Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Indonesia Darurat Plentiful Food untuk Ketahanan Pangan Skala Keluarga sampai Negara

14 April 2023   09:30 Diperbarui: 14 April 2023   17:44 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ketahanan pangan| Sumber gambar: Pexels.com

Berita-berita masa depan pangan sudah sangat kompleks terutama jika dilihat dari kondisi ketahanan pangan global sampai skala lokal dan terakhir skala rumah tangga di mana sasaran akhirnya adalah setiap individu yang memiliki kelompok usia dari kelompok bayi sampai lansia. 

Namun apakah ketahanan pangan sudah mencakup sampai pada urgensi keperluan per porsi secara keseluruhan dari setiap individunya? Belum tentu. 

Berbagai strategi, konsep, pendekatan, program, paradigma, ajakan sampai perubahan gaya hidup selalu dikampanyekan dengan dalih ketahanan pangan. Namun, tetap saja hal ini tidak mengena untuk beberapa kelompok dan individu.

Bahkan ketika pemimpin daerah berbicara ketahanan pangan daerahnya sangat bagus walau tanpa data mumpuni, dan jika dikonfirmasi melalui investigasi per individu ternyata hasilnya tidak memenuhi kelayakan ketahanan pangan individu dari kebutuhan primernya saja yaitu makan.

Hal ini akan ironis jika ditotalkan dengan keadaan individu yang serupa dan bahkan bisa menjadi populasi yang sama sekali tidak termasuk ketahanan pangan secara fakta. 

Apa itu Ketahanan Pangan untuk Cakupan Negara Indonesia? 

Tidak mudah menjelaskan ini, karena acuannya adalah kondisi negara dari definisi ketahanan pangan global. 

Loh, memangnya Indonesia kecipratan komoditas pangan global apa untuk menuntaskan problematika pangan?

Pertanyaan tersebut yang tidak bisa dijelaskan secara sederhana karena menyangkut negosiasi pangan dan perdagangan pangan, maka dari itu sistem pangan itu kompleks, dan hanya kebijakan pangan yang memudahkan, bervisi misi lokalitas, dan sistem pangan pendek seperti ini formulanya: 

Formula 1: Produsen - Konsumen (tidak ada biaya distribusi).

Formula 2: Produsen - Perantara lokal (pasar, kios, pasar, koperasi, warung, distributor lokal dari sumber daya manusia lokal/pekerja putra daerah) - konsumen.

Formula 3: Produsen - Layanan Daring - Ekspedisi Pengantar - Konsumen.

Namun, ternyata kompleksitas ketahanan pangan rantainya banyak sekali dan kompleks, sudah administrasi bidang pangan yang dilakukan beberapa tahap seperti: pengecekan, pengesahan, pengantaran, penolakan, hingga penyaluran yang tertunda karena harus ada pemeriksaan di tempat penampungan.

Hal ini sudah amat sangat berisiko sebenarnya bagi kualitas pangan yang bergizi dan bermutu karena terlalu banyak tertunda dan terhenti, karena ada beberapa kandungan gizi dalam komoditas pangan yang diperkirakan rusak karena benturan fisik. 

Maka dari itu sistem pangan pendek akan memudahkan pada ketahanan pangan dengan cara fokus pada pengelolaan plentiful food.

Sebelum membahas plentiful food, kesimpulan sederhana pada ketahanan pangan yang dirangkum dari definisi periodik skala global dan diadopsi oleh beberapa negara mendefinisikan sebagai kemampuan suatu wilayah (benua, negara, kepulauan, provinsi, kabupaten/kota, kampung adat, keluarga hingga individu) mampu mendapatkan akses pada pangan yang bergizi dan dalam waktu yang panjang. 

Definisi menurut Undang-Undang Pangan No.18 tahun 2012 yang sudah beralih pada UU Cipta Kerja menyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Karena definisinya pun lebih melihat pada kemanusiaan, maka memang kebutuhan individu terlebih dahulu dalam hal kemampuan mendapatkan haknya, bukan memperlebar kawasan lahan yang sudah lestari dan dialihfungsikan. 

Hal ini juga sejalan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat Indonesia yang kulinernya beragam, mulailah memenuhi bahan-bahan dasar resep kuliner dari inspirasi individu dan penuhi pada tingkat skala keluarga dan daerah. 

Inilah yang disebut dengan plentiful food yang setingkat dari seimbang. Plentiful food adalah makanan yang berlimpah yang mengacu dari landasan kebutuhan pangan individu yang digunakan untuk kesehariannya, wirausahanya, dan kegiatan sosial untuk berbagi makanan sesuai dengan budayanya. Dengan begini akan sesuai dengan definisi ketahanan pangan menurut Undang-Undang karena sudah dari cukup bahkan berlimpah. 

Sejarah Ketahanan Pangan di Indonesia Secara Singkat 

Sumber gambar: istockphoto.com
Sumber gambar: istockphoto.com

Sebenarnya konsep setiap etnis dalam pertanian sudah sangat berbudaya karena tidak melakukan eksploitasi berlebihan dan menunggu regenerasi pertumbuhan dalam prosesnya. 

Maka dari itu ada yang namanya ritual budaya makan atau berbagi makanan dengan selebrasi yang beragam, karena hal ini mementingkan regenerasi sumber daya pangan yang ada (seperti dibiarkan matang dulu untuk buah-buahan, dibiarkan menyusui untuk hewan ternak agar cukup umur juga jika sudah sampai waktu siap potong). 

Namun, kepentingan permintaan pasar dan dinamika kecepatan kebutuhan selalu melonjak dan akhirnya terjadilah revolusi industri dimana semuanya diseragamkan, dibuat monokultur dalam pertanian, sehingga akan sulit mengembalikan keberagaman pangan (diversifikasi pangan). 

Padahal sebelumnya konsumsi keberagaman pangan itu sudah dilakukan sejak dahulu karena ada masa pergantian panen, sebelum padi dipanen, para petani sudah terbiasa mengonsumsi ketela, ubi, suweg, porang, kentang, hanyeli, dan beragam jenis karbohidrat lainnya. 

Begitu juga dengan alternatif makanan siap santapnya seperti di daerah Tasikmalaya, nasi memanglah utama, namun penggantinya ada leupeut, lontong, kupat, buras, talas, surabi, dan tentu saja masih banyak lagi untuk alternatif lainnya. 

Memang kekuatan industri teknologi pangan dan pertanian tidak akan pernah kalah jika yang melawan adalah praktik pertanian tradisional dan komunal dengan peralatan pertanian seadanya tapi multiguna.

Namun fakta menariknya jika ditelusuri pada sejarah pangan Indonesia yang mengacu pada laporan FAO , The State of Food and Agriculture 2019: Moving Forward on Food Loss and Waste Reduction.

Dalam laporan tersebut FAO menganalisis dan melaporkan bahwa masalah kehilangan pemborosan makanan global ini karena ada konsekuensi lingkungan, sosial, dan ekonomi, dan hal ini merembet pada permasalahan ketahanan pangan karena dituntut adanya strategi dalam pengurangan kehilangan dan pemborosan ini yang berdampak pada rantai pasok pangan, perubahan perilaku konsumen, dan mengubah berbagai kebijakan dan regulasi di setiap negara pada sektor pangan. 

Laporan ini pun menjadi bahan kajian lanjutan strategis yang masih membahas kejelasan ketahanan pangan dari setiap wilayah dan mendesak kebituhan inovasi untuk kebutuhan mendesak sistem pangan global. 

Akhirnya, tibalah pada kondisi sejarah panjang ketahanan pangan Indonesia sendiri karena selalu menjadi sorotan negara agraris, sebetulnya begitu berat menyandang julukan ini karena selalu tidak bisa mempertanggungjawabkan julukan negara agraris yang begitu romantis namun sebagian kondisi pangan dan pertanian ternyata ironis dari berbagai contoh kasus. 

Sejarah ketahanan pangan Indonesia amat sangat historis karena berhubungan dengan kekurangan pangan pada masa kolonial Belanda di Abad ke-20. 

Menurut penelusuran yang dilakukan oleh Ahli Sejarah Kontemporer dari Australia bernama Susie Protschky dalam penelitiannya yang berjudul The colonial table: Food, culture and Dutch identity in colonial Indonesia, bahwa hubungan makanan, budaya, dan identitas Belanda di Indonesia sangat erat karena berpengaruh pada kebiasaan makanan Belanda dan produk makanan mereka yang dibawa ke Indonesia dan hal ini secara langsung mempengaruhi komoditas dan budaya makan lokal.

Artinya impor pangan sudah ada sejak zaman Belanda namun tidak ada dokumen administratifnya karena pemerintah Indonesia pada saat itu menganggap hal ini hanya barang bawaan saja. 

Impor pangan ini dimulai pada abad ke-19 dan meningkat pesat karena melihat peluang terbuka lebar dan makanan Belanda sengaja disimbolkan menjadi makanan elit, simbol kemajuan peradaban, simbol modernitas, dan diyakini simbol makanan mewah bagi penduduk Indonesia dari berbagai kalangan termasuk dipengaruhi oleh orang-orang Belanda juga. 

Dari penelitiannya Protschky ini, maka Indonesia menghadapi tantangan ketahanan pangan, karena terpengaruh oleh Belanda, jadinya kebijakan pangan pun berfokus pada ekspor tanaman-tanaman asli dari Indonesia seperti kopi, gula, rempah-rempah dikembalikan lagi ke Indonesia dengan sudah diolah dan bisa dinikmati, namun pengolahan dan proses industrialisasinya di Belanda. 

Sungguh hebat sekali bukan? 

Hal ini menjadi pengingat bahwa potensi sumber daya pangan atau tumbuhan di Indonesia memang lah sepotensial itu, hanya saja kurang pada manajerialnya, sumber daya manusia terlatih, dan ribetnya izin usaha dengan berbagai program labelisasinya yang tidak semua mampu memiliki akses informasi dan teknologi tingginya. 

Maka, jika ingin membalaskan transformasi sistem pangan secara maksimal, segeralah ciptakan dan dukung sumber pangan melimpah/plentiful food agar kuliner Indonesia semakin berjaya dan akses makanan pun sudah bukan masalah vital lagi, dan yakinlah dengan terpenuhinya ketersediaan pangan dari tahap individu berbagai usia, maka potensi manusia di bidang apapun akan melejit dengan cepat karena sudah tidak berpikir tentang kondisi perutnya. 

Ketahanan Pangan Indonesia pasca kemerdekaan jika merujuk data FAO tahun 2019, memang Indonesia dinilai dalam situasi krisis pangan namun tidak terlalu darurat hanya beberapa bagian wilayah saja yang terhitung terindikasi kelaparan pada tahun 1966-1967 karena adanya kegagalan panen dan kebijakan ekpor beras untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri

Dari kondisi inilah pemerintah pun meningkatkan ketahanan pangan dan kebijakannya terutama dalam produksi pangan dalam negeri beserta dukungan infrastrutur distribusi pangan, serta dilengkapi subsidi pangan. 

Darurat Plentiful Food 

Ada banyak pelajaran/lesson learned dari berbagai kajian historis, budaya, sosial, ekonomi, lingkungan, bahkan bencana dalam berbagai peristiwa yang mengancam sistem pangan di Indonesia. 

Sebagai label negara agraris, seharusnya sudah mengarah pada pangan berlimpah/plentiful food, caranya bisa macam-macam dengan berbagai dukungan sesuai kesanggupan dari potensi sumber daya manusia lokal per wilayahnya, dan jangan lupakan pelibatan masyarakatnya, bukankah pemerintah sering mendengungkan kata kolaborasi dalam setiap pesan-pesan global yang dilokalkan. 

Plentiful food merupakan makanan yang berlimpah yang terdiri dari beragam komoditas pangan untuk berbagai keperluan dengan akses yang mudah. 

Praktik-praktik kesuksesan plentiful food sudah banyak dirasakan oleh berbagai negara yang berpengaruh pada murahnya bahan pangan dan dampaknya kuliner yang beragam dengan keterjangkauan.

Ini menghasilkan efek yang langsung bisa diterima oleh setiap individu seperti zat gizi berlimpah dari komoditas yang berlimpah sehingga angka kekurangan gizi akan turun dengan sendirinya, persepsi kelaparan dan rasa lapar berubah bukan lagi butuh pada makanan pokok lagi namun sudah pada tahap makanan pelengkap.

Hal ini sudah menjadi akselerasi program inklusif tanpa kecuali karena sudah merata, kreasi para pengolah makanan akan lebih memperhatikan aspek higienitas karena limpahan produksi sangat banyak dan dengan ini perlahan teredukasi mandiri, konsumen lintas usia akan punya banyak cerita cita rasa dari kreasi produk makanan enak, bergizi, berkualitas, murah, terjangkau, banyak, dan empati pun akan tumbuh karena kelebihan pangan maka negara agraris akan kembali romantis, bukan? 

Plentiful Food Skala Negara 

Lula Da Silva| Sumber gambar: flickr.com/palaciodoplanalto via Wikipedia
Lula Da Silva| Sumber gambar: flickr.com/palaciodoplanalto via Wikipedia

Negara-negara yang sudah melakukan plentiful food seperti Brazil dengan program Zero Hungernya pada masa presiden Lula Da Silva.

Strateginya adalah memperluas akses ke makanan dan meningkatkan produksi pangan di wilayah-wilayah pedesaan sehingga debutnya dalam mengatasi kelaparan menjadi pembelajaran untuk produsen komoditas pangan.

Selain itu strategis didukung dengan program pangan keluarga, kredit pertanian yang amat sangat mudah dan tidak ribet dengan pengelolaan dan pengawasan yang baik, Diberikan hak-hak cita rasa rakyatnya dalam distribusi makanan untuk setiap anak-anak sekolah berbagai tingkat. 

Desa pun tidak luput walaupun sering digadang-gadang desa adalah ujung tombak dan pusat sistem pangan namun faktanya banyak penduduknya yang kelaparan karena pangannya dijual ke kota.

Brazil pun punya program Restoran Rakyat (sungguh peduli sekali) hal ini tentunya sangat menggembirakan, adanya hub yang menjembatani gagasan publik dan pemerintah dan dari sinilah warga sipil bisa memberikan ide solutif, pemerintahnya memberikan fasilitas penampungan ide, tidak ditembaki gas air mata tiba-tiba. 

Semuanya dilakukan untuk pengentasan kemiskinan dan kelaparan, strategi tambahannya pun melakukan kebijakan pangan berbasis multisektor yang mengedepankan produksi pangan dan semuanya dilibatkan, termasuk kedelai dan Brazil selalu berhasil menaikkan produksi kedelai sehingga bisa ekspor, komoditas lainnya adalah jagung, gula, jeruk, dan makanan pra olah lainnya. 

Brazil sudah paham kebutuhan pangan masyarakatnya dan tujuannya dalam meraup keuntungan dari sektor komoditas pangan inti yang dibutuhkan dunia. Bagaimana dengan Indonesia dengan perhatiannya pada pangan yang berlimpah hari ini? Bisa dipanen dan dinikmati tahun berapa? 

Plentiful Food Rumahan 

Tentu saja, setiap individu selalu memiliki kesempatan untuk menciptakan dan menyediakan ketersediaan pangan di rumah, tidak hanya menghemat pengeluaran anggaran konsumsi, namun bisa menjadi peluang dan hobi baru.

Jika dirasa berkebun di pekarangan sudah tidak memungkinkan, bisa mulai melirik kesempatan kebun-kebun digital yang menawarkan praktik bertani dari kejauhan dan datang ketika panen dalam hal bagi hasil (tentunya harus jelas institusinya dan penyelenggaranya). Cara ni sudah banyak dipraktikkan bagi masyarakat perkotaan di negara-negara skandinavia, dan hal ini efektif. 

Hal lain bisa melirik vertical garden dan kebun kompleks bersama sebagai kegiatan sosial masyarakat, gotong royong rasanya tidak harus selalu bersih-bersih selokan kan? 

Namun, bisa dengan berkebun bersama dengan organisasi terkecil untuk pemilihan koordinator dalam penugasan, seperti penyebaran benih, penyiraman, dan manajemen pasca panen dan pembagian. Hal ini bisa jadi bisnis rumahan atau kompleks dan bisa menghidupkan kembali gotong royong dan keakraban bermasyarakat. 

Benih-benih tanaman pangan sudah banyak tersedia secara daring dan non-daring tinggal dipilih jenis yang mudah dan cepat panen. Ini adalah harapan keberlanjutan sebenarnya, dan sejenak melupakan kegiatan digital dari berbagai notifikasi. 

Pemerintah bisa kolaborasi dengan setiap individu juga untuk menitipkan tanaman pangan di beberapa rumah, coba saja lakukan di beberapa wilayah dan selalu pantau, masyarakat akan selalu terbuka tentunya jika selalu dilibatkan dan diberikan apresiasi apalagi diberi komisi, akan sangat senang hati. 

Sumber gambar: istockphoto.com
Sumber gambar: istockphoto.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun