Sinar matahari tak terlalu terik ba'da ashar ini, angin terasa sejuk meskipun kondisi begitu padat. Ratusan kapal berjejer di pelabuhan Morotai, Ternate. Hampir semuanya adalah kapal perang. Lima puluh dari Mataram terlihat mengimbangi jumlah kapal perang tuan rumah, Mamluk, yang jumlahnya seratus lebih. Belum lagi kapal-kapal perang Parahiyangan, Nusa, Gowa-Tallo, dan Samudera-Palembang Darussalam. Di ujung dekat mercusuar berlatarbelakangkan karang terlihat lima buah kapal yang hangus terbakar dan beberapa kapal dagang serta penumpang yang berlabuh.
      Di pelabuhan telah berkumpul orang-orang yang pagi tadi melakukan rapat dadakan. Tampak Diponegoro, Imam Hassan, Sultan Mamluk, para kolano, Ario Damar, Panglima Malamo, dan beberapa lainnya yang baru datang dari Nusa, Gowa-Tallo, dan Parahiyangan berkumpul.
      Dari kejauhan Abdi dan Dalem tampak ditemani oleh Kapten Sudirman. Keduanya membawa tas masing-masing yang kini terlihat lebih berisi dan juga beberapa barang di tangan, yakni tiga buah buku dan perkamen besar.
      "Ini ide Imam Hassan, harusnya ada sepuluh kapal Samudera dan Palembang Darussalam," ujar Sudirman.
      "Oh, pantesan kemarin kok ada satu yang baru datang," ucap Abdi segera.
      "Ke Mataram, menyampaikannya langsung kepada Sultan,"
"Raden Eru sendiri yang mengajukan diri untuk memimpin seluruh ekspedisi dan mengajakku."
      "Hmm.. berarti pertemuan di Malaka itu.. ini ya maksudnya?" timpal Abdi.
      "Untuk menunjukkan kekuatan tempur sekaligus memberikan sedikit kejutan kepada musuh. Malaka langsung menuju ke titik tempur pertama kalau perhitungan Raden Eru tepat, dipimpin langsung oleh Laksamana Hang Tuah. Itulah mengapa kalian mendapat musibah di Malaka..."
      "Untung ada Imam Hasan..." komentar Dalem.
      Angin yang bertiup membawa beberapa daun beterbangan ke sana kemari sebelum jatuh ke tanah. Beberapa kenangan kembali ke ingatan mereka.
      "Kok gak ikut ke sana Kapten Sudirman?"
      "Bersama Sultan dan para pembesar itu maksudmu Di?" Sudirman bersandar di bawah pohon yang teduh.
      "K..kan Anda sudah menjadi eska.. eh apa eskade..."
      "Eskader Penjaring Lem.. Santai saja, itu yang berlayar paling belakang dan tugasnya paling akhir kok,"
"ketika berperang kita yang menyerang paling akhir, mengambil para tawanan, menyelamatkan kawan yang terluka serta menyelesaikan apa yang tercecer," terangnya.
      "Tapi tentu itu tidak menyurutkan semangatku untuk ikut berperang, apalagi bersama Raden Diponegoro. Beliau selalu membawa yang terbaik," ia tersenyum sambil memandang ke arah depan. Tiupan angin yang sepoi menyamarkan suara-suara di sekitar.
      "Bukankah kapal terbaik itu ada di paling depan dan paling belakang kapten?" Dalem bertanya tiba-tiba.
      "Hehehe... bisa saja kau Lem" jawab Sudirman santai.
      "Sayang, kalian tidak bisa ikut," tengoknya ke arah Abdi dan Dalem.
      "I..itu karena..."
      "Raden Eru! Dia yang melarang kita," ucap Abdi.
      "Hehe, iya.. aku tahu kok..kalian memang cocoknya berpetualang dulu,"
"Apa itu di tanganmu Lem?" Sudirman menunjuk tumpukan buku di tangan Dalem.
      "Ca.. catatan kami kapten. Raden Eru memberikan lagi dua yang baru, yang satu untuk menyalin dari catatan lama karena masih banyak coretannya di sana-sini," jawab Dalem.
      "Biasanya Abdi yang memegang catatan."
      "Ya, dan aku yang menggambar. Tapi Raden Eru minta gantian, sekarang aku yang harus menulis..." ucap Dalem memandangi buku catatan di tangannya.
      "Berarti kalian akan berpetualang lagi kan? Sudah menentukan tujuan berikutnyakah?"
      "Belum kapten, padahal uang sangunya ditambah..." Abdi tampak agak kecewa dengan dirinya.
      "Lebih banyak daripada yang diberikan beliau di Nusa!" Dalem bersemangat menambahkan.
      "Tapi ya itu.. bingung mau ke mana..." lanjutnya.
      "Hahaha, kalian ini memang beruntung!"
      "Tenang saja, nah perkamen besar di tanganmu itu kurasa bisa menjawabnya."
      Abdi membuka perkamen itu, yang ternyata cukup lebar.
      "Itu Peta Piri Reis, peta Dunia, hmm.. masak belum tahu juga Di.. Lem..?"
      Sudirman hanya senyam-senyum saja menatap keduanya yang terlihat lebih bingung.
      "Berarti..."
      "Kita harus mengikuti peta ini..." Abdi melanjutkan kata-kata Dalem.
      "Memilih, kalian bisa memilih tempat selanjutnya, bahkan jika tempat itu jauh di luar Nusantara," ucap Sudirman tersenyum lebar.
      "Eh, itukah maksud Raden..."
      "Kalau bukan itu lalu apa?"
      Keduanya hanya bertatapan satu sama lain. Beberapa saat berlalu dan terdengar sorakan cukup riang. Sudirman hanya tertawa, ikut merasa senang.
      "Saranku untuk perjalanan terakhir pergilah ke benua besar di selatan jika kalian sudah akan kembali ke Mataram,"
      "Raden Eru dan aku akan ke sana juga, tapi kami belum menentukan waktunya, entah kapan, itu bergantung beliau..."
      "Baiklah kapten!" ucap Abdi dan Dalem berbarengan.
      Mereka kembali menikmati suasana sore ini, angin sungguh hangat sekali terasa, sementara di depan peperangan dan petualangan baru siap menanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H