Literasi kuliner kali ini membahas komoditas makanan pokok yang tersebar di wilayah timur Indonesia yaitu Sagu (Metroxylon sagu). Sebelum membahas lebih banyak tentang sagu, mari bersama-sama menyamakan definisi tentang staple food atau makanan pokok.Â
Definisi Makanan Pokok (Staple Food)Â
Menurut FAO/Food and Agricultural Organization/Organisasi Pangan dan Pertanian di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa mendefinisikan dua definisi bahwa makanan pokok adalah :Â
Makanan yang dimakan secara teratur dalam jumlah sedemikian rupa, sehingga merupakan bagian yang dominan dari makanan dan memberikan manfaat besar untuk kebutuhan energi dan nilai gizi.Â
Makanan pokok tidak memenuhi total kebutuhan nilai gizi suatu populasi (dalam hal ini suatu kelompok individu), sehingga perlu banyak makanan lain.Â
Sagu memiliki daya tarik jika dibahas pada forum-forum besar dimana posisinya bisa mendukung program diversifikasi pangan, namun bagaimana dengan asal-usul sagu jika artefaknya minim ditemukan karena dokumentasi empiris tidak mudah ditemukan, dan kebanyakan adalah dongeng dari mulut ke mulut dimana itu tidak tercatat, sungguh disayangkan.Â
Mari berimajinasi menelusuri catatan seorang naturalis asal Inggris yang sudah menjelajah Nusantara selama delapan tahun,dialah Alfred Russel Wallace. Â
Sumber gambar : www.amazon.com
Temuan Empiris WallaceÂ
Dalam bukunya, Wallace menjelaskan tentang rumah di suatu pulau yang sedang ditempati dimana rumah itu satu lantai,dindingnya terbuat dari batu setinggi tiga kaki, bertiang persegi yang kuat menopang atap, dimana berandanya menggunakan daun dan batang pohon sagu yang tersusun rapi dalam rangka kayu, rumah ini dikelilingi hutan belantara yang ada pohon buah-buahan. Ini rumah-rumah orang Eropa.Â
Wallace dalam penjelajahan awalnya yaitu untuk membeli kargo rempah-rempah dari para Sultan dan Raja, dan bukan dari para penggarap. Â Karena sekarang penyerapan tenaga kerja yang begitu banyak dalam penggarapan produk yang satu ini untuk menaikkan harga makanan dan kebutuhan lainnya, namun setelah hal-hal seperti ini dihapuskan, komoditas padi justru lebih banyak ditanam dan lebih banyak sagu yang dibuat serta ikan pun banyak ditangkap, bahkan kulit kura-kura, rotan, getah damar dan produk laut lainnya yang berharga bisa diperoleh di tempat ini.Â
Wallace dan Beberapa Etnis Yang DitemuinyaÂ
Orang Sirani merupakan juru masak terbaik yang memiliki variasi hidangan yang gurih daripada orang melayu.Â
Menurut berbagai catatan kaki orang Sirani/Serani merupakan gugusan etnis di Malaysia yang bersumber dari Portugis dan menganut agama Katolik Roma, kebanyakannya berpusat di Melaka dan Pulau Pinang. Disini, mereka hidup terutama bergantung pada sagu untuk diolah menjadi roti,sesekali mencampurkan nasi, sayuranm dan buah-buahan pada hidangannya.Â
Perjalanan harian Wallace, membawanya pada tepian pantasi berpasir dan bertemu dengan orang Tomore/Tomori yang sekarang dkenal dengan penduduk Desa Bacan, Halmahera Selatan - Maluku Utara.Â
Kemudian melewati jalan pintas yang berisi rawa-rawa sagu ditemukan juga pada penyelidikan bahwa orang-orang di sini tidak melakukan pembukaan lahan, hidup sepenuhnya hampir dari L sagu, buah, ikan, dan binatang buruan; dan jalan itu hanya mengarah ke gunung berbatu yang curam. Wallace menjelaskan ini sama-sama tidak praktis dan tidak produktif.
Mereka mengunyah sirih atau merokok tanpa henti; makan keringsagu dan sedikit ikan asin. Mereka juga jarang bernyanyi saat mendayung, kecuali saat bersemangat dan ingin mencapai tempat perhentian, dan tidak banyak bicara.Â
Mereka kebanyakan orang Melayu campuran etnis Alfuros (Suku Alifuru datangnya dari Belanda dengan bahasa belandanya Alfuren), tinggalnya di Halmahera, dan Papua dengan menggunakan bahasa Gebe atau Waigeo berlokasi di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.
Wallace sampailah di Desa Teluti/ Telutih dimana merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah, berpenduduk padat, tetapi terjal dan sangat kotor.Pohon sagu di sini menutupi sisi gunung, bukannya tumbuh seperti biasa di rawa-rawa rendah tetapi tumbuh di rawa-rawa tertutup bebatuan lepas yang menutupi tanah, dan yang terus terisi penuh kelembaban oleh hujan.Â
Sagu ini merupakan sumber mata pencaharian penduduk, yang tampaknya hanya menanam beberapa petak kecil jagung manis dan kentang. Wallace mencatat : Orang-orang kaya pada saat itu pakaiannya bagus, lampu huniannya cantik, dan memiliki koleksi barang-barang Eropa yang mahal, namun setiap hari makan sagu dan ikan sama sih menyedihkannya dengan yang lainnya.
Komoditas seperti : Kelapa, ubi jalar, kue sagu dan sampah kacang tanah setelah minyaknya diekstraksi dengan cara direbus akan membentuk makanan utama ini bagi rakyat. Efek dari pola makan yang buruk dan tidak sehat ini terlihat dalam frekuensi erupsi dan penyakit kulit kudis, dan banyak luka yang merusak wajah anak-anak pada saat itu. Wallace juga melihat mereka melakukan sistem barter seperti : kain, kue sagu bersama penduduk pulau sekitar. Wallace pun menuju Papua Nugini.Â
Wallace menepi ke Pulau Seram, Pulau Seram terletak di sebelah utara Pulau Ambon, Provinsi Maluku. Penduduk desa daratan Seram membawa sagu mereka, yang dengan demikian didistribusikan ke pulau-pulau bagian timur, sedangkan beras dari Bali dan Makassar bisa dibeli dengan harga sedang.Â
Wallace berada di distrik sagu terbesar di Seram Timur, yang memasok sebagian besar pulau-pulau di sekitarnya dengan roti untuk kebutuhan pangan harian mereka.Â
Pohon sagu adalah pohon palem, lebih tebal dan lebih besar dari kelapa, meskipun tidak tinggi dan memiliki daun yang berduri menyirip namun besar, akar sampai batangnya menjalar seperti pohon nipah Nipah adalah sejenis palem yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut.Â
Wallace pun menuju Ambon dan menemukan pelepah sagu dilipat dan diikat berdampingan dengan pelepah ilalang,hasil batangnya adalah makanan pokokÂ
Bagaimana sagu dibuat ?Â
Wallace menjelaskan bahwa pohon sagu dewasa yang terpilih dan sudah berbunga, ditebang dekat tanah, daun dan tangkai daun sagu dibersihkan, kemudian kulitnya yang lebar diambil dari batangnya, kemudian keluarlah serat yang menyerupai bubuk kasar berwarna putih. Â Kemudian bagian sagu yang memiliki air yang berisi pati sagu dialirkan ke bak untuk diendapkan dengan cara diteteskan.
Adapun tetesan dengan semburat kemerahan, dibuat menjadi silinder dengan berat sekitar 30 pon (sekitar 13,6 kg) dan ditutup dengan rapi dengan daun sagu, dan dalam keadaan ini dijual sebagai sagu mentah.Â
Beda lagi dengan sagu yang direbus dengan air seperti ketan kental diberi rasa dan dimakan dengan campuran : garam, jeruk nipis, dan cabai. Ada juga, Roti sagu dibuat dalam jumlah besar, dengan memanggangnya menjadi kue dalam oven tanah liat kecil yang berisi enam atau delapancelah berdampingan, masing-masing lebarnya sekitar tiga perempat inci itu 1,9 cm ya, isi sekatnya enam atau delapan inci persegi.Â
Sagu mentah dipecah, dijemur, dihaluskan, dan diayak. Oven dipanaskan di atas api bara yang jernih, dan diisi sedikit dengan bubuk sagu. Prosenya selama lima menit kue sudah cukup matang. kue sagu yang panas dan hangat sangat enak dicicipi dengan mentega, dan ketika dibuat dengan tambahan sedikit gula dan taburan kelapa parut cukup lezat. Sagu mentah akan disimpan dengan sangat baik, dan dapat dipanggang sesuai keinginan.Â
Tenaga kerja untuk memproduksi sagu dan olahannya membutuhkan 2 laki-laki yang menyelesaikan sebatang pohon selama 5 hari, dan 2 wanita akan memanggang semuanya menjadi kue dalam waktu 5 hari kemudian.Â
Pohon sagu kebanyakan milik pribadi, jika ingin membelinya dihargai 6-7 pence Sterling, 1 pence sterling  = 192,06 dibulatkan menjadi Rp.192 atau IDR 192,06 .Mata uang inggris dulu ya itu.Â
Sumber gambar : The Malay ArchipelagoÂ
Sosio Ekonomi Penduduk dalam Pandangan Empiris WallaceÂ
Efek dari murahnya makanan ini jelas merugikan, karena penduduk negara yang memiliki sagu tidak pernah sekaya itu dimana padi juga ditanam. Â Banyak orang di sini tidak memiliki sayuran atau buah, tetapi hidup hampir seluruhnya dari sagu dan sedikit ikan.
Rumah-rumah penduduk sebagian besar dibangun dengan baik, dari rangka kayu yang diisi gaba-gaba (batang-batang daun sagu), dan lantainya terbuat dari tanah hitam kosong seperti jalan,lokasinya sangat lembab dan suram.
Wallace pergi ke hutan dan menemukan tambalan pohon sagu dan vegetasinya di hutan yang rendah. Sebagai informasi bahwa vegetasi adalah kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh bersama-sama pada suatu tempat membentuk suatu kesatuan dimana individu- individunya saling tergantung satu sama lain yang disebut sebagai komunitas tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan, 1978).
Kemudian ada yang bertanyaÂ
"Apakah bubuk putih itu ? Apakah itu gula pasir ? Namun mengapa kasar seperti gula aren ? Malah terlihat seperti tetetsan tebu"
Bagian yang menyerupai adonan dianggap biskuit menurut orang-orang Eropa.Â
Wallace melintasi hutan bakau dan rawa-rawa sagu, terlihatlah budidaya sagu di sebuah desa yang berada dibukit posisinya ada di pedalaman.Â
Sagu, Perjalanan, dan Perbekalan WallaceÂ
Wallace pun dalam perjalanannya hanya memiliki satu-satunya makanan yang didapat seperti : ikan dan kerang untuk keperluan sehari-hari, tambahan lain seperti tembakau, dan perbekalan lainnya seperti kue sagu, material lain seperti : pisau, tembaga kepingan milik bangsa eropa yang tertinggal.Â
Wallace bertemu orang aru (suku yang mendiami pulau aru, maluku tenggara). Kekayaan sumber daya alam di kepulauan Aru juga telah mengundang negara-negara lain untuk datang dan bahkan mencoba menguasainya. Belanda tercatat datang ke kepulauan Aru tahun 1623, kemudian Inggis pada tahun 1857.
Suku Aru tidak memiliki persediaan tetap, tidak ada aktivitas kehidupan seperti persediaan makanan layaknya : roti, nasi, mandiocca (tau kan mandioca ? Singkong ! bahasa spanyol itu), Â jagung, atau sagu, yang merupakan makanan sehari-hari penduduk. Namun, mereka juga memiliki banyak jenis sayuran, pisang raja, ubi jalar, dan sagu mentah; dan mereka mengunyah sejumlah besar tebu, serta pinang, gambir (menyirih), dan tembakau.
Selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari mereka duduk diam di rumah mereka, para wanita membawa dalam sayuran atau sagu yang membentuk makanan mereka. Hampir setiap hari rombongan pribumi datang dengan muatan pisang dan tebu untuk ditukar dengan tembakau, roti sagu, dan kemewahan lainnya.Â
Di ujung selatan Halmahera, Rombongan Wallace menepi mengisi perbekalan seperti : unggas, telur, sagu, pisang raja, kentang, labu kuning, cabai, ikan, dan daging rusa kering sebelum mereka berangkat ke pelabuhan dekat Papua Nugini.Â
Ketika membutuhkan air, terlihatlah ada lubang yang dalam di antara pohon-pohon sagu, warnanya hitam pekat bahkan menyerupai tanah liat, penuh air, yang segar, tetapi berbau, daun dan ampas sagu yang berjatuhan terlihatnya. Ada sekelompok rombongan, rupanya Mereka memiliki helikopter, dan bisa menebang pohon dan membuat sagu, dan kemungkinan besar akan menemukan air yang cukup dengan menggali.
Terlihat seorang budak dari Papua yang dipekerjakan, karena memang orang-orang yang tinggal di wilayah pohon sagu hampir miskin dan kesulitan mendapatkan sayuran, namun bisa bertahan dengan sagu dan tangkapan ikan. Itu sebabnya olahan sagu dinikmati dengan kuah ikan.Â
Mereka berada di bawah kekuasaan Sultan Tidore, dan setiap tahun harus membayar upeti seperti  burung kecil  Cendrawasih, kulit penyu, atau sagu. Menurut beberapa catatan kaki : Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya, kerajaan ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat
Mereka bertahan dengan membeli ikan kecil, memakan merpati dan kakak tua dan dimakan dengan nasi serta sagu, bahkan tidak makan sama sekali.Â
Seorang pedagang suku Bugis yang tinggal di sana, dan Senaji atau kepala suku, antan pembantu Rombongan Wallace  membekali sayuran, dan yang terakhir memanggang kue sagu segar, memberi beberapa unggas, sebotol minyak, dan beberapa labu. Kemudian Wallace pergi menuju Wilayah Kayoa. Kayoa adalah nama salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Halmahera Selatan, provinsi Maluku Utara dengan mencicipi kue sagu hangat.Â
Wallace pun sampai di Pulau Salawati, Salawati adalah salah satu dari empat pulau utama di Kepulauan Raja Ampat di Provinsi Papua Barat dan berada di bagian barat laut Papua Nugini, di mana ia sering mengunjungi pohon berbunga, terutama sagu dan pandan, terkadang menghirup aroma bunga.Â
Akhir Perjalanan WallaceÂ
Itulah Perjalanan Wallace dalam penemuan sagu di Timur Indonesia, kata sagu tidak murni dicetuskan namun hasil migrasi pendatang, bangsa eropa menyebutnya sagoo, dan nama latin pun Metroxylon sagu, sagu itu dibakukan pada bahasa indonesia untuk mendefinisikan gara-gara atau rumbia. dimana jika merujuk folklore sagu dengan ceritanya, sagu ditemukan oleh leluhur suku asmat. Tentunya perlu pendalaman etnoekologi dan etnobotani tentang sagu lebih lanjut.Â
Selengkapnya literasi sagu bisa disimak tayangan ulang pada instagram @hellomaknakata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H