Belum sempat Ia menjawab, aku sudah menghambur ke dalam kamar Raka. Nuel mengikutiku. Bagus, akan kutunjukkan kepada mereka berdua kalau lelucon konyol mereka itu benar benar tidak cerdas.
“Raka… Kamu keluar deh, ga usah bercanda lagi. Aku tahu kalau kalian berdua ngerjain aku!” aku menggedor pintu kamar mandi di kamar Raka. Tak ada jawaban. Aku membuka pintu kamar mandi, namun tak ada siapa siapa. Aku menatap Nuel.
“Sekarang gue serius. Lelucon apa yang sedang kalian mainin?!” tanyaku ketus.
Nuel balas menatapku masih dengan tatapan prihatin. Dia memegang kedua pundakku. “Ra, Raka sudah meninggal.”
Sudah meninggal? Apa maksudnya sudah meninggal? Aku muak. Kutepis tangan Nuel dari pundakku dengan sentakan kuat. Ingin rasanya aku usir dia saat ini juga.
Aku berlari keluar kamar, menghambur memasuki seluruh ruangan rumah sambil memanggil manggil Raka. Tak ada sahutan dari Raka. Kemana dia?
Aku kembali ke ruang Tengah, dibuntuti oleh Nuel yang kini juga berdiri terpaku menyaksikan siaran berita langsung.
Di layar televisi, ku lihat Raka dan beberapa orang sedang berlari lari menggendong seorang pria kemudian menaruhnya di ranjang rumah sakit. Beberapa perawat dan tim SAR menyusulnya.
Aku tercekat dan tertegun, tidak tahu harus berbuat apa. Susah sekali bagiku untuk mencerna apa yang telah terjadi. Mataku menuju ke arah Nuel yang menatapku dengan tatapan yang kuyakin sama bingungnya denganku.
Sebelum Dia sempat membuka suara, aku menoleh cepat dan menatap kembali ke layar kaca. Pembaca berita tampak membelakangi kamera, lalu berbalik. Rambutnya acak acakan dan mukanya penuh dengan debu vulkanik.
“Pemirsa, Imanuel Yusuf yang merupakan salah seorang Tim SAR yang membantu efakuasi warga akhirnya meninggal dunia karena luka bakar serius yang disebabkan oleh awan panas… “