Mohon tunggu...
Reno Maratur Munthe
Reno Maratur Munthe Mohon Tunggu... Penulis - Reno

Munthe Strategic and International Studies (MSIS)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Supremasi Parlemen dalam Pengesampingan Putusan Mahkamah Konstitusi

7 Maret 2022   03:15 Diperbarui: 7 Maret 2022   06:07 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sidang Parlemen. Sumber: Gramedia.com

Pengesampingan putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan diskursus ketatanegaraan di masyarakat dan seolah menunjukkan perdebatan yang berkepanjangan. Perdebatan antara kelompok yang mengutamakan prinsip “supremasi parlemen” dengan mereka yang mengutamakan prinsip “supremasi konstitusi” sudah berlangsung cukup lama sebelum abad ke-19 seperti yang terjadi di negara lain seperti Perancis. 

Kedaulatan parlemen (supremasi parlemen atau supremasi legislatif) adalah sebuah konsep dalam hukum konstitusi dari beberapa parlemen negara-negara demokrasi. Hal ini menyatakan bahwa badan legislatif memiliki kedaulatan mutlak, dan adalah yang tertinggi atas semua lembaga pemerintah lainnya, termasuk eksekutif atau yudikatif. Hal ini juga menyatakan bahwa badan legislatif dapat mengubah atau mencabut semua undang-undang sebelumnya, dan karena itu tidak terikat oleh hukum tertulis (dalam beberapa kasus, bahkan konstitusi) atau preseden. 

Bagi pendukung “supremasi parlemen” berpandangan bahwa hakim merupakan pelaksana dari undang-undang yang telah ditetapkan oleh parlemen yang merupakan penjelmaan kehendak rakyat sehingga harus ditempatkan lebih tinggi dari hakim.

Dengan pendapat demikian, segala sesuatu yang dihasilkan sebagai penjelmaan kehendak rakyat tidak bisa dikoreksi oleh hakim yang dipandang hanya sebagai pelaksana undang-undang. Namun sebaliknya “supremasi konstitusi” berpandangan bahwa pengujian konstitusional bermaksud agar dapat mengendalikan “parlemen” dari kemungkinan menjadi “tiran.”

Oleh karenanya untuk mencegah kemungkinan menjadi tirani, pembentuk undang-undang sendiri telah jelas membuat undang-undang Mahkamah Konstitusi yang memperkuat norma dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian konstitusional yang putusannya bersifat final dan mengikat.

Selain itu putusan bersifat final dan mengikat ditegaskan kembali dalam Pasal 47 undang-undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

Terlepas dari perbedaan pandangan dalam penerapannya, untuk memperkuat sifat kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi pembentuk undang-undang juga telah membuat norma dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa salah satu materi muatan undang-undang merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.

Dari beberapa norma baik dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi maupun undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan, menunjukkan sikap pembentuk undang-undang yang mempertegas sifat final dan mengikat putusan mahkamah konstitusi.

Selain itu, tidak ada peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum) yang menyatakan secara tegas bahwa pembentuk undang-undang adalah pihak yang dapat dikecualikan untuk tidak terikat atas suatu putusan badan peradilan termasuk putusan Mahkamah Konstitusi.

Dengan adanya pengesampingan putusan Mahkamah Konstitusi, maka makna sifat final putusan Mahkamah Konstitusi hanya sebatas tidak ada upaya hukum lagi untuk mengajukan keberatan atas putusan tersebut hanya dalam satu badan peradilan saja.

Pihak yang tidak terima atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada pihak di luar badan peradilan yaitu pembentuk undang-undang agar pembentuk undang-undang membuat undang-undang yang materinya dapat mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi.

Mekanisme tersebut tentunya tidak lazim karena tidak ada diatur secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan namun dalam praktiknya dapat dilakukan terbukti dengan adanya pengesampingan atas putusan Mahkamah Konstitusi.

Selain itu dengan adanya pengesampingan putusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan makna mengikat yang menyertai sifat final putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku kepada pembentuk undang-undang padahal norma mengikat yang menyertai sifat final tersebut dibuat sendiri oleh pembentuk undang-undang.

Hal demikian dapat memberikan kesan dan contoh tidak baik kepada masyarakat karena masyarakat sebagai pemegang kedaulatan yang sebenarnya senantiasa harus terikat dan tunduk dengan setiap norma yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, sedangkan hal demikian sulit berlaku kepada pembentuk undang-undang.

Apabila kemudian pengesampingan putusan merupakan bentuk checks and balances antar lembaga pemegang kekuasaan maka sepatutnya pengesampingan tersebut dilengkapi dengan alasan yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai urgensi dilakukannya pegesampingan putusan.

Urgensi yang dimaksud setidaknya memberikan gambaran apabila putusan tidak dikesampingkan akan berdampak signifikan bagi kehidupan masyarakat.

Dengan alasan yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai urgensi dilakukannya pegesampingan putusan dapat meminimalisir kesan dan contoh tidak baik kepada masyarakat atas ketidakpatuhan pembentuk undang-undang terhadap putusan dari badan peradilan.

Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa undang-undang yang telah ditetapkan dan diundangkan, tentulah telah melalui proses yang sangat panjang sampai akhirnya disahkan menjadi milik publik yang bersifat terbuka, mengikat untuk umum.

Jika satu undang-undang yang telah dipersiapkan, dibahas dan diperdebatkan sedemikian rupa akhirnya ditetapkan dan diundangkan sebagaimana mestinya. Dengan proses pembentukan undang-undang yang panjang sepatutnya pembentuk undang-undang mempertimbangkan dilakukannya pengesampingan putusan Mahkamah Konstitusi.  

Pertimbangan dilakukannya pengesampingan, sepatutnya juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang yang disahkan tersebut. Namun pada praktiknya adakah alasan secara komprehensif yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dalam melakukan pengesampingan sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi.

Setidaknya alasan yang dapat mematahkan pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga pengesampingan tersebut dapat diterima dan bukan sebagai bentuk kesewenangan-wenangan dari pembentuk undang-undang saja.

Sebaliknya apabila tanpa ada alasan secara komprehensif yang dibuat oleh pembentuk undang-undang akan membuat pembentuk undang-undang dianggap sewenang-wenang atau bahkan mengarah menjadi tiran. 

Oleh karenanya tindakan pengesampingan putusan Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk inkonsisten pembentuk undang-undang terhadap norma yang dibuatnya sendiri. -RM. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun