Maka dari itu ada yang namanya ritual budaya makan atau berbagi makanan dengan selebrasi yang beragam, karena hal ini mementingkan regenerasi sumber daya pangan yang ada (seperti dibiarkan matang dulu untuk buah-buahan, dibiarkan menyusui untuk hewan ternak agar cukup umur juga jika sudah sampai waktu siap potong).Â
Namun, kepentingan permintaan pasar dan dinamika kecepatan kebutuhan selalu melonjak dan akhirnya terjadilah revolusi industri dimana semuanya diseragamkan, dibuat monokultur dalam pertanian, sehingga akan sulit mengembalikan keberagaman pangan (diversifikasi pangan).Â
Padahal sebelumnya konsumsi keberagaman pangan itu sudah dilakukan sejak dahulu karena ada masa pergantian panen, sebelum padi dipanen, para petani sudah terbiasa mengonsumsi ketela, ubi, suweg, porang, kentang, hanyeli, dan beragam jenis karbohidrat lainnya.Â
Begitu juga dengan alternatif makanan siap santapnya seperti di daerah Tasikmalaya, nasi memanglah utama, namun penggantinya ada leupeut, lontong, kupat, buras, talas, surabi, dan tentu saja masih banyak lagi untuk alternatif lainnya.Â
Memang kekuatan industri teknologi pangan dan pertanian tidak akan pernah kalah jika yang melawan adalah praktik pertanian tradisional dan komunal dengan peralatan pertanian seadanya tapi multiguna.
Namun fakta menariknya jika ditelusuri pada sejarah pangan Indonesia yang mengacu pada laporan FAO , The State of Food and Agriculture 2019: Moving Forward on Food Loss and Waste Reduction.
Dalam laporan tersebut FAO menganalisis dan melaporkan bahwa masalah kehilangan pemborosan makanan global ini karena ada konsekuensi lingkungan, sosial, dan ekonomi, dan hal ini merembet pada permasalahan ketahanan pangan karena dituntut adanya strategi dalam pengurangan kehilangan dan pemborosan ini yang berdampak pada rantai pasok pangan, perubahan perilaku konsumen, dan mengubah berbagai kebijakan dan regulasi di setiap negara pada sektor pangan.Â
Laporan ini pun menjadi bahan kajian lanjutan strategis yang masih membahas kejelasan ketahanan pangan dari setiap wilayah dan mendesak kebituhan inovasi untuk kebutuhan mendesak sistem pangan global.Â
Akhirnya, tibalah pada kondisi sejarah panjang ketahanan pangan Indonesia sendiri karena selalu menjadi sorotan negara agraris, sebetulnya begitu berat menyandang julukan ini karena selalu tidak bisa mempertanggungjawabkan julukan negara agraris yang begitu romantis namun sebagian kondisi pangan dan pertanian ternyata ironis dari berbagai contoh kasus.Â
Sejarah ketahanan pangan Indonesia amat sangat historis karena berhubungan dengan kekurangan pangan pada masa kolonial Belanda di Abad ke-20.Â
Menurut penelusuran yang dilakukan oleh Ahli Sejarah Kontemporer dari Australia bernama Susie Protschky dalam penelitiannya yang berjudul The colonial table: Food, culture and Dutch identity in colonial Indonesia, bahwa hubungan makanan, budaya, dan identitas Belanda di Indonesia sangat erat karena berpengaruh pada kebiasaan makanan Belanda dan produk makanan mereka yang dibawa ke Indonesia dan hal ini secara langsung mempengaruhi komoditas dan budaya makan lokal.