Mohon tunggu...
Rengga Yudha Santoso
Rengga Yudha Santoso Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and Writer from STKIP PGRI NGANJUK

Yang biasa bilang Salam LITERASI seharusnya perlu introspeksi sejauh mana berliterasi, apa jangan-jangan hanya sekedar ucapan tanpa aktualisasi agar mendapat apreasiasi? - Rengga Yudha Santoso (a.k.a halalkiri)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menguji Eksistensi Civic Values dan Civil Society: Bagian #4

8 Juli 2024   06:45 Diperbarui: 8 Juli 2024   06:45 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Masyarakat Indonesia Menikmati Berita. Sumber gambar: Bing image creator

Asas Akuntabilitas: Membangun Kepercayaan Publik pada Institusi Penegak Hukum

DISCLAIMER:

  • Tulisan ini di dedikasikan sebagai respon dan bentuk kepedulian dan empati penulis sebagai akademikus untuk memberikan sedikit sumbangsih pemikiran dalam kasus kematian Afif Maulana (siswa SMP usia 13 tahun - Jasad Afif ditemukan di bawah Jembatan Kuranji oleh seorang pegawai cafe pada Ahad siang, 9 Juni 2024. Temuan mayat bocah tersebut kemudian dilaporkan ke Polsek Kuranji - Padang Sumatera Barat) yang meninggal dunia "diduga" dianiaya "oknum" Polisi.
  • Karya penulis akan disajikan dalam berbentuk Tetralogi. Tetralogi merupakan serangkaian 4 (empat) karya seni yang saling berhubungan, namun akan saling terkait dalam bentuk essai. Selamat membaca.

Pada kesempatan ini, penulis membagian tulisan terakhir atau tulisan keempatnya dari ketiga tulisan sebelumnya dalam bentuk tetralogi. Pada tulisan pertama penulis menguraikan menggunakan pendekatan "filsafat kesadaran hegel",  kedua, penulis menguraikan menggunakan pendekatan "rechtsvinding - rechtvorming hukum hakim", ketiga, penulis menguraikan menggunakan pendekatan "nilai-nilai Pancasila", dan terakhir keempat, penulis menggunakan pendekatan "akuntabilitas institusi penegak hukum". 

Kemudian rangkaian tulisan ini "tidak mencari siapa yang salah", namun alangkah bijaknya jika tulisan ini bisa memberi sedikit sumbangan pemikiran untuk introspeksi bersama (bermuhasabah), karena pada prinsipnya bangsa Indonesia dinyatakan sebagai bangsa karena adanya upaya persatuan dan menanggung rasa yang sama (empati).

Kasus kematian Afif Maulana yang terjadi baru-baru ini telah mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum di Indonesia. Kejadian ini bukan hanya sekadar tragedi, tetapi juga menjadi cerminan perlunya akuntabilitas yang lebih kuat dalam institusi penegak hukum. Artikel ini akan membahas pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam penegakan hukum serta bagaimana masyarakat bisa berperan aktif dalam menuntut keadilan dan reformasi institusional.

Kasus ini menjadi momentum kritis bagi Indonesia untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem penegakan hukumnya. Transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme harus menjadi prioritas utama dalam setiap lembaga penegak hukum.

Bagaimana kita sebagai masyarakat dapat berkontribusi dalam mendorong perubahan ini? Apa langkah-langkah konkret yang bisa diambil untuk memastikan tragedi serupa tidak terulang? Mari kita telusuri lebih dalam.

Pentingnya Akuntabilitas dalam Institusi Penegak Hukum

Ilustrasi Penegak Hukum. Sumber gambar: Bing image creator
Ilustrasi Penegak Hukum. Sumber gambar: Bing image creator

Akuntabilitas adalah prinsip dasar yang harus dimiliki oleh setiap institusi, terutama institusi penegak hukum. Dengan adanya akuntabilitas, setiap tindakan yang diambil oleh penegak hukum dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap keputusan dan tindakan yang diambil sesuai dengan hukum dan etika yang berlaku.

Bayangkan sebuah negara di mana institusi penegak hukum bertindak sewenang-wenang tanpa adanya konsekuensi. Masyarakat hidup dalam ketakutan, korupsi merajalela, dan keadilan hanya menjadi slogan kosong. Inilah yang terjadi ketika akuntabilitas absen dari sistem peradilan.

Akuntabilitas bukan hanya sekadar kata kunci dalam administrasi publik. Ia adalah prinsip fundamental yang menjamin bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan dan keadilan dapat ditegakkan. 

Menurut teori administrasi publik yang dikemukakan oleh Denhardt & Denhardt (2015), akuntabilitas merupakan mekanisme yang memungkinkan masyarakat untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja institusi pemerintah, termasuk penegak hukum.

Dasar hukum akuntabilitas di Indonesia sendiri tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme secara eksplisit menyebutkan akuntabilitas sebagai salah satu asas penyelenggaraan negara. Selain itu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga menegaskan pentingnya akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan yang baik.

Penelitian sebelumnya oleh Transparency International (2021) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat akuntabilitas yang tinggi dalam sistem peradilan cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah dan kepercayaan publik yang lebih tinggi terhadap institusi penegak hukum. Studi lain oleh World Justice Project (2022) mengungkapkan bahwa akuntabilitas berkorelasi positif dengan efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.

Namun, implementasi akuntabilitas bukanlah tanpa tantangan. Institusi penegak hukum seringkali menghadapi dilema antara menjaga kerahasiaan operasional dan memenuhi tuntutan transparansi publik.

Membangun Kepercayaan Publik: Kunci Sukses Penegakan Hukum di Era Transparansi 

Kepercayaan publik adalah pondasi kokoh yang menopang efektivitas institusi penegak hukum. Tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, upaya penegakan hukum akan menghadapi hambatan signifikan. Akuntabilitas menjadi instrumen vital dalam membangun dan memelihara kepercayaan ini, memastikan bahwa setiap langkah dan keputusan aparat hukum dapat diaudit serta dievaluasi oleh pihak independen.

Dalam era informasi yang semakin terbuka, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum menjadi semakin krusial. Masyarakat yang semakin kritis dan melek informasi menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi dari para penegak hukum. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga menjadi tren global yang tak terelakkan.

Studi yang dilakukan oleh Tyler (2005) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik berkorelasi positif dengan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Semakin tinggi kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, semakin tinggi pula kecenderungan masyarakat untuk mematuhi hukum dan bekerjasama dengan aparat.

Adapun teori legitimasi yang dikemukakan oleh Max Weber menjadi landasan penting dalam memahami pentingnya kepercayaan publik. Weber berpendapat bahwa kekuasaan yang legitimate adalah kekuasaan yang diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sah dan benar. Dalam konteks penegakan hukum, legitimasi ini tercermin dari kepercayaan publik terhadap institusi dan aparatur penegak hukum.

Dari sisi hukum, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjadi payung hukum yang mewajibkan institusi publik, termasuk lembaga penegak hukum, untuk bersikap transparan dan akuntabel. Undang-undang ini menjadi landasan bagi masyarakat untuk mengakses informasi dan mengawasi kinerja institusi penegak hukum.

 Penelitian yang dilakukan oleh Sunshine dan Tyler (2003) di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa kepercayaan publik terhadap kepolisian memiliki dampak signifikan terhadap kesediaan masyarakat untuk bekerjasama dalam upaya pencegahan dan penanganan kejahatan. Di Indonesia, studi yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum masih berada di bawah 50%, yang mengindikasikan perlunya upaya serius untuk meningkatkan kepercayaan publik.

Implikasi dari temuan-temuan ini jelas untuk membangun kepercayaan publik bukan hanya tentang citra institusi, tetapi juga tentang efektivitas penegakan hukum itu sendiri. Institusi penegak hukum yang dipercaya oleh publik akan lebih mudah mendapatkan dukungan dan kerjasama dari masyarakat, yang pada gilirannya akan meningkatkan efektivitas penegakan hukum.

Untuk meningkatkan kepercayaan publik, institusi penegak hukum perlu menerapkan beberapa strategi kunci:

  1. Transparansi: Membuka akses informasi kepada publik terkait proses dan hasil penegakan hukum, sepanjang tidak membahayakan keamanan nasional atau privasi individu.
  2. Akuntabilitas: Membangun sistem pengawasan internal dan eksternal yang efektif, serta menindak tegas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh aparat.
  3. Profesionalisme: Meningkatkan kompetensi dan integritas aparat penegak hukum melalui pelatihan dan pendidikan berkelanjutan.
  4. Komunikasi Efektif: Membangun saluran komunikasi dua arah dengan masyarakat, termasuk memanfaatkan media sosial dan teknologi digital.
  5. Pendekatan Berbasis Masyarakat: Mengadopsi model penegakan hukum yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan kejahatan.

Kasus Afif Maulana: Sebuah Pelajaran dan Potret Kelam Akuntabilitas Penegak Hukum di Indonesia 

Kematian Afif Maulana bocah berusia 13 tahun dari Padang Sumatera barat adalah contoh nyata dari kegagalan akuntabilitas dalam institusi penegak hukum. Kurangnya transparansi dalam penyelidikan dan minimnya informasi yang diberikan kepada publik menambah kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tanpa akuntabilitas yang kuat, keadilan bisa menjadi sulit dicapai.

Selanjutnya jika kita amati dan melakukan analisis pada kasus ini secara umum sebagai berikut:

  • Kurangnya Transparansi: Dalam kasus Afif Maulana, informasi yang tersedia sangat terbatas. Masyarakat sulit mendapatkan penjelasan yang jelas mengenai penyebab kematian dan langkah-langkah yang diambil oleh aparat hukum.
  • Minimnya Pertanggungjawaban: Tidak ada pihak yang secara jelas bertanggung jawab atas insiden tersebut, yang menimbulkan kesan bahwa kasus ini mungkin akan ditutup tanpa penyelesaian yang memadai.

Kematian Afif Maulana merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi. Ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A dan 28G, serta berbagai instrumen hukum internasionalseperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Menentang Penyiksaan.

Selain itu, jika terbukti bahwa ada upaya menutup-nutupi kasus ini, maka hal tersebut juga melanggar prinsip-prinsip peradilan yang adil dan akuntabel, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kasus ini dapat dianalisis melalui teori akuntabilitas vertikal dan horizontal.

  • Akuntabilitas Vertikal: Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban dari institusi negara, termasuk kepolisian. Kegagalan dalam memberikan transparansi dan penjelasan yang memadai merupakan bentuk pengingkaran terhadap akuntabilitas vertikal.
  • Akuntabilitas Horizontal: Institusi negara seperti kepolisian seharusnya diawasi oleh lembaga-lembaga lain seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Ombudsman. Lemahnya pengawasan horizontal dapat menjadi faktor yang berkontribusi pada impunitas dan kurangnya akuntabilitas.

Jika tidak segera diselesaikan maka akan berdampak pada public trust dalam aspek "kurangnya transparansi dan akuntabilitas" yang kemudian berdampak serius pada kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Ketika masyarakat merasa bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil dan transparan, maka legitimasi institusi penegak hukum akan tergerus.

Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, beberapa langkah yang seharusnya dapat diambil dan sangat dianggap perlu yaitu sebagai berikut:

  • Peningkatan Transparansi: Kepolisian harus lebih terbuka dalam memberikan informasi kepada publik terkait kasus-kasus yang melibatkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
  • Penguatan Pengawasan: Kompolnas dan Ombudsman perlu menjalankan fungsi pengawasan secara lebih efektif untuk memastikan akuntabilitas kepolisian.
  • Reformasi Internal: Kepolisian perlu melakukan reformasi internal untuk memperkuat budaya akuntabilitas dan profesionalisme di kalangan anggotanya.
  • Partisipasi Masyarakat: Masyarakat perlu didorong untuk aktif berpartisipasi dalam mengawasi kinerja kepolisian dan menuntut akuntabilitas.

Kasus Afif Maulana adalah pengingat yang tragis bahwa akuntabilitas penegak hukum bukanlah sekadar konsep teoritis, tetapi merupakan kebutuhan mendesak untuk mewujudkan keadilan dan melindungi hak asasi manusia.

Menguatkan Akuntabilitas dan Transparansi: Langkah Konkret Menuju Reformasi Penegakan Hukum 

Kasus tragis Afif Maulana menggarisbawahi pentingnya reformasi dalam institusi penegak hukum di Indonesia. Untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, perlu ada upaya serius untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. Berikut adalah langkah-langkah konkret yang dapat diambil, disertai dengan analisis dari sumber terkait dan dasar hukum yang relevan:

Langkah-langkah yang Dapat Diambil

Peningkatan Transparansi:

  • Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) memberikan dasar hukum yang kuat bagi masyarakat untuk mengakses informasi mengenai kinerja institusi publik, termasuk kepolisian.
  • Implementasi: Setiap kasus, termasuk kasus kekerasan oleh aparat, harus diinvestigasi secara transparan. Informasi mengenai proses penyelidikan, bukti-bukti yang ditemukan, serta hasil akhir harus dibuka kepada publik. Hal ini dapat dilakukan melalui konferensi pers, laporan resmi yang dipublikasikan secara daring, atau mekanisme lain yang memastikan aksesibilitas informasi.
  • Manfaat: Transparansi akan membangun kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, memastikan bahwa proses hukum berjalan adil, dan mencegah upaya menutup-nutupi pelanggaran.

Pembuatan Mekanisme Pengawasan Independen:

  • Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) mengamanatkan pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap kinerja Polri.
  • Penguatan Kompolnas: Peran Kompolnas perlu diperkuat agar dapat melakukan investigasi independen terhadap dugaan pelanggaran oleh aparat kepolisian. Kompolnas juga harus memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi sanksi kepada aparat yang terbukti bersalah.
  • Pembentukan Badan Pengawas Independen: Selain Kompolnas, dapat dipertimbangkan pembentukan badan pengawas independen lainnya yang memiliki fokus khusus pada kasus-kasus kekerasan oleh aparat. Badan ini dapat terdiri dari ahli hukum, aktivis HAM, dan tokoh masyarakat yang memiliki integritas dan independensi.
  • Manfaat: Mekanisme pengawasan independen akan memberikan lapisan akuntabilitas tambahan bagi institusi penegak hukum, memastikan bahwa setiap tindakan aparat dapat diaudit secara objektif, dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Pendidikan dan Pelatihan:

  • Teori: Teori pembelajaran sosial menekankan pentingnya pemodelan perilaku yang baik dan pelatihan yang efektif dalam membentuk perilaku individu. Dalam konteks penegakan hukum, pendidikan dan pelatihan yang tepat dapat menanamkan nilai-nilai akuntabilitas, etika, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
  • Implementasi: Aparat penegak hukum harus diberikan pelatihan yang komprehensif mengenai penggunaan kekuatan yang proporsional, penanganan tahanan secara manusiawi, serta pentingnya menghormati hak-hak tersangka dan terdakwa. Pelatihan ini juga harus mencakup materi mengenai konsekuensi hukum dan etika dari tindakan kekerasan atau pelanggaran lainnya.
  • Manfaat: Pendidikan dan pelatihan yang memadai akan meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum, mengurangi risiko terjadinya pelanggaran, dan menciptakan budaya penegakan hukum yang lebih humanis dan akuntabel.

Analisis Mendalam Peran Masyarakat Sipil

Masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mendorong akuntabilitas dan reformasi institusional. Dengan menjadi suara yang kritis dan aktif dalam menuntut keadilan, masyarakat dapat membantu memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum tidak dibiarkan begitu saja.

Adapun dasar hukum yang bisa digunakan sebagai dalil normatifnya yaitu sebagai berikut:

  • Undang-Undang Dasar 1945: Pasal 28A menjamin hak setiap orang untuk hidup serta berhak tidak disiksa. Pasal 28C menjamin hak warga negara untuk mengembangkan diri, mendapatkan pendidikan, dan ikut serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Kasus Afif Maulana merupakan pelanggaran berat terhadap hak-hak dasar ini.
  • Undang-Undang Perlindungan Anak: Undang-undang ini secara khusus melindungi anak dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi. Tindakan polisi yang mengakibatkan kematian Afif Maulana merupakan pelanggaran berat terhadap undang-undang ini.
  • Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Undang-undang ini menegaskan hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan mendapatkan perlindungan dari penyiksaan.

Selanjutnya beberapa kerangka teori yang relevan digunakan oleh penulis pada fenomena ini yaitu:

  • Teori Demokrasi Partisipatoris: Teori ini menekankan pentingnya partisipasi aktif warga negara dalam proses pengambilan keputusan politik. Dalam konteks kasus Afif Maulana, masyarakat sipil berperan sebagai pengawas yang aktif terhadap kinerja institusi penegak hukum.
  • Teori Akuntabilitas Publik: Teori ini menekankan pentingnya mekanisme pertanggungjawaban dari institusi publik kepada masyarakat. Dalam kasus ini, tuntutan masyarakat sipil akan keadilan merupakan bentuk penerapan teori akuntabilitas publik.
  • Teori Civil Society: Teori ini menekankan peran organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat dalam memperjuangkan kepentingan publik. Dalam kasus Afif Maulana, organisasi masyarakat sipil dapat berperan dalam memberikan dukungan hukum dan psikologis kepada keluarga korban, serta mendorong reformasi di tubuh kepolisian.

Kemudian partisipasi cara masyarakat sipil dapat lebih berperan yaitu:

  • Dengan membentuk Jaringan Advokasi: Masyarakat sipil dapat membentuk jaringan advokasi yang kuat untuk mengawal kasus ini hingga tuntas. Jaringan ini dapat melibatkan berbagai elemen masyarakat, seperti akademisi, tokoh agama, dan profesional hukum.
  • Melakukan Investigasi Independen: Masyarakat sipil dapat melakukan investigasi independen untuk mengungkap fakta-fakta yang "mungkin ditutupi oleh pihak berwenang" dengan mekanisme analisis kualitatif dan disebarkan ke media sosial sebagai sarana edukasi informatif.
  • Mendorong Reformasi Kelembagaan: Masyarakat sipil dapat mendorong reformasi di tubuh kepolisian, seperti peningkatan pengawasan internal, pelatihan hak asasi manusia bagi anggota polisi, dan pembentukan mekanisme pengaduan yang efektif.

Kesimpulan:

Peran masyarakat sipil sangat krusial dalam menuntut keadilan bagi Afif Maulana dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan. Dengan bersandar pada dasar hukum dan teori yang relevan, masyarakat sipil dapat menjadi kekuatan pendorong perubahan yang signifikan (intinya "kontekstual akan lebih terang jika dikembalikan ke konseptual").

Terima kasih sudah menyimak karya tetralogi penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun