjadi kebiasaan hingga menjadi selebrasi budaya pada berbagai acara masa kini.Â
Etnogastronomi memiliki fungsionalitas dan fleksibilitas pada sisi fundamental atau dasar ketahanan pangan, hal ini jika menelusuri penelitian etnografi Mary Douglas seorang antropolog sosial dan strukturalis berkebangsaan Inggris namun terlahir di Italia dengan bukunya yang berjudul "Purity and Danger"Â bahwa meskipun kata etno sendiri masih mengarah pada landasan perilaku, tradisi, dan budaya yang secara rutin dilakukan (harian) dan bisa didalami dengan kajian etnosains (studi pengetahuan lokal masyarakat yang bersumber pada pengalaman empiris turun-temurun yang memungkinkan untuk diilmiahkan dengan berbagai perspektif dan pengetahuan), kajiannya menyinggung adanya ketahanan pangan dan kebudayaan makanan (makanan dan budaya/gastronomi) yang mengalami defamiliarisasi.Â
Defamiliarisasi merupakan suatu hal asing/tidak akrab untuk dipaksa merasakan dari sudut pandang berbeda agar lebih baik.
Defamiliarisasi sering terjadi pada etnogastronomi, semisal keberlanjutan produksi daging kuda yang dinikmati oleh masyarakat, hal ini karena sering dipandang suatu anomali dan keanehan serta tidak wajar. Hal ini bisa diterima, karena memang tidak biasa untuk kelompok masyarakat tertentu dan jika lokasinya tidak ada peternakan kuda. Sama halnya jika masyarakat yang menikmati sajian kuda akan merasa aneh melihat masyarakat yang menikmati daging itik dari area sawah, karena ekosistem sawah tidak ditemukan di ekosistem lokasi penduduk yang memelihara dan berternak kuda.Â
Tujuan utama dari defamiliarisasi adalah untuk melawan kebiasaan atau rutinitas persepsi aneh, yang sering kali membuat masyarakat terjebak oleh perspektif luar yang dianggap asing namun masyarakat tersebut sudah biasa melakukannya, sehingga memaksa kebiasaan yang sudah ada berubah. Hal ini sering terjadi pada etnogastronomi.Â
Peran Defamiliarisasi dalam Etnogastronomi dapat membantu setiap orang atau kelompok masyarakat untuk bisa mengapresiasi satu sama lain tentang cita rasa, cara mengolah yang sudah menjadi tradisi dan terbukti meningkatkan nilai gizi dan mengurangi kelaparan, berinteraksi dengan para pengolah makanan yang sering terlupakan karena bekerja dan berperan maksimal di dapur, dan menghargai anugerah ciptaan Yang Maha Kuasa dalam bentuk komoditas yang merupakan sumber rezeki untuk keberlanjutan konsumsi semua makhluk.Â
Pastoralisme dan EquestrianismeÂ
Keberlanjutan sinergi ekologi dari masyarakat yang menikmati sajian daging kuda dan terjaganya kelestarian ekologi memiliki dampak nyata untuk pertahanan krisis iklim, karena jika masyarakat peternak kuda masih memelihara dan merawat kuda, artinya lahan-lahan subur masih terkelola dengan baik untuk kepentingan kuda dan manusia. Hal ini sudah dibuktikan secara historis dari beberapa studi kasus yang berhasil mempertahankan : Kuda, Lahan, dan Pangan dari berbagai negara, contonya adalah :Â Mongolia.Â