Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 33, Negeri Raja-Raja) - Cahaya Fajar

14 Mei 2024   11:08 Diperbarui: 14 Mei 2024   11:38 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: freepik.com

            Semburat cahaya terlihat dari timur, membuat semua jelas kembali. Di pelabuhan sekitar mercusuar dan sepanjang pantai serta di bukit atas karang api mulai dipadamkan. Di lautan jauh nampak lima kapal yang terbakar, terlambat menyadari adanya bahaya sehingga tak mampu untuk bertahan. Sebaliknya di sisi lain berlabuh tiga buah kapal yang berhasil menyelamatkan diri berkat tanda bahaya yang segera dibunyikan kapal Komando Samudera pimpinan Komandan Hassan. Kapal Komando itu kini berada di pinggir pantai, meskipun dengan kondisi hangus di berbagai sisinya. Kapal ini tidak hanya berhasil menyelamatkan nyawa mereka yang berlayar bersamanya tapi juga mengalihkan perhatian para penyerang. Di atas kapal yang telah padam apinya ini berdiri para ksatria dan prajurit yang tak terlihat melemah meskipun kelelahan telah mencapai puncak. Dalem berdiri sambil bertumpu pada gadanya yang besar di bagian belakang kapal, berhasil menjaga bayu geni untuk dapat mengantarkan mereka sampai ke tujuan. Di sampingnya para prajurit terduduk kelelahan dan di pojokan terlihat tubuh-tubuh para penyerang yang tergeletak, tak mampu melumpuhkan mangsanya, malahan mereka sendiri yang akhirnya terbujur kaku. Hal tersebut memenuhi dek di samping bahkan di depan kapal tempat formasi puluhan tameng berhasil melindungi otak penyusun seluruh skenario serangan balik yang cepat dan luar biasa brilian ini. Komandan Hassan tampak sangat tenang, pandangannya ke arah lima kapal yang terbakar. Ia yakin Ario Damar pasti mendengar sinyal bahaya yang tadi dibunyikan cukup keras memenuhi angkasa, apalagi dari jarak yang tak begitu jauh karena posisinya hanya berada di sebelah kiri kapal komando. Tak terdengar sepatah kata pun, hening memenuhi seluruh kapal, tak ada yang tahu harus berbuat apa. Dalem ikut memandangi kapal-kapal yang terbakar sambil terus bersandar di senjatanya. Sampai terlihat titik-titik hitam lain, kali ini lebih kecil, yang jumlahnya cukup banyak. Awalnya hanya terlihat sedikit di laut yang dekat, namun setelah mereka melihat kembali tak susah menemukan titik-titik yang sama di laut jauh. Titik-titik itu terus mendekat dan terlihat bentuk aslinya yang ternyata adalah sekoci dengan terpal hitam di atas.

            "Penyu hitam... Alhamdulillah, syukurlah, kau harus selamat Ario Damar..." kelegaan tampak di wajah Imam Hassan.

            Wajah-wajah di atas dek mulai terlihat lega, bahkan senyum tampak dari wajah Dalem yang gemuk. Dari pantai terdengar teriakan-teriakan memenuhi udara, takbir terdengar cukup sering, meskipun sebagian meneriakkan 'mereka selamat!', 'penyu hitam!', dan 'kita menang!'.

            Di atas mercusuar, Kapten Malamo seperti habis menonton pertunjukan terbaik sepanjang hidupnya. Tak henti-henti senyum tampak dari wajahnya yang sudah menunjukkan tanda-tanda penuaan, namun tak menghentikan bibirnya untuk terus mengucap syukur.

            "Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah..."

            "Tak pernah.. sepanjang hidupku..."

            Kata-katanya terhenti ketika prajurit di samping berteriak sambil memegang teropong di tangan.

Baca juga: Klise

            "Pasukan! Ada pasukan datang dari selatan! Kapal-kapal perang!"

            Seketika senyum Malamo memudar, direbutnya teropong dari tangan si prajurit, yang terkejut, namun tetap melanjutkan kata-katanya,

            "Tapi itu teman bukan musuh Kapten..."

            Mata Malamo menempel keras di teropong ketika ia memfokuskan pandangannya ke formasi kapal yang datang dari arah selatan. Kali ini formasi lima kapal di depan yang berarti kapal-kapal ini datang dalam jumlah sangat besar. Sesaat jantungnya berdegup kencang tapi kemudian perasaannya berubah menjadi sangat bersemangat ketika ia melihat lambang di layar kapal itu. Ia telah melihatnya puluhan kali selama ditugaskan berjaga di Pelabuhan sebelah utara ini, bahkan ia bisa mengenalinya meskipun dari jauh sekalipun. Lambang itu sama dengan yang dibawa oleh sang pembawa pesan malam tadi, yang dengan ajaibnya terbang dari tengah laut.

            "Itu Kapal-kapal Mataram Kapten..." ucap si prajurit yang hanya dibalas anggukan singkat Malamo. Ia tak mampu berkata-kata, di hatinya ada perasaan tenang dan kerinduan yang muncul.

            Di atas kapal yang terbakar seluruh mata beralih dari para penyu hitam ke sebelah selatan, mereka lebih dekat jaraknya kepada kapal-kapal yang akan datang ke pelabuhan.

            Di pantai suasana senyap seketika, sebagian yang dapat melihat dari kejauhan segera memberitahukan kepada rekan-rekannya apa yang terjadi.

            Imam Hassan, yang tengah berkoordinasi dengan wakil kaptennya, mempertimbangkan apakah mereka masih bisa menyelamatkan kapal-kapal yang terbakar dengan mengirim kembali tiga kapal mereka yang selamat kembali ke laut jauh, langsung menghentikan percakapan. Setelah ia memastikan kehadiran kapal-kapal yang memang adalah sekutu mereka, ia pun menutup seluruh kejadian luar biasa dari malam hingga pagi ini dengan berucap,

            "Alhamdulillah, Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billaah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah..."

            Matahari telah terbit, peperangan telah usai, dan bantuan telah datang. Seluruh energi yang ada sejenak terhubung ke Langit, mereka menunaikan sholat subuh berjamaah, di pantai, di kapal yang terbakar, dan di atas mercusuar meskipun matahari telah muncul. Bentuk keringanan dari Allah yang hanya boleh dilakukan di saat-saat darurat seperti perang. Sementara itu kapal-kapal Mataram bergerak ke tengah lautan terlebih dahulu, menuju kapal-kapal yang menghitam sebelum berlabuh di pantai Mamluk.

                                                                                                                                                    ~

            Lautan di depan, matanya melihat ke arah puluhan kapal yang datang beriringan. Nafasnya perlahan dan tenang, pertempuran yang lama sekali, bahkan terasa lebih lama bila dibandingkan kompetisi kecil di Sarawak itu. Hatinya tak henti-henti bersyukur, setelah semalaman bertahan dari gempuran tiada henti. Mulai dari panah yang bertubi-tubi hingga pasukan yang terjun seperti tak ada habis-habisnya dari kapal hitam itu. Pedang, tombak, hingga pisau kecil dari beberapa orang yang sangat lincah sudah dilawannya dengan sebuah senjata yang tak pernah ia ganti semenjak semalam. Gada besar hadiah kompetisi SATRIA itu kini digunakannya untuk menumpu dagu dengan bola besar di bawah.

            Dalem benar-benar lega, pertama, ia berhasil menjalankan tugasnya mempertahankan bayu geni agar dapat bekerja dengan baik tanpa halangan dari para penyerang, yang seperti dirinya, juga terkejut dengan apa yang bisa dilakukan alat berbentuk tabung besar panjang itu. Dipasang di samping kiri dan kanan buritan kapal, masing-masing lima buah, alat tersebut berhasil meloloskan kapal yang sudah sekarat ini mendarat di bibir pantai.

            "Dua kali.. dua kali..." Dalem melihat sekilas bayu geni yang berjejer rapi hingga menutupi pandangannya ke laut lepas.

            "Allah menyelamatkan kami dua kali melalui dirimu, pertama ketika para penyerang itu tertutupi pandangannya karena dirimu, yang kedua tentu saja..." Dalem melihat ujung belakang tabung yang terlihat menghangus tetapi bukan karena diserang musuh.

            "Api mu yang mendorong kami ke sini, membuat para cecunguk itu kaget bukan kepalang..." senyumnya tersungging, ia teringat sesuatu.

            "Ah, aku lupa, kau juga membantu menerbangkan Abdi sehingga ia tidak perlu naik ke atas layar untuk terbang hingga bibir pantai..."

            "... Alhamdulilah..."

            Kedua, dilihatnya pria tua yang kini terlihat sangat kelelahan, namun dengan tatapan tajam yang tidak berkurang. Ia bersyukur, komandan perang terbaik mereka malam ini tidak kurang satu apapun jua. Gurunya dan Abdi, yang memang membuat kejutan sejak di Malaka.

            "Kalau tidak ada beliau entah apa jadinya..." dilihatnya deretan tubuh-tubuh yang roboh diantara dia dan Imam Hassan. Mata pria tua itu menatap hal yang sama ke arah laut lepas, dan Dalem tahu ia pastilah merasa lega sekali melihatnya.

            Pandangan Dalem melihat ke arah yang sama dengan Imam Hassan. Semua bersyukur, setelah sholat subuh tadi benar-benar terasa energi telah kembali meskipun dengan kantuk yang tak tertahankan, bahkan Dalem sempat melihat beberapa prajurit yang sudah tertidur bersandar di dinding kayu ketika ia kembali ke buritan untuk melihat kapal-kapal Mataram menuju ke tengah laut, itulah alasan ketiga.

            "Alhamdulillah, yang itu layarnya putih.. Alhamdulillah..." Dalem melihat ke sebuah kapal yang berada tepat di tengah rombongan kapal Mataram. Tak sadar ia tersenyum dan berniat hendak merebahkan diri sebelum suara dari belakang mengagetkannya,

            "Itu milik Diponegoro, iya kan Dalem?"

            "Ah! I.. iya.. benar er.. Imam Hassan.. Anda tidak apa-apa!?" ia melihat Imam Hassan berjalan ke arahnya ditemani empat orang prajurit.

            "Jangan khawatir Dalem, memang sudah menjadi tugasku nak..."

            "Memimpin seluruh pelayaran ini dengan selamat.. dan..."

            "Kaki kiri anda cedera Imam!" Dalem menyela, ada sisa darah dari kaki kiri Imam Hassan.

            "jangan.. jangan kau anggap hal besar masalah sepele semacam ini Dalem," lagi-lagi ia menolak.

            "Kau lebih banyak mendapat luka, regu tameng pastilah tidak sanggup menahan semua panah sehingga ada satu yang mengenai kaki kiriku..." katanya kemudian.

            "Tak menjadi masalah berarti, aku masih tetap bisa berdiri dan memberi instruksi agar semua yang direncanakan dapat berjalan dengan baik."

            "I.. iya Imam Hassan..."

            "Bersyukur Dalem, bersyukurlah pada Pemilik jiwamu..." tangannya memegang bahu Dalem.

            "Setelah selamat dan menang itulah yang harusnya dilakukan seorang muslim..."

            "Alhamdulillah..." keduanya melihat kembali kapal-kapal Mataram yang sangat cekatan mematikan kobaran api pada lima kapal yang tersisa di tengah laut dan membawanya menuju pantai. Di laut para penyu hitam juga sudah mengangkat terpal mereka, banyak yang bersorak sorai ketika kapal-kapal Mataram berjalan melintasi mereka. Di barisan terdepan terlihat Ario Damar dan beberapa prajurit yang bersamanya, Imam Hassan kembali mengucap tahmid.

            Semua itu berjalan hampir dua jam lebih hingga seluruh penyu hitam mendarat di bibir pantai dan kapal-kapal yang terbakar dapat ditarik serta ditambatkan, sebelum terjadi satu kejutan lagi.

            Setelah semuanya selesai, tampak di ujung paling jauh, kapal Mataram seperti mengirimkan kode. Beberapa kali letusan kembang api terdengar dari lima kapal berbeda, salah satunya dari kapal berlayar putih, membuat seluruh kapal Mataram waspada dan bersiap kembali ke laut.

            Setelah beberapa saat, di laut yang lebih jauh seperti ada titik-titik yang lewat namun tidak ke arah mereka, melainkan berjalan dari arah barat mennuju ke timur.

            Dalem beruntung ada di dekat Imam Hassan yang ternyata membawa teropong. Ia ikut melihat dengan jelas kapal-kapal siapa yang lewat itu, yang juga membalas kode dari Mataram dengan cara serupa, membunyikan kembang api beberapa kali. Jika menggunakan teropong akan terlihat warna ledakannya di langit.

            "itu.. kapal-kapal Malaka.. tapi, kenapa mereka menjauh ke arah timur ya Imam Hassan..." tanya Dalem.

            "...entahlah," Imam Hassan hanya terdiam, tapi Ia tidak seperti orang yang bingung, mungkin hanya terlihat kaget saja.

            "Terus..." ujarnya sesaat kemudian.

            "Eh, apa.. terus.. apa maksudnya Imam?" tanya Dalem.

            "Itu jawaban Malaka lewat kode kembang apinya tadi, tidakkah kau lihat warnanya Dalem?"

            'Eh..warna..iya warnanya bagus tadi, maksud saya.. terlalu jauh sih, jadi..."

            "Hahaha, tak usah kau pikirkan Dalem, kita beres-beres dulu kurasa," ia melihat ke arah para prajurit yang segera mengangguk dan bergegas,

"dan beristirahat sejenak..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun