Mohon tunggu...
Renny Syahrani
Renny Syahrani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Mercu Buana

Renny Syahrani | 33222010012 | D3-Akuntansi | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Mata Kuiah Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB | Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo m.Si.Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis_Diskursus Edwin Sutherland dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

15 Desember 2023   01:33 Diperbarui: 15 Desember 2023   09:50 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sutherland juga menekankan bahwa white collar crime seringkali tidak dianggap sebagai kejahatan oleh masyarakat dan sistem peradilan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pelaku kejahatan ini seringkali memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang besar, sehingga mereka dapat mempengaruhi proses hukum. Oleh karena itu, Sutherland menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap pelaku white collar crime.

Korupsi merupakan salah satu bentuk white collar crime, yang merujuk pada kejahatan yang umumnya dilakukan oleh individu atau kelompok yang tergolong dalam kalangan profesional, intelektual, atau pejabat dengan pengaruh kekuasaan. Kejahatan ini seringkali terkait dengan penyalahgunaan kepercayaan, manipulasi, atau pelanggaran hukum dalam lingkup bisnis, pemerintahan, atau profesi tertentu. Korupsi dapat mencakup tindakan seperti penyuapan, penggelapan pajak, dan penipuan. Kasus korupsi seringkali sulit dilacak karena pelakunya seringkali memiliki akses terhadap sumber daya dan informasi yang memungkinkan mereka untuk melakukan tindakan kejahatan tersebut tanpa sepengetahuan publik. Penegakan hukum terhadap pelaku white collar crime, termasuk korupsi, memerlukan perhatian khusus dan kerja sama lintas lembaga untuk memastikan akuntabilitas dan keadilan dalam menangani kejahatan semacam ini.

Dalam konteks hukum Indonesia, korupsi telah diatur dalam Undang-Undang No. 31 Thn. 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Selain itu, terdapat juga undang-undang lain yang mengatur tindak pidana korupsi, seperti UU No. 29 Thn. 2004 untuk profesi dokter, UU No. 48 Tahun 2009 untuk profesi Hakim, dan UU lainnya yang terkait dengan profesi tertentu. Penegakan hukum terhadap korupsi dan white collar crime lainnya memerlukan kerja sama antara lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan lembaga peradilan, serta dukungan dari masyarakat untuk melaporkan dan mencegah tindakan korupsi.

Dalam konteks global, korupsi juga telah menjadi perhatian masyarakat internasional, dan upaya pencegahan serta penegakan hukum terhadap korupsi menjadi agenda penting dalam berbagai forum internasional. Kasus-kasus korupsi, termasuk yang melibatkan pejabat publik, perusahaan, atau institusi keuangan, seringkali memiliki dampak yang kompleks dan merugikan bagi masyarakat dan perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap korupsi sebagai white collar crime memerlukan kerja sama lintas negara dan upaya bersama untuk mencegah, mendeteksi, dan menindak tindakan korupsi.

Dalam konteks sosial, korupsi juga dapat dianggap sebagai bentuk penyimpangan sosial, karena melibatkan pelanggaran terhadap norma dan nilai-nilai etika dalam berbagai profesi dan institusi. Upaya pencegahan korupsi juga memerlukan peran aktif dari berbagai pihak, termasuk lembaga pendidikan, media, dan masyarakat sipil, untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya dan dampak negatif dari korupsi serta memperkuat integritas dan transparansi dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi.

Dengan demikian, korupsi sebagai white collar crime merupakan tantangan serius dalam upaya menciptakan tatanan hukum dan sosial yang adil, transparan, dan berintegritas. Penegakan hukum, pencegahan, dan kesadaran masyarakat merupakan kunci dalam upaya mengatasi korupsi dan white collar crime lainnya.

Kejahatan korupsi di Indonesia menjadi perhatian utama karena dampaknya yang merugikan masyarakat dan perekonomian. Dalam kaitannya dengan "Principles of Criminology," teori-teori kriminologi seperti teori strain, teori kontrol sosial, dan teori labeling dapat digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mendorong munculnya kejahatan korupsi.

 

diolah dari canva/dok.pribadi
diolah dari canva/dok.pribadi

1.Teori Strain

Teori strain dalam buku "Principles of Criminology" karya Edwin Sutherland menyatakan bahwa tindakan kriminal dapat terjadi akibat ketegangan (strain) antara tujuan yang diinginkan seseorang dan cara-cara yang sah untuk mencapainya. Dalam konteks korupsi di Indonesia, teori ini dapat diaplikasikan dengan mempertimbangkan tekanan ekonomi, sosial, dan budaya yang mungkin mendorong seseorang untuk terlibat dalam perilaku korup. Misalnya, ketika seseorang menghadapi tekanan ekonomi yang besar dan merasa bahwa jalur-jalur legal tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, mereka mungkin cenderung terlibat dalam korupsi untuk mencapai tujuan mereka. Namun, penting untuk dicatat bahwa faktor-faktor lain juga turut berperan dalam kasus korupsi, dan hal ini hanya merupakan salah satu dari berbagai teori yang dapat menjelaskan fenomena kompleks tersebut.

2.Teori Kontrol Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun