Mohon tunggu...
Puisi

Puisi-puisi Rendy Jean Satria

23 November 2010   10:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:22 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Nagreg

Di tempatmu, di utara, di langit yang murung

diantara bukit-bukit yang terlihat bimbang, di awasi

gunung-gunung yang berkharisma. Aku menggagumi

perempuan berkerudung hijau toska, kabut liar yang tiba-tiba

meleleh dari barat, sajak-sajak yang menggelepar

di sudut-sudut surau adalah bagian dari kepenyairan

Mungkin aku akan berlayar untuk menyapa udara yang dingin

berseteru dengan musim kemarau dan menciumi

bau laut. Aku akan mencoba menembus kabut, mengikuti

arah angin ke barat, mencoba mengikuti sampai dimana kekuatanku

bersajak untukmu? bertapa seperti filsuf masehi? ketika para prosais

sudah tak pernah lagi mengirimi kata-kata mistisnya, ketika para

pelukis tak menebar cat airnya, ketika para filsuf sudah tak pandai

lagi menebak gerak-gerik awan. Aku merasakan bau wingit, bau embun

di tanahmu

Aku akan menyapamu di sini, memanggil nama kecilmu dan kita akan

menghayal tentang champes eyyes, bukit golgota, edensor dan

venizh dengan gondola-gondolanya. Tapi, bau padi di tempatmu

masih mempesonaku dengan kesederhanaan. Tapi aku terus merasa

kesepian di sini. Di nagreg, di bumi para penyair

"aku sudah mengutukmu menjadi seorang penyair di sini" bisikmu

Kepadaku. Tepat di saat aku pergi di purnama yang ke empat.

"tahun depan aku kembali" balasku.

2010

Kepada Penyair Asas

Kutitipkan kepadamu jalan braga, tubuh wanita

dan gerimis yang sering kau tulis dalam sajakmu

mendekatlah dan dengarkanlah penyair gelap ini

serupa malin kundang, bermain dengan kata, api

dan kegelapan, bawalah sajakku ini ke mejamu

dan adililah secara bijaksana, tiupkanlah sedikit ruh

Sapardi , berilah darah dan pakailah teori langit

agar kata-kataku sedikit terhormat

Akulah malin kundang yang sering

kali durhaka kepadamu melupakan kalimat saktimu

dan merayu nama-nama wanita yang sering kau abadikan

Keluarlah dari rumah mimpimu, tantanglah matahari

minumlah sedikit arak dan mari sama-sama kita

melupakan sorga agar setiap puisi menjadi lebih berharga

2010

Mengingat Rebana
1/

Akankah cerita yang kita riwayatkan ini

Berlanjut. Seperti hujan yang kian kasmaran

Dengan dedaunan malam ini. Bicaralah pelan padaku, Rebana

Karena aku ingin kasmaran dari pada membaca

Majalah-majalah horison, komik-komik yang lucu,

Sajak-sajak damai. Akankah kereta api itu membawaku

Dan kau menunggu dengan bunga mur di tangan kirimu.

Tiba-tiba sembayangku menjadi kabut, mengikuti sabda

Yang kau bisikkan tempo hari. Dan yang bernama kecemasan

Itu memanjang seperti memasuki stasiun-stasiun yang

Akan mengantarkanku. Atau menjelang malam nanti

Aku akan terbakar dan berlari di setiap kecemasan yang

Kubangun dari namamu

2/

Bicaralah pelan padaku, Rebana

Jangan Memakai intonasi kamus bahasa Inggris, bahasa arab

Atau retorika sosialis. Karena itu tak diperlukan di setiap

Pertemuan.Lihatlah kecemasan ini seperti ka'abah

yang di bangun dengan tumpukan-tumpukan

Batu merah, aku ingin membayangkan kecemasan ini

Bersamamu. Sambil terus mengingat lembaran-lembaran

Yang mengerikan, dan cukup memukau

3/

Adakah kau di sana cemas. Dari bulan yang sangat pucat

Dan awan yang menerbitkan mendung. Berlarilah pada selimut

tebal atau baju penghangat yang bergambar Walt Disney

untuk menghilangkan yang bernama cemas. Aku di sini, bermain catur

dengan setiap langkah bidaknya mengingatkanku kepadamu.

Akankah kereta api yang berdengung kencang itu

Akan membawaku. Dan kau menungguku dengan

Bunga mur di tangan kananmu

Kepukauan telah membuat kita berlari pada

Tepian dunia. Dan dari percikan-percikan rindu

Itu kita kian tersenyum bersama, tanpa ada sunyi

Yang melintas. Inilah kecemasan yang paling antik

Yang pernah memenjarakan dada seorang penyair

4/

Rebana: Hana's Eyes lirik Maksim dengarlah

Sebagai bahasa rindu yang terbuat dari sajak

Yang kita tak pernah tahu apa itu rindu. Pinjamilah juga

Aku bahasamu, bukan bahasa Inggris, Jerman, Perancis

Tapi bahasa yang membuat kita ngilu dan terdiam

Apabila mengucapkannya, bahasacinta

Sungguh, perkataan itu telah menjadi sebuah petaka

Dan kesunyian. Kalau kita sama-sama mengerti tentang

Cinta yang mengerikan. Membuat aku terdampar di belahan

Benua yang baru, benua yang hanya ada sileut dan

Sedikit cahaya matahari

Diam-diam, di kotaku aku mengingatmu terus

Seperti hujan yang setia membasahi bumi

2009

Jalan Muktamar


Kesepiannya mengajarkan aku untuk pandai mencintai kesederhanaan

pohon-pohon rukuk di sekelilingnya, rumput-rumput menebar bahasanya

aku mengelak dari dunia, merindui bau padi dan berlajar menjadi petani

di tempatmu segala ibadah menjadi santun. Aku sendiri, hujan telah reda

sajak-sajak mencari puaknya. Engkau dimana? Aku sedang berjalan

menujumu. Menuju rumahmu

Jalan empeyes mountaigne yang sepi atau jalan trowbridge street di mana

Oktavio Paz tinggal. Tapi aku selalu merindukan jalan muktamar

jalan yang bisa menemukannmu, jalan lenggang dengan bau khasnya

kesunyianku meledak di sini. Kegelisahan menjadi buas dan bau arak

semakin menjauh. Langit semakin merendah. Melahirkan gelap

dan bau gerimis semakin lekat di tempatmu


Aku datang membawa segelas kesunyian.  Sebagai penyair

tugasku hanyalah bersajak. Menciptakan lagu embun atau

mewarnai dirimu dengan episode-episode yang mempesona



2010

Rendy Jean Satria. Lahir 4 Januari 1989, di Depok. Menulis sajak, essay dan Novel. Melulu menulis sajak. Mahasiswa Teater

di sekolah tinggi seni Indonesia (Bandung). Alumnus pondok pesantren al-Qur'an al-falah 2 Nagreg dan PP. Nurrul Ummah

Kotagede Jogjakarta. Sehari-harinya, menulis, membaca, berdiskusi dan jalan-jalan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun