Mohon tunggu...
Reni Soengkunie
Reni Soengkunie Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang baca buku. Tukang nonton film. Tukang review

Instagram/Twitter @Renisoengkunie Email: reni.soengkunie@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sulitnya Lepas Dari Hubungan KDRT: Dianiaya Belasan Tahun Tapi Tetap Memilih Bertahan

5 Januari 2024   11:37 Diperbarui: 7 Januari 2024   13:02 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KDRT | pict by pixels

Saya kira cerita KDRT yang begitu memilukan hanya ada di film-film. Hingga akhirnya saya ditemukan dengan seorang perempuan di sebuah rumah sakit ketika menunggu suaminya yang tengah sakit tumor ganas. 

Panggil saja dia Mbak A. Seorang istri sekaligus ibu dari dua anak perempuan. Usianya sekitar 40-an tahun. Sehari-hari Mbak A bekerja sebagai tukang sayur keliling untuk menghidupi keluarganya.

Saya kira cerita ini hanya akan berputar pada sakit sang suami, namun saya salah. Sakitnya sang suami ini hanya sebagai bumbu pelengkap dari cerita Mbak A. 

Kepada saya Mbak A bercerita banyak hal. Dia merupakan anak yatim piayu, kedua orangtuanya meninggal saat dia masih remaja. Kemudian dia pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan seraya membantu adiknya yang masih sekolah.

Kehidupannya baik-baik saja, hingga takdir mempertemukannya dengan suaminya itu. 

Singkat cerita mereka menikah dan Mbak A tinggal di rumah suaminya. Di sanalah cerita ini dimulai. Setiap hari Mbak A harus melayani suami dan keluarga suaminya. Dia harus memasak dan hanya boleh makan ketika keluarga suaminya sudah selesai makan. Cerita ini persis di film India, kan ya?

Tapi itulah kenyataan yang harus dia terima setiap harinya. Belum lagi dia harus bekerja setiap hari untuk memenuhi keperluan rumah tangga. 

Suami Mbak A bekerja serabutan, setiap hari dia selalu minta jatah rokok dan uang pada istrinya. Jika tak diberi uang, tentu saja Mbak A kena pukul, tendang, dan dihajar habis-habisan. 

Giginya patah, matanya lebam, dan seluruh badannya lebam-lebam. Hal yang paling parah yang pernah diterima oleh Mbak A, dia pernah dilempari linggis dan pernah juga 'dislomot' menggunakan solder panas hingga tangannya melepuh oleh suaminya tersebut.

Apakah keluarga suaminya ada yang membela? Tentu tidak. Mereka semua pura-pura buta melihat itu semua. Apakah keluarga Mbak A membela? Tentu. Saudaranya tentu merasa sedih ketika mendengar itu. Sayangnya mereka tak bisa berbuat apa-apa. 

Hal ini karena pada akhirnya Mbak A selalu saja kembali dan kembali lagi pada suaminya. Saudara-saudaranya sudah beberapa kali mencoba meyakinkan Mbak A untuk pergi. Mereka mau dan bersedia menanggung biaya Mbak A dan dua anaknya. 

Selain itu mereka juga mau memberi modal usaha untuk Mbak A. Toh, selama ini Mbak A juga bekerja sendiri meski memiliki suami. Saudara-saudaranya juga silih berganti memberi uang pada Mbak A agar saudaranya itu tak dipukul suaminya.

Namun sayangnya semua itu tak pernah digubris secara serius oleh Mbak A. Dia selalu berpikir bahwa suaminya itu bakalan berubah. 

Cerita terus berputar seperti itu dan itu lagi. Mbak A bekerja, uang diminta suami, jika tak punya uang Mbak A harus utang ke sana kemari, kalau uangnya tak ada maka Mbak A akan dihajar lagi. Begitu terus sampai saudara-saudara Mbak A muak ketika Mbak A mengeluh mukanya yang lebam karena habis dihajar suaminya.

Mereka begitu sayang dengan Mbak A. Saudara mana yang tega melihat saudaranya dianiaya sedemikian rupa tanpa belas kasihan. Mau lapor polisi juga percuma, jika korbannya saja, Mbak A selalu memaafkan pelaku. 

Hal ini terus berulang, hingga perhiasaan Mbak A habis terjual, tanah dan rumah warisan orangtuanya juga ludes terjual. Mengenaskannya lagi, semua uang-uang itu hanya digunakan suaminya untuk berjudi dan bermain perempuan.

Mendengar semua itu bulu kuduk saya sampai merinding. Kok ada ya orang yang sebegitu percayanya bahwa pasangannya bakalan berubah setelah melakukan KDRT berulang kali hingga belasan tahun lamanya. 

Saya tak membayangkan hari-hari yang sudah dilewati oleh Mbak A ini. Mungkin benar kata Mbak A, untuk saat ini mau menangis pun air matanya sudah nggak bisa keluar lagi karena dulu saking seringnya menangis setiap waktu.

Hari-hari yang penuh kesakitan, ketakutan, kekhawatiran, kesulitan, dan ketidakberdayaan sudah dilewati oleh Mbak A. 

Saya tak mengapresiasi semua itu sebagai sesuatu yang hebat. Karena saya jenis manusia yang tidak bisa menerima kekerasan dalam rumah tangga itu bakalan berakhir dengan baik-baik saja. 

Mungkin bagi Mbak A dengan dia sabar dan berserah diri semuanya akan berakhir dengan indah, tapi dia lupa satu hal. Ada dua anak kecil yang tumbuh dengan setiap hari melihat pemandangan ibunya yang dipukuli dan dihajar oleh bapaknya sendiri. 

Seorang lelaki yang harusnya jadi pelindung dalam keluarga itu justru menjadi salah satu penyebab ketakutan terbesar dalam hidup keluarga itu. 

Kata Mbak A kedua anaknya bahkan benci sekali dengan bapaknya itu. Saya tak tahu luka seperti apa yang dirasakan anak-anak yang tumbuh dengan melihat ketidakberdayaan perempuan yang teraniaya tanpa perlawanan.

Selama Mbak A bercerita saya hanya mendengarkan saja tanpa mengomentari apa pun. Walaupun di dalam hati dan pikiran sudah begitu berkecambuk ingin ikut berkomentar. Tapi saya mencoba untuk menahannya sedemikian rupa. Saya yakin sudah begitu banyak nasihat yang dia terima selama belasan tahun ini. Sehingga saya merasa tak perlu menambahkan nasihat apa pun. Dia mungkin yang lebih tahu alasan sesungguhnya kenapa tetap memilih bertahan. Saya tak memakai sepatu yang sama, sehingga tak etis kalau saya menghakimi hidup yang dijalani orang lain. Tapi kalau boleh jujur, saya ikutan sakit mendengar cerita ini.

Semoga perempuan di luar sana yang masih terjebak dalam hubungan KDRT, bisa diberi kekuatan untuk pergi. Karena bagi saya, hebat itu bukan mempertahankan sesuatu yang sudah rusak tapi mau berusaha keluar dan lepas dari hal yang salah meski itu berat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun