Shan membuka pintu rumah. Dibelakangnya hujan lebat telah tercurah dari langit. Masih didengar oleh Shan suara Shibell bicara dengan ibunya di rumah sebelah. Lalu didengarnya suara pintu rumah Shibell tertutup setengah terbanting, mungkin ibu gadis itu marah, seperti biasa saat ibunya tau Shibell pergi bersama Shan.
 Shan menutup pintu, sedikit tersenyum, setidaknya dia tidak mendengarkan teriakan Shibell seperti yang biasa gadis itu lakukan saat berdebat dengan ibunya. Shibell memang sedikit pembangkang, tapi itu karena dia tidak setuju dengan cara orang tuanya memperlakukan orang-orang yang dianggap ... bukan bangsawan.
 Di ruang tengah, Shan melihat Richie, saudara angkatnya, dan ibunya. Seperti biasa mereka memang selalu duduk bersama disitu. Berbincang tentang apa saja, kadang hanya mengomentari acara tv yang mereka lihat, dan hal itulah yang selama ini ingin dilakukan Shan bersama mereka. Tapi sayangnya, tiap kali Shan datang suasananya pun langsung berubah. Mereka diam. Dan Shan tau, jika keadaannya memang bukan bagian dari kebersamaan mereka. Hanya saja kadang Shan memaksa, hanya ikut duduk bersama mereka tanpa bicara apapun. Jika mereka berdua kemudian melanjutkan pembicaraan lagi, itu sudah membuatnya senang.
 Tapi kali ini Shan berusaha tak peduli. Dia melangkah lurus masuk kedalam kamarnya. Bahkan dia tidak menoleh pada Richie yang saat itu menatapnya.
 Ini bukan karena Shan tidak lagi perduli pada mereka berdua, tapi ...
 Shan membuka pintu kamarnya. Sejenak matanya memandangi kamarnya. Memandangi setiap sudut kamar yang selama ini ditempatinya. Masih diingatnya Shan kecil yang merasa sangat asing tidur diatas ranjang sebesar dan seempuk itu. Sangat berbeda dengan ranjang-ranjang panti yang bahkan berderak setiap kali tubuh kecilnya bergeser. Lalu jendela itu, tempat yang sangat bersejarah untuknya. Tempat dimana dia menangis setiap kali melihat mobil orang tua angkatnya pergi berlibur dan meninggalkannya sendiri, dan juga tempat dimana dia sering menghabiskan waktu untuk mengobrol semalaman bersama Shibell, sahabatnya.
 Shan menghela nafas. Lalu mulai mengemasi koper besarnya. Dia harus meninggalkan semua ini sekarang. Mungkin di jepang keluarga kandungnya bersikap jauh lebih baik. Atau mungkin jauh lebih menyakitkan?
 Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Richie berdiri ragu di pintu kamar Shan.
 "Cuma mau ngeliatin gua aja? Atau mau bantuin angkat koper?" Shan menyindir sambil tertawa kecil.
 Richie berdehem, terlihat sedikit gugup tapi akhirnya dia melangkah masuk. "Gua ... Gua cuma mau ngingetin aja, walaupun nanti lo lebih bahagia disana, tapi ... Kalo, maksud gua, kalo lo jenuh atau pengen liburan, lo bisa kesini. Ehm- maksud gua ..." Richie menggaruk kepalanya dengan gugup.
 Shan menoleh menatap Richie. Terdiam. Lalu ...
 "Ya. Tentu gua bakal pulang." ucapnya.
 Dan tiba-tiba saja Richie memeluknya. "Ini mungkin telat, tapi ... gua beruntung punya kakak kaya lo." bisiknya dengan suara bergetar. "Lo mungkin tau, gua cuma iri karena perhatian Papa ke lo, karena itu lo nggak pernah bales sikap gua dan Mama.  Setelah ini, gua bakal terus terang ke Papa semua yang gua bilang itu bohong, bahwa lo nolak ikut liburan bareng, lo nggak suka ikut main sepeda sama kami, lo nggak suka pergi setiap acara keluarga. Gua tau Papa pasti marah, tapi gua nggak akan minta Mama buat belain kaya biasanya ..." Richie berterus terang, dengan mata mulai berkaca-kaca.
 Untuk pertama kali, Shan merasa kalau dia punya seorang adik.
 "Dan gua ... nggak akan bilang ke siapapun tentang siapa lo sebenernya. Termasuk ke Mama. Ini bakal jadi rahasia kita sampe kapanpun." Richie menatap Shan dengan sungguh-sungguh.
 Shan menepuk bahu Richie, lalu tersenyum. "Makasih ya, gua tau lo bisa jaga rahasia gua."
 "Gua bantu angkat kopernya ya," Richie mengalihkan pandangannya ke koper dan beberapa barang Shan yang telah terkemas rapi.
 Shan terdiam, sekali lagi disapunya seluruh ruangan dengan pandangan mata tajamnya.
 ... tapi karena Shan benci rasanya perpisahan.
 -------
   "Sudah siap?" Papa melongok dari dalam kaca mobil, menunggu reaksi Shan.
 Shan menoleh sekali lagi kearah rumah Shibell. Sepi. Tak ada seorangpun yang terlihat didepan rumah, bahkan jendela kamar Shibell pun tertutup rapat.
 Shan tersenyum tipis, ah .. gadis keras kepala itu. Apa dia tau perpisahan seperti ini akan membawa rasa seperti apa saat mengenangnya nanti?
 "Shan? Ayo, nanti kita terlambat ke Bandara." tegur papa.
 Shan mengangguk, lalu diapun melangkah masuk kedalam mobil, dimana sudah menunggu Richie dan ibunya.
 Mobilpun meluncur pergi. Ditengah hujan gerimis yang menambah rasa melankolis semakin terasa.
 Shan menoleh, menatap rumahnya yang terlihat semakin mengecil dan samar. Berusaha memandang fokus pada jendela kamar itu, dimana terukir begitu banyak kenangan disana. Lalu kamarnya tak terlihat lagi. Tertutupi oleh pepohonan tepi jalan dan tetes-tetes air.
 Jalanan sedikit sepi. Mungkin karena suasana basah yang membuat orang malas berada dijalanan. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas. Hening.
 Tiba-tiba saja Shan merasakan genggaman tangan, dia menoleh dan sedikit terkejut. Ibunya menggenggam tangannya erat. Dan kini wanita yang selama ini hampir tak pernah bicara padanya itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
 "Mama ... tau Mama sering membuat kamu merasa sakit hati karena perlakuan yang nggak adil antara kamu dan Richie, tapi beberapa hari terakhir setelah tau kamu mau pergi ... Mama merasa nggak rela." Dia mengusap air mata yang menitik dipipinya. "Mama ... Mama menahan diri buat menunjukkan rasa sayang ke kamu karena Mama nggak ingin menyakiti Richie. Mama tau Richie sudah iri karena Papa nya, jadi Mama nggak ingin dia tambah terluka saat melihat Mama sayang kamu juga. Mama tau ini salah, tapi ..." wanita itu mulai terisak. "Mama juga merasa bersalah tiap kali melihat kamu menangis dijendela itu. Mama nggak sepenuhnya menikmati liburan karena mikirin kamu, Mama merasa jadi orang paling jahat didunia. Mungkin ini nggak layak, tapi Mama minta maaf," akhirnya dia memeluk Shan dengan tangis yang sudah pecah.
 Shan terdiam. Tidak tau harus mengatakan apa. Bukan, bukan karena ucapan ibunya, tapi ... Karena pelukan ini. Pelukan yang selalu ingin didapatkan Shan tak peduli sejahat apapun sikap ibunya.
 "Mama? Jadi ..?" Papa menoleh kebelakang, dimana Shan dan istrinya duduk. Pandangannya terlihat kaget dan benar-benar tak menyangka semua yang diucapkan istrinya. "Jadi selama ini sikap kalian pada Shan seperti itu?"
 Dia merasa sangat marah. Hingga tidak menyadari bahwa dia sedang menyetir dan harua fokus kedepan.
 Sementara didepan sana, seorang gadis berambut panjang, berbadan mungil, dan mengenakan topi rajut putih berdiri melambaikan tangannya ditengah jalur yang mereka lewati. Berharap agar mereka menghentikan mobilnya karena dia ingin bicara pada Shan.
 Dia Shibell.
 Tapi sayangnya papa sedang terkejut, hingga tak menyadari posisinya dimobil. Lalu saat Shan dan Richie memberitahunya secara bersamaan, semuanya sudah terlambat.
 "Papa, awasss ...!!!"
 Suara decitan rem mobil, lalu suara benturan. Keras.
 Ayahnya berusaha menghindari tubuh Shibell dengan cara membanting setir mobil kekanan, tapi tubuh Shibell sudah terpelanting jauh kebelakang. Lalu mobil merekapun, tersambar sebuah truk besar yang melintas dari arah berlawanan.
 Suara benturan keras memecahkan kesunyian malam. Membuat merinding siapapun yang mendengarnya. Ditambah dengan suara jeritan para penumpang bus yang akhirnya ikut terseret dalam kecelakaan beruntun itu.
 Yang tersisa hanya rintihan, dan mayat-mayat bergelimpangan di atas aspal basah itu.
 Shan merangkak keluar dari mobil. Dengan darah mengucur deras dikepalanya. Dikelilingi oleh mayat keluarganya. Juga mayat Shibell ditepi sana.
 Shan memejamkan matanya. Tangannya terkepal diaspal basah, lalu  ... Dengan sisa tenaganya. Dia mulai berkonsentrasi. Diiringi dengan rasa panas dan sakit yang menyayat punggungnya ...
Â
"Papa, awaasss ...!!!" Shan dan Richie berteriak bersamaan.
 Lalu, semuanya seperti slow motion. Tanpa suara, hening, air-air yang menetes dari langit seperti tertahan. Dedaunan yang tadinya bergerak liar tertiup angin kini berhenti. Diam.
 Shan menghalangi pandangan ayahnya dengan menggeser gantungan boneka kecil didepan kaca mobil. Tepat dititik dimana tubuh Shibell terlihat.
 Lalu Shan keluar dari mobil. Setengah berlari dia menggapai tubuh Shibell. Memeluknya, lalu mendorong gadis itu ketepi jalan.
 "Kamu bertanya, jika kamu dan keluargaku ada dalam bahaya, siapa yang akan aku pilih? Aku memilih untuk mengganti takdir kalian denganku ..."
 Shan tersenyum.
 Lalu tetes-tetes air kembali turun dengan normal, suara-suara kendaraan dan yang lain kembali terdengar.
 Suara ban mobil berdecit, lalu suara benda tertabrak. Bukan benda, itu Shan.
 Tubuhnya terlempar jauh kebelakang, beberapa detik berada di udara, dan akhirnya terhempas keras diatas aspal yang basah.
 Remang. Telinganya berdengung hebat. Rasa sakit menghunjam tubuhnya. Dibagian dadanya terasa terbakar. Seluruh tulangnya berderak patah.
 Dia masih mendengar suara keluarganya. Mereka berteriak memanggil nama Shan. Lalu di rasakannya pelukan Richie. Anak itu mendekapnya.
 "Kak, tetap disini !" dia berbisik.
 Suara-suara semakin ramai, mereka berdatangan. Dilihatnya juga Shibell. Dia tergeletak pingsan. Tapi Shan tau gadis itu baik-baik saja.
 "Kak, jangan tertidur." Richie mengguncang tubuhnya tiap kali mata Shan mulai terpejam.
 Ayahnya sibuk memanggil ambulan. Ibunya menangis meraung-raung disisi Shan. Orang-orang membantu sebisa mereka.
 Tapi tiap kali ada yang berusaha mengangkat tubuh Shan, Richie menghalanginya.
 "Kak, sebentar lagi ambulannya datang. Jangan tidur, jangan tidur!" kini Richie setengah berteriak.
 Tapi mata Shan semakin berat. Nafasnya semakin sesak. Ditambah rasa panas yang semakin membakar dadanya. Darah mengalir deras dari kepala dan beberapa bagian tubuh lainnya.
 Lalu suara ambulan datang. Petugas segera turun dan mempersiaokan alat untuk membawa tubuh Shan.
 Tapi Richie memeluk Shan erat-erat.
 "Jangan liat! Jangan liat, kalian !! Jangan liat kakakku !!" dia histeris.
 Beberapa orang memegangi tangannya. Tapi dia berontak. Semua tak mengerti kenapa dia begitu histeris tak membiarkan seorangpun menyentuh Shan selain dia. Termasuk ayah dan ibunya.
 Richie memaksa masuk kedalam ambulan, dan akhirnya mereka pergi. Diiringi suara sirene ambulan yang memekakkan telinga memecah kesunyian jalan.
 -------
   Di lorong Rumah Sakit, mereka berlari mengiringi Shan yang terbaring sementara suster mendorongnya menuju ke ruang UGD.
 Richie begitu sibuk, saat Shan mulai menggeliat. Shan merasa kulit punggungnya mulai terkelupas, dan akhirnya sobek. Lalu terasa semakin panas luar biasa, seiring dengan sesuatu yang mulai menggeliat keluar.
 Richie membuka jaketnya dan mendekap punggung Shan dengan jaket erat-erat.
 "Kakak, aku sudah berjanji padamu, ini cuma rahasia kita berdua. Aku sudah berjanji." dia berbisik ditelinga Shan.
 Sampai didepan ruang ICU, suster sedikit mendorong tubuh Richie agar berhenti disitu, tapi Richie berteriak.
 "Jangan liat kakakku! Jangan liat !!!"
 ------
    Aku memberitahumu tentang kekuatan seseorang yang bisa memutar waktu, Dejaver.
 Shan salah satunya.
 Dia memutar waktunya tapi hanya dalam waktu beberapa detik saja. Beberapa detik yang penting saat terjadi kecelakaan. Ya, kemampuan dejaver memang cuma sebatas itu, tidak lebih. Dan kalau saja dia bisa memutar waktu lebih lama lagi, mungkin dia bukan seorang Dejaver, tapi lebih tinggi daripada itu.
 Indigo tersebar hampir disetiap sudut kota, dejaver tersebar dihampir setiap negara, tapi yang lebih dari itu ... mungkin hampir tidak ada. Tapi dia ada.
 ------
    "Richie- hentikan! Biarkan mereka menyelamatkan nyawa Shan!" ibunya berteriak panik pada Richie.
 Ayahnya pun memegangi tangan Richie yang tetap mendekap tubuh Shan. Berusaha melepaskan tangan Richie. Tapi Richie tak peduli.
 Semua orang disana yakin, kalaupun Shan bisa diselamatkan, dia mungkin akan cacat atau bisa lebih parah daripada itu. Dia tertabrak terlalu keras dan menghempas keras diaspal licin. Menyeret tubuhnya beberapa meter dan meninggalkan luka menganga diwajah dan sekujur tubuhnya.
 Dan sekarang, mungkin Shan sudah koma.
 Plakk ! Tamparan keras mendarat di pipi Richie.
 Richie tertegun, ayahnya menampar wajahnya dengan sangat keras. Baru kali ini ayahnya melakukan ini.
 Mata ayahnya menatap tajam padanya. "Belum cukup kamu memperlakukan kakakmu sejahat itu?" ayahnya menggeram penuh kemarahan.
 Richie mengusap air matanya. "Papa salah ..." jawabnya dengan suara yang bergetar.
 "Lalu apa? Ingin kakakmu tak tertolong?!" bentak ayahnya.
 "Aku ingin melindunginya! Aku tau kak Shan punya kemampuan melihat hal yang akan terjadi, melihat masa lalu, dan lebih dari itu, dia bisa menyembuhkan dirinya sendiri dengan cara yang tak seorangpun boleh melihatnya, karena jika ada yang melihatnya semua akan sia-sia!! Aku nggak mau dia mati, Pa! Bahkan aku belum bilang kalau liburan kali ini dia boleh ikut!!" teriak Richie.
 Shan menggeliat lagi. Lalu matanya terbuka. Tersadar. Rasa terbakar menyerangnya lagi. Seluruh tubuhnya bergetar, lalu ... tangannya mulai terangkat.
 Mengayun diudara, membentuk sebuah gerakan.
 Dan akhirnya terkulai lemah. Mati.
 "Shan!!!"
 #go to the next part.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H