"Apakah bubuk putih itu ? Apakah itu gula pasir ? Namun mengapa kasar seperti gula aren ? Malah terlihat seperti tetetsan tebu"
Bagian yang menyerupai adonan dianggap biskuit menurut orang-orang Eropa.Â
Wallace melintasi hutan bakau dan rawa-rawa sagu, terlihatlah budidaya sagu di sebuah desa yang berada dibukit posisinya ada di pedalaman.Â
Sagu, Perjalanan, dan Perbekalan WallaceÂ
Wallace pun dalam perjalanannya hanya memiliki satu-satunya makanan yang didapat seperti : ikan dan kerang untuk keperluan sehari-hari, tambahan lain seperti tembakau, dan perbekalan lainnya seperti kue sagu, material lain seperti : pisau, tembaga kepingan milik bangsa eropa yang tertinggal.Â
Wallace bertemu orang aru (suku yang mendiami pulau aru, maluku tenggara). Kekayaan sumber daya alam di kepulauan Aru juga telah mengundang negara-negara lain untuk datang dan bahkan mencoba menguasainya. Belanda tercatat datang ke kepulauan Aru tahun 1623, kemudian Inggis pada tahun 1857.
Suku Aru tidak memiliki persediaan tetap, tidak ada aktivitas kehidupan seperti persediaan makanan layaknya : roti, nasi, mandiocca (tau kan mandioca ? Singkong ! bahasa spanyol itu), Â jagung, atau sagu, yang merupakan makanan sehari-hari penduduk. Namun, mereka juga memiliki banyak jenis sayuran, pisang raja, ubi jalar, dan sagu mentah; dan mereka mengunyah sejumlah besar tebu, serta pinang, gambir (menyirih), dan tembakau.
Selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari mereka duduk diam di rumah mereka, para wanita membawa dalam sayuran atau sagu yang membentuk makanan mereka. Hampir setiap hari rombongan pribumi datang dengan muatan pisang dan tebu untuk ditukar dengan tembakau, roti sagu, dan kemewahan lainnya.Â
Di ujung selatan Halmahera, Rombongan Wallace menepi mengisi perbekalan seperti : unggas, telur, sagu, pisang raja, kentang, labu kuning, cabai, ikan, dan daging rusa kering sebelum mereka berangkat ke pelabuhan dekat Papua Nugini.Â
Ketika membutuhkan air, terlihatlah ada lubang yang dalam di antara pohon-pohon sagu, warnanya hitam pekat bahkan menyerupai tanah liat, penuh air, yang segar, tetapi berbau, daun dan ampas sagu yang berjatuhan terlihatnya. Ada sekelompok rombongan, rupanya Mereka memiliki helikopter, dan bisa menebang pohon dan membuat sagu, dan kemungkinan besar akan menemukan air yang cukup dengan menggali.
Terlihat seorang budak dari Papua yang dipekerjakan, karena memang orang-orang yang tinggal di wilayah pohon sagu hampir miskin dan kesulitan mendapatkan sayuran, namun bisa bertahan dengan sagu dan tangkapan ikan. Itu sebabnya olahan sagu dinikmati dengan kuah ikan.Â
Mereka berada di bawah kekuasaan Sultan Tidore, dan setiap tahun harus membayar upeti seperti  burung kecil  Cendrawasih, kulit penyu, atau sagu. Menurut beberapa catatan kaki : Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya, kerajaan ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat