Mohon tunggu...
Rena Widyawinata
Rena Widyawinata Mohon Tunggu... Editor - Health Tech SEO Editor | Novel Editor & Proofreader

Having special interests on health issues and willing to write a simple explanation about it. __________________________________________________________________________________________ Live what you love. But Love what you Live is the most important and hardest thing to learn and do. Visit my blog at: www.spicesofmind.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kenapa Vaksin Sudah Gencar, tapi Angka Covid-19 Makin Naik?

26 Juni 2021   16:20 Diperbarui: 28 Juni 2021   21:16 2878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mutasi virus Covid-19 varian delta India / instagram @mikhaelyosia

Beberapa hari ke belakang, angka Covid-19 di Indonesia kembali naik. Bahkan, pada Kamis lalu (24/6) sebanyak 20 ribu kasus baru tercatat. Sebuah rekor baru. Katanya, ini karena varian Delta, yang setipe dengan di India, sudah mulai tersebar di udara Indonesia.

Yang mungkin membingungkan bagi beberapa orang, vaksinasi massal sudah ada di mana-mana. Tapi, bukannya berkurang, kok, Covid-19 malah makin naik? 

Gelombang satu saja kemarin belum usai, gelombang dua, kok, sudah datang saja?

Alasan bisa tetap terinfeksi Covid-19 meski sudah vaksin

Beberapa orang mungkin tahu bahwa vaksin nggak menjamin kita akan aman dari Covid-19 100%.

Tapi, nggak sedikit juga yang menanggapi dengan,

Lho, kalau gitu ngapain vaksin?

Atau,

Kan udah vaksin, nggak pakai masker nggak apa-apa!

Sistem kekebalan tubuh baru terbentuk, setidaknya, 2 minggu setelah vaksin. Dan, kekebalan tubuh kita baru benar-benar mencapai klaim setiap vaksin, setelah mendapatkan 2 dosis lengkap. 

Itu pun nggak langsung pada hari kita mendapatkan dosis kedua. Tetap butuh waktu sampai akhirnya benar-benar terbentuk. Dan, ada buanyak faktor yang membuat vaksin mungkin saja nggak terbentuk sesuai klaim.

Itu sebabnya, sudah vaksin nggak lantas membuat kita bisa nggak menaati protokol kesehatan, jalan ke sana kemari tanpa masker di tengah keramaian.

Ibarat anak kecil yang bertemu orang baru, mereka butuh waktu sampai akhirnya tune-in dan main bareng. 

Sudah vaksin, tidak menjamin kebal 100% (Sumber: tirachardz/freepik.com)
Sudah vaksin, tidak menjamin kebal 100% (Sumber: tirachardz/freepik.com)

Terus, kalau udah full 2 dosis, udah berjarak beberapa minggu dari suntikan terakhir, pasti aman dong dari virus?

Jawabannya, tetap nggak. Di dunia ini, tidak ada yang pasti selain ketidakpastian itu sendiri :)

Setidaknya, ada 3 hal berpengaruh yang bikin kita bisa terinfeksi (virus apa pun), sekalipun sudah vaksin dosis lengkap.

1. Daya tahan tubuh

Meski vaksin bisa meningkatkan sistem imun, bukan berarti kekebalan tubuh kita akan stabil selamanya dalam kondisi yang sama.

Sistem imun tetap ada, tapi kondisinya bisa jadi berbeda-beda tergantung bagaimana kita menjaganya.

Kalau mau diibaratkan, daya tahan tubuh kita mungkin seperti dinding rumah. 

Cuaca panas, hujan deras, gerimis, angin kencang, hujan lagi, terik lagi, umur bangunan, lama-lama bisa memengaruhi kualitas tembok rumah.

Malah, ada juga yang baru dibangun tapi tetap ada rembesan ketika hujan.

Tapi, setidaknya kita sudah punya "tembok" yang nggak akan membuat penghuni di dalam rumah sampai basah kuyup saat hujan atau kepanasan dehidrasi saat terik. 

Begitu juga dengan daya tahan tubuh, kita sudah berusaha "membangun tembok" (dengan vaksin) agar terlindung dari "hujan" (virus), tapi ada kalanya juga bisa bocor/rembes.

Bisa karena kelelahan, cuaca yang enggak menentu, begadang, makan tidak teratur, kurang tidur, stres, dan hal lain yang mampu menurunkan imun tubuh.

Jadi, sekalipun sudah vaksin, kita tetap bisa terinfeksi terutama kalau ujian hidup terus datang tanpa ampun dan menurunkan daya tahan tubuh.

2. Jumlah virus

Jumlah virus yang kelewat banyak di sekitar juga bisa membuat kita tetap terinfeksi virus (apa pun, termasuk Covid-19) sekalipun sudah vaksin dan dosis lengkap.

Mari beranalogi lagi, kini, kita ibaratkan situasi pandemi Covid-19 sebagai musibah banjir.

Virus Covid-19 ini ceritanya adalah volume air.

Sementara, daya tahan tubuh kita adalah tanggul penahan air.

Sekuat apa pun tanggul yang kita bangun, jika hujan nggak kunjung berhenti selama 1 minggu, dan volume air terus bertambah, lama-kelamaan tentu tanggul penahan ini bisa bocor juga. Parahnya lagi, bisa saja hancur karena nggak kuat lagi menahan debit air yang terus datang tanpa kasih ampun.

Jadi, tanggulnya ada. Sudah kita bangun (lewat vaksin), tapi volume airnya memang nggak kira-kira.

Kalau nggak bangun tanggul? Bisa jadi, air langsung masuk ke dalam rumah tanpa peringatan siaga 1, siaga 2.

3. Jenis (mutasi) virus

Nah, poin ketiga ini mungkin jadi salah satu alasan kenapa ada aja orang yang sudah vaksin lengkap, tapi tetap terinfeksi Covid-19. Alasannya, karena jenis virus atau mutasi yang terjadi bikin virus ini jadi lebih kuat.

Ini juga yang mungkin membuat angka Covid-19 meningkat tajam. Namanya, varian Delta.

Kalau mau main pengandaian lagi, mungkin bisa diibaratkan kaya kita perang melawan penjajah.

Penjajah (virus Covid-19) sudah ada lama di negara kita. Nah, sebagai pejuang tentu kita sudah mulai bisa membaca strategi yang mereka pakai saat berperang. Karena sudah mulai bisa membaca strategi lawan, kita mulai bikin benteng pertahanan (sistem imun) sesuai dengan kebiasaan si lawan.

Mulai dari bangun benteng yang lebih tebal (vaksin), pasang kawat berduri (pakai masker), sampai meletakkan ranjau (social distancing).

Yah, karena yang namanya hidup nggak ada yang tahu dan penuh ketidakpastian, si penjajah ini tiba-tiba datang bawa alat invasi yang jauh lebih canggih (mutasi), jadi bisa masuk ke dalam wilayah kita tanpa terdeteksi.

Pertahanan kita mungkin saja tetap membantu mengulur waktu, tapi tetap bisa runtuh. Soalnya, pertahanan yang kita buat tidak didesain untuk menghadapi teknologi yang lebih canggih.

Ini juga yang mungkin terjadi di varian Delta yang disebut mudah banget menular. Virus Covid-19 varian Delta ini merupakan mutasi dari virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok (virus Covid-19 senior).

Mutasi virus Covid-19 varian delta India / instagram @mikhaelyosia
Mutasi virus Covid-19 varian delta India / instagram @mikhaelyosia
Dalam struktur virus Covid-19 senior, ada suatu komponen yang disebut spike protein. Spike protein ini yang membantu virus untuk masuk ke tubuh.

Nah, mutasi yang terjadi pada virus Covid-19 senior ini melahirkan varian baru bernama Delta, yang membuat spike protein jadi lebih canggih. Gimana canggihnya? Masuk ke dalam tubuh jadi lebih mudah.

Padahal, bisa jadi vaksin yang kita terima awalnya dikhususkan untuk si virus Covid-19 senior. Itu sebabnya, ketika si Delta yang dekat-dekat, kita tetap bisa terinfeksi.

(Hingga saat ini, berdasarkan penjelasan dr. Adam Prabata pada akun Instagramnya, vaksin AstraZeneca diketahui bisa mencegah varian Delta, sementara untuk Sinovac belum diketahui. Belum, ya. BELUM)

Yaudahlah, kalau nanti kena juga nggak parah palingan, itu banyak yang baik-baik aja!

Setiap orang punya imunitas yang berbeda-beda. Rumah yang sama-sama dibangun dari semen dengan merek sama saja, bisa punya daya tahan yang berbeda.

Sayangnya, mengutip kata-kata dr. Arthur Simon, Sp.KK dari penjelasan soal vaksin Covid-19 di Instagramnya, kita nggak bisa memilih mau "paket terinfeksi Covid-19" yang mana. Mau yang nggak bergejala, gejalanya ringan, sedang, atau berat.

Alhamdulillah, ya. Puji Tuhan, kerabatmu nggak ada yang bergejala berat sehingga kamu bisa lebih tenang dan menganggap bahwa Covid-19 itu nggak berbahaya sama sekali.

Tapi, nggak melihat yang bergejala berat, bukan berarti tidak ada.
Ini hanya masalah sudut pandang. Apa kita mau melihat sudut pandang lain?

Untuk kita yang nggak bersinggungan langsung setiap hari, mungkin memang nggak terlalu banyak melihat yang berat-berat. Tapi, orang-orang seperti tenaga kesehatan, sudah menyaksikan banyak orang terinfeksi dengan gejala berat. Bahkan, berakhir meninggal.

Nggak jarang, mereka harus memilih, mau siapa yang diselamatkan ketika ada 2 orang antre untuk masuk ke ICU, tapi hanya 1 yang bisa diterima. Kalau dengan segala pertimbangan medis, prioritas mereka bukan kerabatmu, gimana?

Terus, buat apa vaksin kalau nggak ada jaminan aman? Malah nambah risiko masukin bahan uji coba ke dalam tubuh...

Pandemi selalu berlomba dengan waktu. Bagaimana caranya agar virus tidak terus meluas dan bisa segera diredakan.

Vaksin yang kini beredar di masyarakat juga semua telah disetujui oleh WHO. Tentu sudah melalui berbagai uji coba.

Selain itu, meskipun vaksin nggak bisa menjamin 100%, risiko terinfeksi dengan gejala berat bahkan kematian terbukti menurun. 

Efek sampingnya bahaya tapi!

Vaksin Covid-19 mana pun memang memiliki efek samping, layaknya seluruh hal medis. Paracetamol yang bisa dikonsumsi hampir seluruh khalayak juga bisa mendatangkan efek samping berupa kematian bagi mereka yang alergi paracetamol (reaksi anafilaksis). 

Yaah, kalau mau melihat balik lagi ke analogi membangun tembok (vaksin) sebagai upaya membangun sistem imun:

Bocor, sih, tapi kita nggak kebasahan hujan.
Terinfeksi (flu, Covid-19), sih, tapi gejalanya (mudah-mudahan) nggak berat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun