Dari sisi hukum, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjadi payung hukum yang mewajibkan institusi publik, termasuk lembaga penegak hukum, untuk bersikap transparan dan akuntabel. Undang-undang ini menjadi landasan bagi masyarakat untuk mengakses informasi dan mengawasi kinerja institusi penegak hukum.
 Penelitian yang dilakukan oleh Sunshine dan Tyler (2003) di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa kepercayaan publik terhadap kepolisian memiliki dampak signifikan terhadap kesediaan masyarakat untuk bekerjasama dalam upaya pencegahan dan penanganan kejahatan. Di Indonesia, studi yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum masih berada di bawah 50%, yang mengindikasikan perlunya upaya serius untuk meningkatkan kepercayaan publik.
Implikasi dari temuan-temuan ini jelas untuk membangun kepercayaan publik bukan hanya tentang citra institusi, tetapi juga tentang efektivitas penegakan hukum itu sendiri. Institusi penegak hukum yang dipercaya oleh publik akan lebih mudah mendapatkan dukungan dan kerjasama dari masyarakat, yang pada gilirannya akan meningkatkan efektivitas penegakan hukum.
Untuk meningkatkan kepercayaan publik, institusi penegak hukum perlu menerapkan beberapa strategi kunci:
- Transparansi: Membuka akses informasi kepada publik terkait proses dan hasil penegakan hukum, sepanjang tidak membahayakan keamanan nasional atau privasi individu.
- Akuntabilitas: Membangun sistem pengawasan internal dan eksternal yang efektif, serta menindak tegas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh aparat.
- Profesionalisme: Meningkatkan kompetensi dan integritas aparat penegak hukum melalui pelatihan dan pendidikan berkelanjutan.
- Komunikasi Efektif: Membangun saluran komunikasi dua arah dengan masyarakat, termasuk memanfaatkan media sosial dan teknologi digital.
- Pendekatan Berbasis Masyarakat: Mengadopsi model penegakan hukum yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan kejahatan.
Kasus Afif Maulana: Sebuah Pelajaran dan Potret Kelam Akuntabilitas Penegak Hukum di IndonesiaÂ
Kematian Afif Maulana bocah berusia 13 tahun dari Padang Sumatera barat adalah contoh nyata dari kegagalan akuntabilitas dalam institusi penegak hukum. Kurangnya transparansi dalam penyelidikan dan minimnya informasi yang diberikan kepada publik menambah kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tanpa akuntabilitas yang kuat, keadilan bisa menjadi sulit dicapai.
Selanjutnya jika kita amati dan melakukan analisis pada kasus ini secara umum sebagai berikut:
- Kurangnya Transparansi: Dalam kasus Afif Maulana, informasi yang tersedia sangat terbatas. Masyarakat sulit mendapatkan penjelasan yang jelas mengenai penyebab kematian dan langkah-langkah yang diambil oleh aparat hukum.
- Minimnya Pertanggungjawaban: Tidak ada pihak yang secara jelas bertanggung jawab atas insiden tersebut, yang menimbulkan kesan bahwa kasus ini mungkin akan ditutup tanpa penyelesaian yang memadai.
Kematian Afif Maulana merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi. Ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A dan 28G, serta berbagai instrumen hukum internasionalseperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Menentang Penyiksaan.
Selain itu, jika terbukti bahwa ada upaya menutup-nutupi kasus ini, maka hal tersebut juga melanggar prinsip-prinsip peradilan yang adil dan akuntabel, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kasus ini dapat dianalisis melalui teori akuntabilitas vertikal dan horizontal.
- Akuntabilitas Vertikal: Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban dari institusi negara, termasuk kepolisian. Kegagalan dalam memberikan transparansi dan penjelasan yang memadai merupakan bentuk pengingkaran terhadap akuntabilitas vertikal.
- Akuntabilitas Horizontal: Institusi negara seperti kepolisian seharusnya diawasi oleh lembaga-lembaga lain seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Ombudsman. Lemahnya pengawasan horizontal dapat menjadi faktor yang berkontribusi pada impunitas dan kurangnya akuntabilitas.
Jika tidak segera diselesaikan maka akan berdampak pada public trust dalam aspek "kurangnya transparansi dan akuntabilitas" yang kemudian berdampak serius pada kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Ketika masyarakat merasa bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil dan transparan, maka legitimasi institusi penegak hukum akan tergerus.