“sebaiknya kita masuk sebelum dadaku sesak dan paru paru kita dipenuhi oleh debu debu ini” ujarku sambil melepaskan pelukannya secara perlahan.
Dia hanya tersenyum namun tetap mengikutiku, memegang pundakku dari belakang. Sentuhannya membuat tubuhku terasa hangat, padahal suhu pendingin di ruangan ini cukup dingin.
“Kamu mandi dulu deh biar bersih. Aku mau bikin kopi biar kita enak ngobrolnya”
Dia mengangguk, “Pokoknya aku ga mau ninggalin kamu sendirian.” bisiknya lagi.
Aku tertawa. Hatiku merasa tergelitik sekaligus senang. “aku juga. Ya sudah kamu mandi dulu sana. Aku ga mau ditemenin kamu kalau kamu masih kotor,” candaku.
Dia tertawa kecil memamerkan sederet gigi putihnya lalu berjalan memasuki kamar.
***
Aku sedang menata dua cangkir kopi di meja depan TV saat bel pintu berbunyi. Itu pasti Nuel, dia tidak akan tenang jika Raka tak bersamanya di lokasi. Apalagi kalau keadaannya sedang gawat seperti ini. Aku maklum.
Tebakanku tepat. Aku membukakan pintu dan Nuel menghambur masuk, terengah engah.
“Kara, kita harus ke Rumah Sakit sekarang,” tegasnya.
“Ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Temen loe sama Raka?”
“Pokoknya kita harus ke Rumah Sakit, sekarang!” tegasnya lagi, mengacuhkan pertanyaanku.