Hidup melambat menjadi tren tersendiri. Namanya Slow Living. Bahkan mengonsumsi makananpun menjadi melambat dari teknik pengolahannya.Â
Praktik ini banyak dipraktikan di Italia karena untuk melawan gempuran makanan cepat saji pada tahun 1980-an karena kapitalisme dan membuat masyarakat Italia menjadi konsumtif dan menimbulkan efek yang cukup buruk bagi lingkungan.
Karena, orang-orang menjadi tidak peduli sampah, menjadi serba cepat dan arogan, dan para pengolah makanan tradisional dimana itu merupakan kekuatan ekonomi menjadi berubah menyukai makanan cepat saji yang diimpor. Hal ini mengkhawatirkan.Â
Lewat Bukunya Slow Living, Pengarang Wendy Parkins dan Geoffrey Craig menuliskan pengalaman menikmati hidup santai/hidup melambat/slow living dan menikmati slow food/makanan lambat.Â
Yang mereka lakukan dalam hidupnya adalah merubah persepsi era modern yang begitu cepat sehingga membuat beberapa kegiatan tidak beraturan, banyak tuntutan, bahkan kewalahan.Â
Menurut mereka hal ini disebabkan oleh kecepatan dan ketidaksiapan seseorang dalam menghadapi globalisasi.Â
Namun, mereka memilih melambat karena terlalu bosan dengan hingar bingar era modern yang ternyata menyusahkan, merepotkan, bahkan mereka menanyakan mengapa tidak boleh istirahat sejenak atau menghadapi hidup itu dengan santai dan lebih menikmati? Â
Slow Living mengeksplorasi filosofi dan politik 'kelambatan' saat menyelidiki pertumbuhan Slow Food menjadi gerakan makanan dan budaya melambat di Italia.Â
Memang makanan lambat disana memiliki komitmen pelestarian masakan tradisional dan pertanian berkelanjutan, namun harus tetap nikmat dihidangkan di meja dengan nilai-nilai kehidupan dan menikmati hidangan.Â
Mereka berpendapat slow living adalah respons kompleks terhadap proses era modern yang menghubungkan etika dan kesenangan, termasuk kehidupan global dan lokal. Ini adalah kehidupan harian kontemporer.Â
Semua orang bernegosiasi terhadap waktu dan ruang yang berbeda, namun bagaimana dengan kelambatan ini membuat kualitas hidup lebih bernilai tanpa perlu direpotkan oleh hal-hal buru-buru namun tidak selalu sempurna hasilnya dan asal jadi. Bagi mereka slow living menambah kualitas menikmati hidup.Â
Bagaimana dengan orang Indonesia? Ah, rupanya patut bersyukur karena hampir kehidupan orang-orang Indonesia memang campursari.Â
Slow living sudah dipraktikan oleh masyarakat hukum adat, orang desa, orang yang berbudaya, orang yang mencintai kearifan lokal, orang yang tidak mau diburu-buru dan masih banyak lagi karakter lain yang mengarah pada hidup santai yang menikmati ritme dan fase hidup.Â
Slow food di Indonesia pun sudah banyak ditemukan bahkan hampir setiap orang Indonesia menikmatinya, berbanggalah sejenak jika sudah menikmati berbagi makanan tradisional dan aneka jajanan pasar, serta makanan khas daerah dengan harga yang murah meriah.Â
Dan terimakasih sudah menikmatinya, selain membantu ekonomi para pengolah makanan, ada rasa bangga ketika mencicipinya dan itulah identitas makanan suatu etnis di beberapa lokasi. Bahkan makanan tradisional dan perkembangannya sudah bisa dinikmati di tempat lain.Â
Contoh beberapa makanan yang sudah dinikmati di tempat lain adalah Nasi Liwet, tidak hanya di daerah Jawa Barat namun nasi liwet bisa dinikmati di Mall yang ada di Yogyakarta, kemudian rendang, tidak harus ke Padang dan Sumatera.Â
Namun di kota-kota besar bahkan di setiap daerah ada Rumah Makan Padang yang menjual rendang. Betapa nikmatnya penjelajahan cita rasa ini.Â
Masih bingung slow food seperti apa? Slow food tidak menggunakan bahan dan cara olah yang sulit, dan cenderung mudah dibuat dan tekniknya santai dan tidak diburu-buru.Â
Bahkan pengemasannya pun ada yang masih tradisional dan menggunakan hasil dari koleksi tanaman pekarangan. Seperti kue bugis yang masih dibungkus dengan daun pisang atau daun pandan.Â
Jika berminat melakukan praktik Slow Living dan menikmati Slow Food, ada beberapa cara yang sudah pernah dipraktikan :Â
1. Membuat jadwal rutinitas yang memiliki durasi waktu istirahat, misalnya bekerja 2-3 jam, gunakan 30-45 menit istirahat.Â
2. Menikmati fase hidup dan memperlambat ekspektasi dan harapan yang terlalu jauh dijangkau yang isinya hanya angan-angan belaka.
Ubahlah menjadi ekspektasi berjangka seperti harapan dan target esok hari, 1 minggu kedepan, 1 bulan kedepan, 3 bulan kedepan, 6 bulan ke depan, dan 1 tahun kedepan. Dengan begini target pun akan mudah dicapai, daripada berangan-angan suatu hari nanti.Â
3. Â Meminimalisir kegiatan yang dominan menyimak, seperti 3 jam menonton youtube tanpa henti, rasanya sama seperti 1 jam bersepeda untuk berolahraga, 1 jam memasak bersama membuat masakan tradisional yang bisa dinikmati bersama, 1 jam piknik santai di taman kota dan ngobrol dengan orang-orang yang dicintai.Â
4. Mengurangi hal-hal konsumtif. Slow living mengingatkan akan tetap santai dan tidak terburu-buru, jadi untuk apa latah ingin mengganti baju baru, gawai baru, kendaraan baru, rumah baru, jika yang lama masih bisa berfungsi dan tidak rusak.Â
Memangnya dengan benda-benda baru akan langsung merubah nasib seketika? Tentunya sama-sama berproses, kan?
5. Â Memiliki menu masakan yang bisa diolah secara mudah untuk 1 hari kedepan atau 1 minggu ke depan, sehingga sebelumnya bisa mempersiapkan bahan-bahan apa dan alat masak apa yang diperlukan.Â
Milikilah resep yang mudah dipraktikan dan tidak menyusahkan, namun tetap enak dinikmati.Â
6. Mengurangi penggunaan berbagai alat masak yang merepotkan dan harus beberapa tahap, kalau masakan bisa matang sempurna dan sudah enak dengan satu teknik olah.
Mengapa harus beberapa kali proses seperti sudah direbus, dikukus, digoreng, itu akan menghamburkan waktu dan merusak nilai zat gizi pada makanan karena pemanasan. Jika ayam itu matang dengan hanya dipepes, nikmatilah.Â
7. Meminimalisir jajanan cepat saji, para pelaku slow food selalu mencoba membuatnya sendiri, beregu, bahkan bergabung dengan komunitasnya untuk menikmati makanan.Â
Hal ini akan menyenangkan dan mengembalikan keakraban antar manusia bukan? Lebih menghargai dan tambah memiliki rasa welas asih hanya dari suatu hidangan, karena dalam setiap hidangan ada kebersamaan dalam proses memasak bahkan menikmatinya bersama.Â
8. Tidak merasa kuno, hal ini pasti akan sangat sulit, karena di era disrupsi ini semuanya serba cepat. Namun, slow living dan slow food bukan berarti ketinggalan, hanya memiliki durasi sendiri untuk lebih menikmati.Â
Jadi, maukah mencoba Slow Living dan Slow Food untuk transformasi gaya hidup Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H